Hukuman bagi penulis KTI di BRIN: Sebuah ironi dan irasionalitas
Pertama-tama, saya mengucapkan turut belasungkawa dan turut prihatin dengan penjatuhan sanksi etika kepada para penulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul” “Review: A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare” yang diterbitkan pada Jurnal LAND pada 16 Juni 2023 dengan status Terindeks Global Tinggi (Q1) baik di e-peneliti maupun di Scopus.
Informasi tersebut saya peroleh berdasarkan hasil penuturan beberapa penulis KTI tersebut yang telah mengikuti webinar pada Senin, 8 Januari 2023, antara para penulis dengan pimpinan instansinya. Hasil kesimpulan webinar adalah, para penulis tersebut dikenakan sanksi penurunan nilai perilaku dalam penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dengan konsekuensi terkena pemotongan tunjangan kinerja (tukin) antara 10%-20% selama satu tahun.
Ternyata, rencana hukuman tersebut direalisasikan juga. Saya tidak habis pikir dan mengerti mengapa semua ini terjadi di tengah manajemen BRIN sedang bergembira ria karena publikasi global yang dihasilkan peneliti, periset, dan perekayasa BRIN 2023 telah mencapai 4.633 publikasi. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 3000-an publikasi (Kompas, 25/12/2023).
Dapat diibaratkan mereka menari-nari di atas penderitaan para penelitinya karena kemungkinan besar kenaikan jumlah publikasi tersebut sebagai dampak diberlakukannya Keluaran Kinerja Minimal (KKM). Di mana, setiap peneliti/periset/perekayasa diwajibkan menghasilkan karya tulis ilmiah (KTI) di jurnal-jurnal internasional yang terindeks global. Jumlah KTI yang meningkat juga bukan semua atas hasil kegiatan riset di BRIN, tetapi juga sisa-sisa data dari hasil riset ketika penelitinya masih berada di Badan Litbang di kementerian/lembaga.
Ada yang mengagetkan dan sekaligus tantangan bagi penulis ketika diminta para penulis KTI “A Cronicle” lainnya, untuk ikutan membuat surat permohonan maaf dan sekaligus mencabut artikel yang sudah terbit tersebut kepada penerbitnya dengan alasan yang tidak jelas oleh Dewan Etik, BRIN. Tentunya penulis akan menolak tegas dengan argumentasi yang logis bahwa semua saran dan rekomendasi Dewan Etik itu tidak ada dasar hukum tertulis yang dijadikan dasar.
Mereka tidak mengerti dan paham betul bahwa menulis KTI dengan jumlah penulis banyak itu, lebih baik mutunya daripada KTI yang ditulis 3-5 penulis. Ini karena KTI ditulis oleh banyak penulis menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu. Tetapi ironis dan irasional, manajemen BRIN bukan menghargai para penulis yang menggunakan berbagai disiplin ilmu, tetapi malah memberikan hukuman disiplin.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berusaha membahas kasus KTI “A Cronicle” dengan pendekatan teori dan bukti empirik, bahwa penulisan sebuah KTI itu, bukan suatu pelanggaran etika. Apalagi pantas untuk diberikan hukuman yang cukup “membagongkan” (baca: membingungkan) para penulisnya dengan hukuman disiplin yang berakhir pada penurunan nilai perilaku dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan bermuara pada pemotongan tukin.
Tulisan ini, akan menguraikan dan menjelaskan terkait argumentasi penulis, mengapa menolak untuk ikut serta meminta maaf mendukung pencabutan naskah KTI tersebut dari penerbitnya, di antaranya (1) penulisan KTI ini ranah peneliti atau manajemen, (2) apa kaitannya antara pelanggaran etika dengan banyaknya penulis pada sebuah KTI?, (3) kekeliruan sebuah KTI harus dibuatkan sebuah KTI tandingan (counter attack) bukan dengan pendekatan kekuasaan, dan (4) dampak dari pemberian hukuman dalam penulisan dalam KTI.
Penulisan KTI ini ranah peneliti atau manajemen
Penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) baik di jurnal nasional maupun internasional adalah hak dan kewenangan serta independensi peneliti tanpa bisa dicampuri atau diintervensi oleh siapapun. Bahkan, kepala unit kerja atau pimpinan langsungnya. Hal ini sudah berlangsung turun temurun dari saat para peneliti bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) di Kementerian-K/L-Lembaga (1960-2022) hingga semua para peneliti Balitbang K/L bergabung dalam wadah BRIN sejak 2022. Setelah munculnya Peraturan Presiden (Perptres) No.78 Tahun 2021 tentang BRIN.
