Efek domino ‘tebu wisata’
Musim giling tebu tahun ini berlangsung dalam suasana muram. Bukan hanya karena pandemi Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya, persaingan membeli bahan baku tebu dari petani membuat banyak pabrik gula (PG) kelimpungan.
Salah satu akibatnya, PG yang biasanya giling tebu sekira 150-an hari atau lima bulan, kali ini harus mengakhiri giling lebih awal. Bahkan, pada 14 Agustus 2020, sudah ada PG yang tutup, yakni PG Lestari di Nganjuk, Jawa Timur. Artinya, masa giling PG ini tak sampai tiga bulan. Saat artikel ini ditulis, boleh jadi sudah puluhan PG yang tutup giling. PG tutup giling lebih awal merupakan sinyal ada sesuatu yang serius yang mengancam industri pergulaan.
Seperti usaha lain, PG memiliki “rumus baku” yang harus dipenuhi, yakni kapasitas operasional minimal. Agar tetap eksis dan bisa membiayai overhead (biaya operasional, terutama gaji karyawan) selama setahun, PG harus giling minimal 5 bulan. Kurang dari itu, PG bakal merugi. “Rumus baku” ini terutama berlaku untuk PG-PG BUMN di Jawa yang absolete, bermesin tua, dan berkapasitas giling kecil. Di PG-PG ini, mesin hanya beroperasi lima bulan. Selebihnya, PG menganggur dan dirawat sebagian kecil karyawan.
Sebaliknya, PG swasta, terutama yang ada di Lampung, bisa beroperasi sepanjang tahun. PG-PG swasta ini teknologinya baru, kapasitas gilingnya besar, dan ditopang lahan sendiri dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Penyatuan manajemen di lahan dengan di pabrik membuat PG mudah mengintegrasikan aktivitas tanam, tebang, angkut, dan giling untuk mencapai efisiensi, produktivitas, dan rendemen tinggi. Produksi utama PG masih berwujud gula, tetapi bukan satu-satunya. Sebaliknya, produk utama PG BUMN, ya gula.
Berbeda dengan PG swasta di Lampung, PG-PG BUMN di Jawa rerata tidak memiliki lahan sendiri. Mereka menggantungkan bahan baku tebu dari petani. Relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil, yakni PG mendapat 34% gula sebagai upah giling, 66% sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kg/kwintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani tergantung bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Demikian pula sebaliknya.
Masalahnya, relasi petani-PG masih diwarnai distrust. Di satu sisi, petani tidak memercayai rendemen hasil pengukuran di PG. Distrust ini berurat akar dari pengukuran yang tidak transparan. Rendemen diukur secara kolektif, bukan individual. Ini disinsentif buat petani yang kualitas tebunya bagus. Di sisi lain, PG juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kualitas tebu petani yang disetorkan ke PG. Petani hanya mengejar bobot tebu, tetapi abai kualitas yang tercermin pada rendemen. Tebu yang disetor juga terkadang kotor.
Dalam situasi demikian hadir PG-PG baru di Jawa. Di Jawa Timur misalnya, ada PT Kebun Tebu Mas di Lamongan dan PT Rejoso Manis Indonesia di Blitar. Juga PT Gendhis Multi Manis, anak perusahaan Bulog, di Blora, Jawa Tengah. Tiga PG swasta ini teknologinya baru, kapasitas giling besar, dan menghasilkan aneka produk. Dengan kekuatan kapital, termasuk keuntungan dari izin impor raw sugar untuk diolah jadi gula (kristal putih maupun rafinasi), PG-PG ini mempraktikan sistem baru, yakni beli tebu dengan sistem putus.
Berbeda dengan sistem bagi hasil yang pembagian hasilnya setelah gula terjual lewat lelang, lewat sistem baru ini petani bisa langsung mengantongi uang begitu tebu diterima PG. Apalagi, harga yang ditawarkan PG-PG baru ini lebih menarik.
Sebagai gambaran, dengan rendemen 7% dan harga lelang gula Rp10.500/kg plus hasil bagi tetes, harga normal tebu mestinya Rp59.000/kwintal. Tetapi di lapangan, tebu dibeli Rp70.000/kwintal, bahkan Rp80.000/kwintal.
Disparitas keuntungan yang besar ini yang membuat petani dari berbagai daerah menyetorkan ke PG yang menerapkan sistem beli putus tebu, seperti PT KTM dan PT RMI. PT KTM misalnya, tidak hanya menerima tebu dari Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang, dan Gresik, tetapi juga dari Kediri yang jaraknya 120 km dari pabrik. Praktik “tebu wisata” ini marak di Jawa.
Praktik “tebu wisata” sudah ada sejak 1990-an. Saat itu PG berlomba memberi insentif angkut pada petani. Kali ini didorong oleh praktik sistem beli putus tebu. Sistem baru ini memiliki keunggulan: pengukuran rendemen transparan dan individual, harga tebu sesuai mutu, tak muncul masalah bagi hasil, petani tak terbebani inefisiensi pabrik, rantai pasok gula lebih pendek, dan PG bisa lebih fokus pada efisiensi pabrik dan diversifikasi produk. Harapannya, PG bisa lebih efisien. Petani diuntungkan sistem ini.
Namun, sistem baru ini membuat relasi petani-PG berubah dari kemitraan jadi transaksional; ada potensi kekacauan pengaturan jadwal tanam, tebang, dan angkut; serta PG harus menyediakan dana tunai besar untuk membeli tebu petani. Ini masalah krusial bagi PG BUMN. Hanya PG bermodal kuat yang bisa eksis, bertahan, dan memenangi persaingan pasar terbuka. Sisanya, karena tidak mendapatkan pasokan tebu memadai, harus pelan-pelan menyingkir dari pasar. Efek dominonya, PG-PG BUMN antre berhenti operasi karena merugi. Pada waktunya, PG-PG ini ditutup dan menjadi monumen sejarah.
Dalam jangka panjang, ini bakal membuat peta persaingan di industri pergulaan berubah. Hanya PG yang efisien dan bermodal kuat yang bakal memenangi persaingan terbuka. Sisanya, harus pelan-pelan menyingkir dari pasar yang kompetisinya semakin keras. Sebelum itu terjadi, otoritas berwenang mesti lekas bertindak agar kondisi tidak kian parah dan runyam. Sebagai lembaga pengawas persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha misalnya, mesti menelisik sinyalemen ini. Mumpung segala sesuatunya masih mungkin dimitigasi, agar tidak memperpuruk kondisi industri pergulaan nasional.