Jalan panjang penguasaan sekulerisasi
Berbagai literasi Islam politik di Indonesia secara spesifik mendeskripsikan kejayaan politik Islam terjadi rentang 1955-1959. Dengan sistem politik yang tidak kalah liberalnya, belum lagi persinggungan ideologi yang amat tajam, tetapi Islam secara politik memperlihatkan performanya yang mampu menginternalisasikan Islam dalam kekuasaan, kenegaraan, dan sosial kemasyarakatan.
Kemampuan mengimbangi inilah kemudian dilukiskan Deliar Noer sebagai bentuk kemampuan para aktor politik Islam dalam mengoperasionalkan Islam sebagai ideologi politiknya. Islam secara konsisten dan istikamah dijadikan sebagai nilai dasar berperilaku dan bertindak oleh para aktor bahkan menjadi teladan umat untuk menghidupkan Islam sebagai landasan berpartai, berpolitik, berbangsa, dan bernegara.
Namun, itu dulu. Berbeda dengan saat ini yang perlahan namun pasti, performa Islam secara politik mengalami pelemahan secara sistematis yang belum disadari bahkan kekuatan politiknya, sebut saja partai dan ormas Islam, tidak lagi mampu mengambil peran. Alhasil, umat mengalami ketersumbatan saluran politik dan sandaran aspirasi.
Hal tersebut mengakibatkan lahirnya kebijakan yang secara langsung merugikan umat Islam. Seiring sejalan, kondisi ini juga diperparah dengan perilaku elite politik Islamnya yang lebih akomodatif pada kekuasaan, pragmatisme, dan lebih mengutamakan kepentingan sesaat.
Islam secara politik hanya dijadikan alas ketika pemilihan umum berlangsung, ketika pemerintahan mengalami kesulitan meskipun berdiri dibalik nilai-nilai sekulerisasi dan perilaku akomodatif transaksional. Ini ibarat virus yang sangat cepat mewabah, menulari berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. “Karantina wilayah (lockdown)” sangat tidak mungkin dilakukan bahkan untuk menerobos hegemoni sekulerasi. Wajar kalau Indonesia kini berada pada sistem negara superkapitalis dan liberal.
Terlepas dari kondisi politik, terdapat keunikan dalam pergulatan filsafat dan gagasan Islam dalam berpolitik di Indonesia. Ada benarnya meskipun dalam satu guyonan, “masyarakat Indonesia lebih khawatir terpapar virus korona yang dikenal dengan Covid-19 ketimbang terpapar nilai-nilai Islam dalam keseharian”.
Kita tidak perlu lagi menganalisis pegiat sejarah untuk melihat kondisi saat ini. Sangat mudah untuk mereka tentunya menyimpulkan konsekuensi dari pelemahan Islam dalam politik serta sukar mendapati kembalinya perdebatan dan polemik antara Islam dengan ideologi lainnya. Tidak hanya tentang perdebatan relasi antara agama dan negara, tetapi sulit didapati polemik yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan hukum, seperti masa-masa prakemerdekaan dan demokrasi parlementer.
Anomali tentunya, landasan Islam berpolitik adalah nilai. Satu pemahaman yang disertai kondisi kekinian. Kondisi politik saat ini memang berbeda ketika Islam memiliki partai sekelas Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam (SI), dan Persatuan Tabiyah Islamiyah (Perti). Berbeda memang wadah politiknya, tetapi partai-partai tersebut unggul karena memiliki sederet tokoh yang istikamah menerapkan Islam sebagai nilai politiknya di 1945 sampai 1959.
Berangsur punah bahkan nyaris tidak memiliki regenerasi. Islam dan nilai perjuangan politik mengalami kehilangan wajahnya beriringan ketika wadah politiknya mengalami tekanan penguasa Orde Baru (Orba). Bertekuk wajah, berlutut tak berdaya, seakan Islam dalam berpolitik selesai ketika Orba memfusikan empat partai Islam ke dalam satu wadah yang dilanjutkan dengan penerapan asas tunggal.
Debirokratisasi politik dan militerisasi kekuasaan yang ditopang kekuatan Golkar menjadi corak politik Soeharto. Tidak cukup sampai di situ, sarana informasi publik diciptakan satu arah. Islam difungsikan di level akar rumput (grass root) untuk membentengi paham sekuler di kalangan masyarakat bawah. Ia dibatasi seakan tidak diperkenankan masuk level negara. Tidak heran tentu ketika wabah COVID-19 dan negara membatasi salat berjemaah maupun aktivitas keagamaan lainnya, ulama-ulama grass root menjadi kelompok penentang paling lantang.
Dua dekade, tepatnya pasca-Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 hingga kini, Islam politik masuk dalam pusaran yang saling berhadapan dengan kutub sekularisme. Ketidakmampuan para elite justru terjerembab dalam lingkaran hegemoni sekularisme. Kelemahan Islam politik tergiring atas satu paham liberalisasi, paham yang mengultuskan keagungan setiap individu.
Dalam konteks medium informasi, dominasi Islam tidak mampu membangun opini meskipun secara langsung Islam juga masuk di dalamnya. Ketidakberdayaan inilah anomali yang sangat nyata dilakukan pembawa informasi nilai-nilai keislaman.
Bagi para pemuka atau tokoh agama Islam saat ini yang masuk “pergumulan episentrum kekuasaan”, semestinya mereka pembawa informasi, gagasan pembaruan nilai Islam dalam bernegara bukan sebaliknya. Disayangkan, langkah itu justru gagal bahkan larut turut serta menjadi bagian dari poros kelompok berpaham sekuler dan liberal, mereka yang memiliki kekuasaan, kekuatan material, dan menguasai informasi. Islam justru terjebak dalam aransemen jalan tengah yang tidak ke kanan ataupun ke kiri.