Hak dan kewenangan peneliti dalam menulis KTI tanpa intervensi siapapun dimanifestasikan dalam proses pengusulkan angka kredit dahulu dan sekarang sebagai salah satu usulan Keluaran Kinerja Minimal (KKM) tanpa disertai dengan Surat Tugas (ST) dari kepala unit penelitinya. Peneliti hanya diharuskan membuktikan bahwa KTI itu benar-benar terbit di jurnal kredibel dan bukan jurnal predator. Serta, nama jurnal tersebut masuk dalam daftar jurnal internasional terindeks global di e-peneliti BRIN.
Pemberian sanksi etika terhadap para penulis baik di penulisan KTI di jurnal internasional (seratusan penulis) maupun di bagian buku (dua puluh penulis), kemungkinan besar dianggap menjadi strategi para peneliti untuk mensiasati kewajiban KKM yang ditetapkan BRIN dengan penulisan sebuah KTI secara beramai-ramai. Persoalan ini sebenarnya hanya muncul dan terjadi pada sebuah Pusat Riset (Pusris) tetapi tidak menjadi masalah bagi Pusris lainnya.
Jadi tindakan pemberian sanksi etika terhadap seratusan peneliti itu, merupakan sebuah tindakan yang sewenang-wenang dari manajemen BRIN. Hal tersebut terjadi kemungkinan besar disebabkan karena ketidaktahuan para manajer BRIN bahwa ada KTI dengan banyak penulis adalah hal yang wajar dan lazim di dunia ilmiah.
Filosofi KTI yang ditulis oleh banyak penulis sudah pasti kualitas dan mutu tulisannya akan lebih baik dibandingkan dengan KTI yang ditulis 1-3 penulis saja. Hal ini sesuai dengan teori science writing bahwa pendekatan “multi-displine” dalam penulisan KTI merupakan sebuah upaya lintas disiplin ilmu untuk memecahkan sebuah masalah yang kompleks yang rasanya tidak dapat dipecahkan dengan satu atau dua disiplin ilmu saja.
Ketidaktahuan manajemen BRIN itu masih bisa ditoleransi karena umumnya, pejabat struktural lebih banyak membuat keputusan. Namun jarang sekali membaca publikasi terkait dengan keputusannya. Hal ini berbanding terbaik dengan pejabat fungsional peneliti yang lebih banyak membaca publikasi tetapi tidak pernah membuat keputusan atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pejabat strukturalnya.
Dikotomi antara pejabat struktural dan fungsional bukan rahasia umum, saat para peneliti di Badan Litbang K/L itu sudah tersosialisasikan bahwa beda antara pejabat struktural dan fungsional peneliti adalah, dalam bekerja boleh salah, tetapi tidak boleh bohong. Namun, pejabat struktural dalam bekerja tidak boleh salah (sesuai aturan yang ada), tetapi boleh bohong.
Sebenarnya kalau mau dilakukan check and recheck pada jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi terdapat banyak KTI yang telah diterbitkan yang ditulis oleh 300 penulis, 500 penulis dan bahkan lebih dari 1000 penulis dan tidak pernah terdengar para penulis tersebut diberikan sanksi etika terhadap naskah publikasi yang diterbitkannya oleh institusi tempat mereka bekerja.
Sebagai contoh, KTI dengan judul: “Lecturers’ Understanding on Indexing Databases of SINTA, DOAJ, Google Scholar, SCOPUS, and Web of Science: A Study of Indonesians” dengan jumlah penulis sebanyak 315 penulis (Ahmar et al., 2018). KTI ini ditulis dengan total halaman sebanyak 17 halaman dengan perincian subtansi dan daftar Pustaka (11 lembar), daftar nama penulisnya (3,5 lembar) dan nama institusi penulisnya (2,5 lembar).
Contoh paper lainnya dengan penulis terbanyak pada KTI berjudul: “Combined Measurement of the Higgs Boson Mass in pp Collisions at =7 and 8 TeV with the ATLAS and CMS Experiments dengan jumlah penulis mencapai 5.154 penulis (G. Aad et al., 2015). KTI ini secara total terdiri dari 33 halaman dengan perincian substansi dan daftar pustaka (8,5 lembar), daftar nama penulisnya (15,5 lembar) dan nama institusi penulisnya (9 lembar).
