Islah politik pascapilpres
Tercatat dalam sejarah pengetahuan, politik adalah perbincangan publik yang selalu menarik dan tidak lekang oleh waktu. Juga tidak mengenali usia dan batas-batas gender. Politik adalah nadi kehidupan setiap orang, dengan kadar kepentingannya masing-masing. Meskipun telah berkemas dan usai, riuh rendah terkait kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) terus memadati ruang-ruang publik, dibincang soal keputusan penyelenggara yang dianggap cacat proses dan keadilan tidak dapat disingkirkan.
Dalam proses kontestasi selalu mengemuka dua hal berseberang, menang dan kalah, memerintah dan mengontrol pemerintahan. Menjadi oposisi bukan aib politik, juga bukan kejumawaan ketika memenangi pertarungan. Menang dan kalah hanya sebuah identitas pemisah, pembeda jalan dalam membangun bangsa dan negara.
Dengan notasi demikian, seharusnya memang tidak ada diksi kalah dan menang, karena keduanya sama-sama berhak atas mandat warga negara. Oposisi, berhak atas mandat mengawal jalannya pemerintahan yang adil, membangun, dan memajukan seluruh kepentingan warga negara. Sementara pemerintah, bermandat untuk melaksanakan cita-cita bersama sebagai satu kesatuan bangsa dan negara (power for common good).
Jadi, berbeda ruang politik adalah ruh dari demokrasi itu sendiri, justru jika terjadi dialog dan upaya rekonsiliasi dengan cara merangkul semua pihak yang berkontestasi, maka demokrasi berjalan tidak seimbang, dominasi pemerintah tanpa adanya kontrol yang kuat dari oposisi menjadi dilema.
Resolusi konflik
Sebagai keniscayaan, konflik tidak dapat terhindar dari proses kontestasi, dengan kesadaran itulah maka negara membangun sistem yang memungkinkan terjadinya pengelolaan serta pengendalian konflik. Salah satu yang kita yakini, sebagai upaya resolusi konflik politik, dengan mempercayakan rotasi pemerintahan dengan tiga kekuasaan: berimbang, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Politik menyebutnya: trias politika.
Apa yang dimaksud dengan tiga kekuasaan itu? Adalah agar tidak terjadi dominasi kuasa di salah satunya, eksekutif dalam menjalankan kekuasaan tidak dapat sewenang karena ada pengawasan dari oposisinya yang berwenang pula membuat aturan memainkan kekuasaan (regulasi), lalu ketika keduanya sama-sama ingin menunjukkan taring bersamaan, maka yudikatif turun tangan memisahkan, setidaknya memberi keputusan bijak agar pertikaian dua kekuasaan tidak berlangsung.
Komunikasi politik mengenal dua istilah berbeda dalam membaca sengketa hasil Pilpres 2019 ini, perselisihan politik (political dispute) dan konflik politik (political conflict). John W. Burton (1993) dalam tulisannya berjudul “Conflict Resolution as a Political Philosophy" in Conflict Resolution Theory and Practice: Integration and Application, menjelaskan soal perselisihan politik sebagai bagian dari manuver politik karena adanya ketidakseragaman kepentingan, dan selesai jika masing-masing kubu memperoleh apa yang ia harapkan dari negosiasi politis.
Sementara, konflik politik mengacu pada sengketa kepentingan mendasar yang tidak dapat dinegosiasikan. Artinya, kedua kubu bersengketa di Mahkamah Konstitusi secara bersamaan memiliki prinsip, sama-sama memperjuangkan nilai dasar dari sebuah kebenaran, untuk itu tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan konflik kecuali dengan melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dan, kebenaran itu harus diserahkan pada hasil sidang, karena dari aspek politik Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya yang memiliki wewenang untuk mendefinisikan kebenaran.
Jalan kohabitasi
Kohabitasi merupakan istilah tidak lazim dalam politik, tetapi cukup berfungsi untuk menggambarkan relasi kepentingan politik praktis, artian harfiahnya adalah hubungan tanpa ikatan. Realitasnya, menggambarkan kondisi Partai Politik (Parpol) yang tidak berada di kedua kubu berselisih, tetapi dalam praktik politik memihak ke salah satunya. Partai Demokrat (PD) pernah membahasakan sebagai “poros penyeimbang”.
Fenomena Pilpres 2019 ini memiliki potensi kohabitasi, yakni tidak berada dalam kubu oposisi, tetapi tetap mengontrol pemerintahan, atau berada di kubu oposisi. Tetapi praktik dan manuvernya mendukung pemerintah. Itulah sebabnya, kohabitasi selain tidak lazim, ia juga minim etika politik karena posisi yang tidak menentu dan cenderung pragmatis.
Di luar itu, ada sisi baik dari kohabitasi yakni meredam gejolak perselisihan dan konflik politik yang melibatkan publik pendukung. Dengan manuver demikian, maka konsentrasi pendukung loyal terpecah menjadi bias. Dalam ketidakjelasan itu publik dibuat samar dalam berpijak, sehingga loyalitas cenderung turun dan ini tentu berimbas pada aktifitas politis landai, teduh dan tidak fluktuatif.
Apa yang telah dilakukan oleh PD melalui manuver Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), adalah gelaja kohabitasi, begitupula Ketua Umum PAN yang lakukan pendekatan ke kubu pemerintah. Kedua aktifitas itu baik, dalam rangka menyusun rekonsiliasi atau islah politik secara personal. Meskipun dalam tataran etika politik dianggap tidak lazim, tentu rekonsiliasi itu sudah benar, hanya saja tidak lantas menjadikan kekuasaan sebagai kue yang harus dibagi-bagi secara personal, kekuasaan telah memiliki kehidupannya sendiri.
Yakni, adanya pemerintah dan pengontrol, bahkan kita sudah menyepakati adanya Trias Politika, sejatinya politik itu tidak bisa dalam satu kesepakatan.
Jalan lain pengeratan ikatan kebangsaan, dengan menghadirkan islah personal, dimana pertimbangan moral lebih dominan dari pertimbangan politik. Para elit, harus menarik diri dari eksistensi ego masing-masing, menumbuhkan kesadaran bahwa kebangsaan kita lebih memerlukan persatuan, dibanding dengan kepentingan politik berjangka.