Transaksi Berjalan sebenarnya adalah neraca yang merupakan bagian dari neraca yang lebih besar, yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). NPI mencatat keluar masuknya uang dalam denominasi mata uang asing (devisa) dalam wilayah negara Indonesia. NPI dipublikasikan secara triwulan dan atau tahunan oleh Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam nilai US$.
Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan atau transaksi barang dan jasa. Transaksi utang piutang atau penanaman modal tidak dicatat pada neraca ini. Publikasi transaksi berjalan kini mencakup empat bagian, yang sebetulnya berbentuk neraca juga. Yaitu, barang, jasa-jasa, pendapatan primer dan pendapatan sekunder.
Neraca barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik migas maupun nonmigas. Neraca barang hingga kini masih surplus, dengan nilai yang cenderung meningkat pada 2013-2017. Namun nilai surplusnya jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004-2011.
Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cendrung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih lambat. Surplus pada 2017 sebesar US$ 18,79 miliar. Namun baru mencapai US$ 2,61 miliar selama semester I-2018.
Neraca jasa-jasa antara lain mencakup, ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung.
Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisit pada 2017 sebesar US$ 7,81 miliar, dan satu semester 2018 sebesar US$3,34 miliar.
Neraca pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, pendapatan dari investasi. Pendapatan investasi dimaksud adalah dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Neraca pendapatan primer selama ini selalu defisit, dengan kecenderungan meningkat. Hal ini terutama sebagai konsekwensi dari modal asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia.
Masuknya memang memperbaiki neraca pembayaran, dan menambah cadangan devisa. Namun kompensasinya dari tahun ke tahun akan muncul pada bagian neraca ini. Defisitnya pada 2017 sebesar US$ 32,90 miliar, dan satu semester 2018 sebesar US$16,06 miliar.
Neraca pendapatan sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan transfer dari tenaga kerja. Neraca ini antara lain mencatat transfer dana dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing. Kondisi neraca pendapatan sekunder selalu mengalami surplus, terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang masuk di kisaran US$ 10 miliar per tahun selama beberapa tahun terakhir.
Secara keseluruhan, transaksi berjalan selama kurun 2004-2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak 2012, selalu mengalami defisit. Defisitnya adalah sebagai berikut: US$24,418 miliar atau 2,65% dari PDB (2012), US$29,109 miliar atau 3,19% dari PDB (2013), US$27,510 milar atau 3,09% dari PDB (2014), US$17,519 milar atau 2,03% dari PDB (2015), US$16,952 miliar atau 1,82 dari PDB (2016), US$17,528 atau 2,20 dari PDB (2017).
Tampaknya defisit 2018 akan lebih besar dibanding 2017, karena hingga akhir Juni defisit telah mencapai US$13,745 miliar.
Salah satu ciri kuatnya fundamental ekonomi adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing.
Terjaganya kecukupan devisa dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Tentu tidak masalah jika dalam beberapa triwulan defisit atau suatu tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Jika berlangsung selama 7 tahun berturut-turut seperti selama ini, maka perlu berhati-hati. Jelas bahwa depresiasi rupiah antara lain disebabkan kondisi tersebut.