Pertama-tama, saya mengucapkan turut belasungkawa dan turut prihatin dengan penjatuhan sanksi etika kepada para penulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul” “Review: A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare” yang diterbitkan pada Jurnal LAND pada 16 Juni 2023 dengan status Terindeks Global Tinggi (Q1) baik di e-peneliti maupun di Scopus.
Informasi tersebut saya peroleh berdasarkan hasil penuturan beberapa penulis KTI tersebut yang telah mengikuti webinar pada Senin, 8 Januari 2023, antara para penulis dengan pimpinan instansinya. Hasil kesimpulan webinar adalah, para penulis tersebut dikenakan sanksi penurunan nilai perilaku dalam penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dengan konsekuensi terkena pemotongan tunjangan kinerja (tukin) antara 10%-20% selama satu tahun.
Ternyata, rencana hukuman tersebut direalisasikan juga. Saya tidak habis pikir dan mengerti mengapa semua ini terjadi di tengah manajemen BRIN sedang bergembira ria karena publikasi global yang dihasilkan peneliti, periset, dan perekayasa BRIN 2023 telah mencapai 4.633 publikasi. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 3000-an publikasi (Kompas, 25/12/2023).
Dapat diibaratkan mereka menari-nari di atas penderitaan para penelitinya karena kemungkinan besar kenaikan jumlah publikasi tersebut sebagai dampak diberlakukannya Keluaran Kinerja Minimal (KKM). Di mana, setiap peneliti/periset/perekayasa diwajibkan menghasilkan karya tulis ilmiah (KTI) di jurnal-jurnal internasional yang terindeks global. Jumlah KTI yang meningkat juga bukan semua atas hasil kegiatan riset di BRIN, tetapi juga sisa-sisa data dari hasil riset ketika penelitinya masih berada di Badan Litbang di kementerian/lembaga.
Ada yang mengagetkan dan sekaligus tantangan bagi penulis ketika diminta para penulis KTI “A Cronicle” lainnya, untuk ikutan membuat surat permohonan maaf dan sekaligus mencabut artikel yang sudah terbit tersebut kepada penerbitnya dengan alasan yang tidak jelas oleh Dewan Etik, BRIN. Tentunya penulis akan menolak tegas dengan argumentasi yang logis bahwa semua saran dan rekomendasi Dewan Etik itu tidak ada dasar hukum tertulis yang dijadikan dasar.
Mereka tidak mengerti dan paham betul bahwa menulis KTI dengan jumlah penulis banyak itu, lebih baik mutunya daripada KTI yang ditulis 3-5 penulis. Ini karena KTI ditulis oleh banyak penulis menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu. Tetapi ironis dan irasional, manajemen BRIN bukan menghargai para penulis yang menggunakan berbagai disiplin ilmu, tetapi malah memberikan hukuman disiplin.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berusaha membahas kasus KTI “A Cronicle” dengan pendekatan teori dan bukti empirik, bahwa penulisan sebuah KTI itu, bukan suatu pelanggaran etika. Apalagi pantas untuk diberikan hukuman yang cukup “membagongkan” (baca: membingungkan) para penulisnya dengan hukuman disiplin yang berakhir pada penurunan nilai perilaku dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan bermuara pada pemotongan tukin.
Tulisan ini, akan menguraikan dan menjelaskan terkait argumentasi penulis, mengapa menolak untuk ikut serta meminta maaf mendukung pencabutan naskah KTI tersebut dari penerbitnya, di antaranya (1) penulisan KTI ini ranah peneliti atau manajemen, (2) apa kaitannya antara pelanggaran etika dengan banyaknya penulis pada sebuah KTI?, (3) kekeliruan sebuah KTI harus dibuatkan sebuah KTI tandingan (counter attack) bukan dengan pendekatan kekuasaan, dan (4) dampak dari pemberian hukuman dalam penulisan dalam KTI.
Penulisan KTI ini ranah peneliti atau manajemen
Penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) baik di jurnal nasional maupun internasional adalah hak dan kewenangan serta independensi peneliti tanpa bisa dicampuri atau diintervensi oleh siapapun. Bahkan, kepala unit kerja atau pimpinan langsungnya. Hal ini sudah berlangsung turun temurun dari saat para peneliti bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) di Kementerian-K/L-Lembaga (1960-2022) hingga semua para peneliti Balitbang K/L bergabung dalam wadah BRIN sejak 2022. Setelah munculnya Peraturan Presiden (Perptres) No.78 Tahun 2021 tentang BRIN.
