Indonesia gudangnya gempa
Banyaknya gempa di Indonesia merupakan konsekuensi dari tekanan lempeng tektonik sudah bekerja bergerak dan menekan Indonesia sejak jutaan tahun lalu. Pada batas lempeng ini, terjadi akumulasi energi sampai suatu batas tertentu atau dengan selang waktu terentu kekuatan lapisan litosfer terlampui sehingga terjadi pelepasan energi yang dikenal dengan gempa bumi.
Pergerakan lempeng tektonik akan terus berlangsung dengan kecepatan tertentu antara 2–10 cm per tahun. Ibarat tumpulan material terdiri dari lapisan betin baja, kayu, plastik, dan lain-lain didesak oleh tiga buldoser yang bergerak dengan kecepatan tetap dari tiga arah.
Pergerakan lempeng (bergeraknya buldoser) akan mendorong dan mematahkan lapisan batuan dan bersamaan dengan pecahnya batuan akan diikuti gempa. Oleh karena lempeng tektonik bergerak terus, maka kejadian gempa akan berulang. Terus berulang di masa depan tergantung pada kekuatan runtuh batuan yang ada di daerah tersebut. Gempa ini bisa terjadi tiap tahun, bisa tiap 10 tahun, bahkan bisa 100 tahun atau lebih. Kalau kita plot lokasi dan distribusi gempa di Indonesia maka, hampir seluruh wilayah Indonesia rawan gempa.
Gempa merupakan salah satu fenomena alam yang tidak dapat diprediksi. Tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat yang ditimbulkan bisa sangat mengerikan. Perkembangan sains dan teknologi untuk memprediksi kapan dan besarnya magnitude gempa, masih belum bisa menentukan secara pasti kejadiannya.
Tanda-tanda memang terkadang muncul setiap akan terjadi gempa seperti, awan putih lurus, hewan-hewan di dalam tanah keluar bersamaan, atau hewan-hewan nampak gelisah beberapa jam sebelum gempa datang. Tetapi masih belum bisa dipakai untuk menentukan kapan terjadi gempa karena terkadang muncul dan terkadang tidak menunjukkan gejala itu sama sekali. Tetapi mungkin suatu saat akan ditemukan kapan dan besarnya magnitude gempa.
Dulu sebelum manusia didatangkan, gempa ini tidak menimbulkan bencana. Saat sekarang dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menimbulkan persebaran manusia dengan aktivitasnya mendekati kawasan rawan gempa dan atau tsunami sehingga gempa dan tsunami ini berubah menjadi bencana. Lokasi gempa dengan skala terbesar dan waktu ulang yang pernah terjadi merupakan data penting untuk berbagai upaya mengurangi risiko bencana gempa.
Untuk sementara ini, gempa dianggap given sehingga untuk antisipasi dan mengurangi risiko bencana dilakukan dengan jalan penguatan struktur bangunan dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Kenapa kita rentan?
Selama ini sebagian besar masyarakat masih menganggap bencana sebagai musibah yang harus dan layak diterima masyarakat. Usulan upaya penanganan/pencegahan sebelum tejadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada. Ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana takut kuwalat (terjadi sungguhan). Akibat pandangan itu, kita terkena bencana yang sama berulang-ulang tanpa melakukan apapun, padahal korban sudah berjatuhan, kerusakan dan kerugian sudah cukup banyak.
Sebuah kenyataan yang harus diingat dan diterima seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis dan klimatologis, Indonesia rawan bencana. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, dan sebagian wilayah pantainya rawan tsunami. Pada saat musim hujan muncul ancaman banjir, longsor, angin kencang, ombak tinggi. Saat kemarau, ada sebagian wilayah kekeringan dan kekurangan air bersih. Peristiwa itu terus berlangsung dan terus berulang dengan periode tertentu.
Manusia diciptakan dan secara alamiah membutuhkan papan, sandang dan pangan. Pertumbuhan penduduk meningkat tajam sehingga kebutuhan ini pun semakin meningkat pula. Kebutuhan papan yang semakin luas mengakibatkan terjadinya perambahan kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni.
Perambahan kawasan rawan ini terjadi karena masyarakat tidak mengetahui (karena tidak diberitahu) atau karena terpaksa menempati atau karena memang nekat, siap menanggung risiko. Apalagi jika sudah bersentuhan dengan manusia maka, peristiwa alam tersebut berubah menjadi bencana.
Sebagai Negara beragama, kita mempercayai bahwa manusia diciptakan dan didatangkan di muka bumi mempunyai tugas untuk membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti dan memahami perilaku semua peristiwa alam tersebut. Artinya, manusia diwajibkan untuk mempelajari petunjuk Allah agar bisa menyimpulkan dan diharapkan bisa melakukan tindakan yang arif dalam menyikapi peristiwa alam tersebut. Kita harus bersama-sama menyingkirkan pandangan lama tentang bencana menuju ke paradigma baru yang lebih ke arah pengurangan risiko.
Memang pemerintah selama ini memahami gempa itu sebagai peristiwa yg tidak bisa diduga atau bahas hukumnya #force_majeour. Dengan begitu, upaya yang dilakukan selama ini hanya respons saja. Ketika ada gempa, baru melakukan rapat dan datang ke lokasi bawa bantuan.
UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengharuskan pemerintah dibantu semua pihak melakukan mitigasi sebelum gempa itu terjadi. Termasuk melakukan pemberdayaan dan pelatihan dalam menghadapi gempa, baik sebelum, saat dan sesudah. Harapannya semua elemen masyarakat dari anak anak sampai orang tua bahkan masyarakat difabel mengetahui tentang itu.
Kiat Jepang menghadapi gempa
Jepang merupakan Negara kepulauan relatif kecil. Terletak di kawasan geologi tektonik aktif dengan banyak gempa dan tsunami sama dengan negara kita. Karena kecilnya kepulauan maka masyarakat Jepang tidak punya pilihan lain, mereka harus menghadapi gempa dan tsunami tersebut.
Untuk itu mereka mencatat, meneliti, mengembangkan sistem peringatan dini, mengembangkan bangunan tahan gempa, dan mensosialisasikan hasil penelitiannya. Sosialisasi kepada masyarakat tanpa kecuali baik kepada balita, manula, ibu-ibu hamil, maupun penyandang cacat dan lain-lain. Mereka melakukan gladi atau simulasi menghadapi gempa secara rutin dalam jangka waktu tertentu.
Karena sosialisasi sudah berlangsung lama, maka masyarakat Jepang sudah terbangun budaya keselamatan, sehingga saat terjadi gempa mereka reflek akan bersembunyi di bawah meja sampai getaran selesai baru mereka keluar ruangan satu persatu.
Misalkan saja pada Tsunami Sendai pada Jumat, 11 Maret 2011. Jepang dihantam gempa 9,0 skala Richter dan diikuti tsunami yang dahsyat, dampaknya terlihat dari kerusakan infrastruktur, kebakaran hebat, dan rusaknya instalasi nuklir. Gempa dan tsunami ini mirip dengan yang terjadi di Aceh pada 2004. Tsunami di Aceh korban jiwanya lebih dari 167.300 orang sedangkan di Jepang tidak lebih dari 20.000 orang.
Itulah sebabnya mestinya, kita ini tangguh seperti bangsa Jepang ketika menghadapi gempa. Memang ada kementerian/badan/lembaga/perguruan tinggi yang belajar gempa tapi implementasinya belum sampai ke masyarakat.