Hak dan kewenangan peneliti dalam menulis KTI tanpa intervensi siapapun dimanifestasikan dalam proses pengusulkan angka kredit dahulu dan sekarang sebagai salah satu usulan Keluaran Kinerja Minimal (KKM) tanpa disertai dengan Surat Tugas (ST) dari kepala unit penelitinya. Peneliti hanya diharuskan membuktikan bahwa KTI itu benar-benar terbit di jurnal kredibel dan bukan jurnal predator. Serta, nama jurnal tersebut masuk dalam daftar jurnal internasional terindeks global di e-peneliti BRIN.
Pemberian sanksi etika terhadap para penulis baik di penulisan KTI di jurnal internasional (seratusan penulis) maupun di bagian buku (dua puluh penulis), kemungkinan besar dianggap menjadi strategi para peneliti untuk mensiasati kewajiban KKM yang ditetapkan BRIN dengan penulisan sebuah KTI secara beramai-ramai. Persoalan ini sebenarnya hanya muncul dan terjadi pada sebuah Pusat Riset (Pusris) tetapi tidak menjadi masalah bagi Pusris lainnya.
Jadi tindakan pemberian sanksi etika terhadap seratusan peneliti itu, merupakan sebuah tindakan yang sewenang-wenang dari manajemen BRIN. Hal tersebut terjadi kemungkinan besar disebabkan karena ketidaktahuan para manajer BRIN bahwa ada KTI dengan banyak penulis adalah hal yang wajar dan lazim di dunia ilmiah.
Filosofi KTI yang ditulis oleh banyak penulis sudah pasti kualitas dan mutu tulisannya akan lebih baik dibandingkan dengan KTI yang ditulis 1-3 penulis saja. Hal ini sesuai dengan teori science writing bahwa pendekatan “multi-displine” dalam penulisan KTI merupakan sebuah upaya lintas disiplin ilmu untuk memecahkan sebuah masalah yang kompleks yang rasanya tidak dapat dipecahkan dengan satu atau dua disiplin ilmu saja.
Ketidaktahuan manajemen BRIN itu masih bisa ditoleransi karena umumnya, pejabat struktural lebih banyak membuat keputusan. Namun jarang sekali membaca publikasi terkait dengan keputusannya. Hal ini berbanding terbaik dengan pejabat fungsional peneliti yang lebih banyak membaca publikasi tetapi tidak pernah membuat keputusan atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pejabat strukturalnya.
Dikotomi antara pejabat struktural dan fungsional bukan rahasia umum, saat para peneliti di Badan Litbang K/L itu sudah tersosialisasikan bahwa beda antara pejabat struktural dan fungsional peneliti adalah, dalam bekerja boleh salah, tetapi tidak boleh bohong. Namun, pejabat struktural dalam bekerja tidak boleh salah (sesuai aturan yang ada), tetapi boleh bohong.
Sebenarnya kalau mau dilakukan check and recheck pada jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi terdapat banyak KTI yang telah diterbitkan yang ditulis oleh 300 penulis, 500 penulis dan bahkan lebih dari 1000 penulis dan tidak pernah terdengar para penulis tersebut diberikan sanksi etika terhadap naskah publikasi yang diterbitkannya oleh institusi tempat mereka bekerja.
Sebagai contoh, KTI dengan judul: “Lecturers’ Understanding on Indexing Databases of SINTA, DOAJ, Google Scholar, SCOPUS, and Web of Science: A Study of Indonesians” dengan jumlah penulis sebanyak 315 penulis (Ahmar et al., 2018). KTI ini ditulis dengan total halaman sebanyak 17 halaman dengan perincian subtansi dan daftar Pustaka (11 lembar), daftar nama penulisnya (3,5 lembar) dan nama institusi penulisnya (2,5 lembar).
Contoh paper lainnya dengan penulis terbanyak pada KTI berjudul: “Combined Measurement of the Higgs Boson Mass in pp Collisions at =7 and 8 TeV with the ATLAS and CMS Experiments dengan jumlah penulis mencapai 5.154 penulis (G. Aad et al., 2015). KTI ini secara total terdiri dari 33 halaman dengan perincian substansi dan daftar pustaka (8,5 lembar), daftar nama penulisnya (15,5 lembar) dan nama institusi penulisnya (9 lembar).
Kaitannya antara pelanggaran etika dengan banyaknya penulis pada sebuah KTI
Berdasarkan penjelasan di atas, sebenarnya tidak ada kaitannya langsung atau tidak langsung antara penulisan jurnal dengan jumlah penulis yang banyak dengan pelanggaran etika yang dilakukan para penulis tersebut. Hasil pencermatan yang saksama dan detail terhadap SK Kepala BRIN No.198/2023 menunjukkan, bahwa tidak ada diatur sama sekali soal pelanggaran etika dalam penulisan KTI di jurnal-jurnal internasional tersebut.
Pada dasarnya, pemberian sanksi etika oleh salah satu manajemen BRIN dapat dikatkan telah melebihi kewenangan dari kewenangan Kepala BRIN sendiri yang telah menetapkan Surat Keputusan (SK) Kepala BRIN No: 198/2023 yang didalam SK tersebut tidak ada aturan tertulis yang mencantuman batasan jumlah penulis dalam sebuah KTI.
Seharusnya, manajemen BRIN berbangga hati karena ini baru pertama kali sejak Indonesia Merdeka seratusan penulis (semuanya (100%) Warga Negara Indonesia) menulis KTI di Jurnal Internasional Terindeks Bereputasi Tinggi (Q1) dan para penulis KTI tersebut bukannya mendapat penghargaan, tetapi sebaliknya malah diberikan hukuman dan sanksi etika terhadap para penulisnya.
Hasil pengecekan jumlah sitasi dari KTI tersebut oleh Scopus ternyata cukup tinggi juga, yaitu sekitar 45 sitasi. Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang valid dan benar untuk memberikan sanksi etika terhadap seratus penulis tersebut.
Jadi tuduhan “pelanggaran etika” sebenarnya sebuah kamuflase semata karena dengan terbitnya KTI tersebut ternyata tidak ada satupun institusi yang dirugikan. Hal yang ditakutkannya adalah persoalan kekhawatiran atau ketakutan dari manajemen BRIN atas pencapaian target jumlah KTI yang sudah direncanakan tidak tercapai, sehingga pengenaan sanksi terhadap penulis yang banyak pada satu KTI berkaitan erat dengan dampaknya kepada kinerja di sebuah institusi di BRIN.
Sebagai contoh, jika 120 penulis menerbitkan sebuah jurnal. Maka jumlah artikel yang sudah dipublikasikan di suatu institusi BRIN akan sangat berkurang jauh. Misalnya, jika diasumsikan ada pembatasan penulisan satu artikel itu boleh dituliskan oleh lima penulis, berarti institusi tersebut seharusnya memiliki KTI pada jurnal berstatus Q1 sebanyak 24 KTI, seandainya penulisnya 120 orang.
Namun kenyataan, institusi tersebut hanya bisa mengeklaim 1 KTI karena para penulisnya (120 orang) berasal dari satu institusinya, maka institusi tersebut kehilangan sebanyak 23 KTI dan secara statistik itu kehilangan jumlah jurnal itu sangat signifikan.
Seandainya soal kehilangan jumlah KTI tersebut disampaikan kepada penulisnya, kemungkinan besar akan mudah mengerti dan difahami daripada alasan kamuflase yang diberikan sebagai pelanggaran etika. Ketika ditanyakan kepada manajemen BRIN terkait pelanggaran etika yang mana dan pasal berapa dari aturan tertulis yang mana? Manajemen BRIN tidak dapat menjawab dan membuktikan tuduhan pelanggaran etika tersebut.
Seharusnya, pimpinan institusi tersebut harus menyampaikannya secara jujur dan transparan bahwa pelarangan KTI tersebut disebabkan akan berdampak pada kinerja institusi yang dipimpinnya dan diberi peringatan untuk selanjutnya penulisan KTI dengan penulis yang banyak tidak boleh diulangi lagi. Tetapi ironis dan miris sekali, pimpinan institusi tersebut lebih senang menggunakan pendekatan “kekuasaan” terhadap para penelitinya dengan begitu mudah menjatuhkan sanksi etika terhadap para penulisnya daripada pendekatan “komunikasi dua arah” antara seorang atasan dan bawahannya.
Kekeliruan sebuah KTI harus dibuatkan sebuah KTI tandingan
Sebenarnya ada aturan etika yang kurang dipahami oleh para pemegang jabatan struktural atau kekuasaan di lingkaran BRIN terkait aturan tidak tertulis, bahwa jika KTI yang dibuat seorang penulis keliru, maka yang harus dilakukan adalah menulis KTI tandingan yang menyatakan bahwa KTI tersebut keliru dan perlu diliuruskan terkait data dan fakta terbarunya.
Hal ini pernah terjadi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di mana, pimpinan delegasi Indonesia dalam suatu agenda COP 2014 di Lima, Peru menyatakan, bahwa laju deforestasi Indonesia telah turun secara signifikan, namun dalam saat yang bersamaan Margono et al. (2014) mempublikasikan dalam jurnal online ilmiah Nature Climate Change yang berjudul “Primary forest cover loss in Indonesia over 2000-2012”.
KTI “Primary forest“ menyebutkan, hilangnya hutan alam primer tropika di Indonesia masih terus berlangsung dan merupakan kehilangan hutan primer tercepat di dunia. Namun oleh Staf Khusus Presiden dikatakan bahwa “kajian ilmiah tersebut berbau politis” (Purnomo, 2014), kemudian terjadi polemik antara staf khusus tersebut dengan para penulisnya. Para penulisnya menyatakan bahwa “penelitian ini mengukur hilangnya hutan primer di Indonesia dilakukan dalam rentang waktu tahunan, dan dalam pelaksanaanya didasarkan pada proses metodologi yang selalu berkembang dan terus ditingkatkan lewat peer-review dan publikasi akademik.
Karya ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang akurat dan transparan atas hilangnya hutan primer yang akhirnya dapat memperkuat kapasitas pemantauan hutan di Indonesia. Semua rekan-rekan peneliti dapat memastikan bahwa penelitian ini didasarkan pada metode ilmiah tanpa dipengaruhi oleh agenda politik apapun.
Tanggal publikasi tidak dipilih bertepatan dengan proses pemilu yang saat ini dilakukan di Indonesia, tetapi lebih kepada proses peer-review dari jurnal Nature Climate Change; dalam kertas kerja kami dapat dilihat tanggal asli pengajuan pekerjaan kami kepada Nature Climate Change yaitu Desember 2013 (tahun lalu” (Margono et al., 2014).
Di lingkungan KLHK sendiri, salah satu penulisnya KTI “Primary forest“ adalah pegawai KLHK. Sehingga, pegawai tersebut akan diberikan hukuman berat. Tetapi dapat dicegah oleh Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI), KLHK bahwa jika sebuah KTI tidak benar atau keliru, maka harus dibuatkan KTI tandingannya yang menjelaskan bahwa data dan fakta tersebut keliru dan bukan menggunakan tangan kekuasaan untuk “menyingkirkan” penulis tersebut.
Informasi terbaru yang diperoleh bahwa penulis KTI tersebut sekarang sudah menduduki jabatan eselon I dan bisa dibayangkan jika tidak ada pembelaan dari Kepala BLI yang rasional dan berani tersebut, maka sudah tamatlah karir pegawai tersebut.
Seharusnya menajemen BRIN lebih membuka diskusi terkait KTI “A Cronicle” dengan para penulisnya bukan dengan pemberian sanksi etika kepada para penulis artikel tersebut. Keputusan manajemen BRIN tersebut adalah di luar nalar atau akal sehat karena seandainya pendekatan “komunikasi dua arah” dijalankan dan jumlah penulis yang banyak menjadi permasalahan, maka para penulis dapat meminta kepada penerbit untuk (1) mengganti nama institusi para penulis (jika institusinya merasa ditugikan atas terbitnya KTI tersebut) dan (2) menghilangkan (takedown) KTI tersebut dari jurnal yang diterbitkannya.
Hal ini sangatlah mudah dilakukan apabila pendekatan “komunikasi dua arah” yang jadi pilihan dalam upaya mencari solusi terbaik dalam kasus terbitnya KTI tersebut. Walaupun usulan Dewan Etik untuk menanggalkan KTI tersebut kemungkinan besar akan ditolak oleh penerbitnya karena tidak berdasar dan melanggar etika penulisan KTI di lingkungan komunitas ilmiah. Di samping itu, KTI tersebut sudah banyak dikutip oleh para penulis internasional lainnya dan bagaimana tanggung jawab para penulis dan penerbitnya jika KTI tersebut dicabut atau di-takedown?
Kasus KTI “A Cronicle” itu sama sebangun dengan kasus KTI “Primary forest“, maka manajemen BRIN harus belajar dari kasus KTI “Primary forest“ yang tidak mungkin ditanggalkan karena sudah menjalani proses peer review dan publikasi akademik.
Dampak dari pembatasan jumlah penulis dalam KTI
Pemberian sanksi etika dan penurunan tukin oleh manajemen BRIN terhadap para penulis dengan alasan yang tidak jelas dan tidak ada penjelasan resmi terkait kekeliruan dari kasus KTI “A Cronicle” tersebut. Ketidak jelasan ini menyasar kepada semua lini, di mana penulis book chafter juga dikenakan sanksi etika karena penulisnya lebih dari 20 penulis sebagaimana diungkapkan dalam Webinar oleh PPI Pusat pada 8 Januari 2023 dengan topik “Indeksasi Jurnal di Lingkungan BRIN”. Hal yang sama dialami penulis ketika memasukan KTI di jurnal internasional yang dikelola BRIN yang telah meminta kepada para penulisnya untuk mengurangi jumlah penulisnya.
Penulis pada awalnya mengirimkan abstrak sebuah KTI pada sebuah jurnal internasional terindeks bereputasi global tinggi (Q1) di lingkungan BRIN. Saat itu dinyatakan bahwa abstrak diterima, tetapi karena cakupannya terlalu luas, sehingga diminta penulisnya untuk lebih fokus pada salah satu aspek pokok bahasan saja. Penulis sebagai penulis utama setelah mempelajari abtrak yang telah direview, kemudian mengundang dan menambahkan para penulis lain baik dari dalam maupun dari luas institusi BRIN sesuai dengan bidang kepakarannya agar kualitas KTI tersebut meningkat dengan pendekatan multi-disiplin ilmu.
Akhirnya draf awal KTI tersebut sudah selesai dengan jumlah penulis sekitar 22 (dua puluh dua) penulis dan kemudian dikirimkan kembali ke pengelola jurnal tersebut. Setelah di-review, dikatakan oleh ketua editor jurnal tersebut, bahwa format penulisan KTI belum sesuai dengan format pengutipan pustakanya dan catatan lainnya, sebaiknya jumlah penulis dikurangi. Minimal dikembalikan pada saat awal pengiriman abstrak, yakni enam penulis.
Setelah catatan ketua editor jurnal tersebut di-posting di WAG, memang ada 1-2 peneliti mengundurkan diri tanpa menjelaskan alasannya. Penulis sebagai penulis pertama dan bertanggung jawab atas KTI memerintahkan penulis lain yang submit ke jurnal tersebut untuk menarik KTI yang sudah direvisi ke jurnal tersebut. Penulis merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan sepertinya tidak beretika, apabila penulis meminta penulis lainnya yang sudah berkontribusi positif terhadap penyelesaian sebuah KTI untuk mengundurkan diri. Lebih baik KTI tersebut ditarik sebagai suatu indikasi dukungan terhadap pelanggaran etika antara sesame penulis, walaun tidak ada jaminan setelah terbit di jurnal lainnya juga akan dituduhkan sebagai pelanggaran etika.
Secara umum, dapat dikatakan pelanggaran etika sebagai kebijakan kamuflase untuk menutupi kekhawatiran tidak tercapainya jumlah KTI yang sudah ditergetkan dan kemungkinan besar manajemen BRIN akan memunculkan kebijakan pembatasan jumlah penulis dalam penulisan sebuah KTI. Kebijakan reaktif ini sudah menjadi agenda seting (teori siklus kebijakan) yang rutin dijalankan oleh manajemen BRIN ketika muncul kasus, sehingga filosofi kebijakan yang diterapkannya adalah “Memecahkan masalah dengan masalah”. Tagline BRIN ini berseberangan dengan tagline Pegadaian “Memecahkan masalah tanpa masalah”.
Argumentasi logis yang dikemukan oleh penulis untuk tidak menyetujui penandatangan permohonan maaf dan sekaligus menarik KTI “A Cronicle” dari penerbitnya adalah sebagai berikut: (1) Hukuman yang dijatuhkan kepada para penulis tanpa ada dasar aturan tertulis sebagaimana dalam SK Kepala BRIN No. 198/2023; (2) manajemen BRIN meminta dihapuskan KTI tersebut sepertinya melebihi kewenangannya dibandingkan dengan penerbit jurnal dan komunitas ilmiah di jurnal tersebut; (3) Bagaimana mungkin manajemen BRIN telah memberikan hukuman, tetapi tanpa ada jejak KTI sebagai obyek hukuman dan barang buktinya; (4) Lembaga BRIN sebenarnya tidak dirugikan secara materiil dan immateriil karena (i) semua penulis tidak ada satupun yang mengajukan KTI tersebut sebagai KKM, dan (ii) walaupun ada di manajemen BRIN lainnya sudah disetujui, tetapi terpaksa ditanggalkan sebagai KKM demi mengedepankan rasa keprihatinan dan solidaritas atas para penulis lainnya yang terkena hukuman; (5) penulis sangat yakin bahwa penulisan surat pencabutan oleh sebagaian besar penulisnya sebagaimana disarankan oleh Dewan Etik, akan ditolak penerbit KTI tersebut karena tanpa dijelaskan alasan rasional dan logis terkait usulan pencabutan tersebut; (6) Pihak Sponsor kemungkinan akan meminta pengembalian dananya karena sudah masuk buku pencatatan institusinya bahwa dana tersebut digunakan untuk membiayai penulisan KTI “A Cronicle” dan jika diperiksa ternyata KTI tersebut tidak ada, maka pihak sponsor dapat terkena tuduhan delik penipuan atau delik korupsi karena membiaya KTI fiktif; (7) KTI tersebut sudah banyak dikutip oleh para penulis internasional lainnya dalam pembuatan KTI mereka dan jika dihilangkan timbul pertanyaan terkait dimana etika dan tanggung jawab para penulis dan penerbit KTI tersebut; (8) pemberian hukuman terhadap para penulis yang tidak tahu apa kesalahannya menjadikan hukuman itu adalah sebuah tindakan dzolim dan kesewenang-wenangan dari manajemen BRIN. Kesewenangan tersebut bahkan melebih kewenangan para hakim di semua pengadilan (Negeri, Tinggi dan Mahkamah Agung) yang selalu menjunjung tinggi filosofi keadilan, yaitu “Lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
Jadi, bagaimana mungkin penulis dan para penulis lain KTI “A Cronicle” tersebut dapat menerima hukuman yang mereka sendiri tidak mengetahui pasal mana dan aturan mana yang dilanggarnya dan diharuskan meminta maaf serta harus menerima sanksi disiplin dan pemotongan tukin dari pimpinan institusinya. Pemberian hukum ini menciderai asas hukum pidana yang berbunyi “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang mempunyai pengertian sebagai “tiada peristiwa hukum atau tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu peristiwa hukum dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas peristiwa itu” (https://kamushukum.web.id/arti-kata/nullumdelictumnullapoenasinepraevialegepoenali/).
Asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” (Sopandi, 2010; JDIH Yogyakarta, 2012).
Penutup
Sebagai sebuah civitas lembaga riset, maka sudah seharusnya manajemen BRIN lebih menggunakan pendekatan “komunikasi dua arah” dan bukan pendekatan “kekuasaan” terhadap persoalan KTI yang sudah diterbitkan. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang dialog dan diskusi ilmiah untuk menyelesaikan semua persoalan di internal BRIN khususnya yang terkait dengan publikasi KTI.
Oleh karena itu, sanksi hukuman disiplin harus segera dicabut sebagaimana penjelasan ilmiah di atas dan sesuai juga dengan diktum sebuah keputusan yang umumnya terdapat klausul "Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan ini dalam keputusan ini, akan diadakan perbaikan dan perhitungan kembali sebagaimana mestinya”.
Rasanya ironis dan irasional ketika para peneliti dalam mempublikasikan KTI nya harus berjuang dengan segenap tenaga dan kemampuannya, tetapi malah mendapat sanksi hukuman serta harus melaporkan terlebih dahulu KTI tersebut kepada atasan langsung para penulisnya. Hal ini akan menjadi boomerang bagi manajemen BRIN karena akan menghilangkan independensi dan memasung kreavitas penulis yang sudah berusaha menghasilkan KTI terbaiknya sesuai kepakarannya untuk diterbitkan di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi.
Seharusnya, manajemen BRIN belajar dari keterpurukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga superbody ternyata tidak mampu menunjukkan kinerjanya karena indepedensinya dihilangkan dan pimpinannya tak kuasa karena takut kehilangan jabatannya setelah UU KPK direvisi.