*Kusfiardi, analis ekonomi politik
Melihat kondisi keuangan negara, pemerintah seharusnya fokus mengupayakan agar APBN tidak bergantung pada utang. Termasuk mengatasi agar APBN tidak terkuras untuk membayar utang. Namun pada kenyataannya, pemerintah justru menempun jalan sebaliknya.
Perkembangan utang pemerintah
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat sampai akhir Desember 2017 mencapai Rp3.938,7 triliun atau nyaris Rp4.000 triliun.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan total utang pemerintah pusat sampai dengan akhir Januari 2018 mencapai Rp3.958,66 triliun. Angka ini meningkat sekitar Rp19,96 triliun dari posisi utang pada Desember 2017.
Posisi utang pemerintah tersebut tercatat sebesar 29,1% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp13.588,8 triliun pada 2017. Pada akhir Februari 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp3.589,12 triliun. Utang pemerintah dalam sebulan naik Rp40 triliun, dibandingkan bulan lalu, Januari 2017 yang sebesar Rp3.549,17 triiun.
Dalam denominasi dollar AS, jumlah utang pemerintah pusat di Februari 2017 adalah US$268,91 miliar, naik dari posisi akhir Januari 2017 yang sebesar US$265,99 miliar.
Sebagian besar utang pemerintah adalah dalam bentuk surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN). Sampai Februari 2017, nilai penerbitan SBN mencapai Rp2.848,8 triliun, naik dari akhir Januari 2017 yang sebesar Rp2.815,71 triliun. Sementara itu, pinjaman (baik bilateral maupun multilateral) tercatat Rp740,32 triliun, naik dari Januari 2017 sebesar Rp733,46 triliun.
Pada tahun 2018, utang akan bertambah sekitar Rp414 triliun. Artinya total utang sampai akhir tahun ini bisa mencapai sekitar Rp4.414 triliun, setara 30% Produk Domestik Bruto (PDB).
Kemampuan membayar utang
Pengelolaan utang pemerintahan tidak memperhitungkan kemampuan penerimaan dalam negeri sebagai penopang kewajiban utang yang jatuh tempo. Semakin tinggi utang tentu semakin besar pula beban (cicilan pokok dan bunga) yang harus dibayarkan. Semakin besar pula alokasi pendapatan negara yang harus disisihkan untuk melunasi utang.
Pendapatan negara sangat mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Kinerja penerimaan pajak akan memengaruhi langsung kemampuan membayar utang pemerintahan Jokowi.
Tidak heran kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyebutkan kalau rasio pajak Indonesia hanya 11%, terendah di dunia. Di tengah utang yang terus bertambah, rasio penerimaan pajak terhadap PDB justru menurun. Pada 2015, rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya 10,76%. Pada 2016 menjadi 10,36% dan pada 2017 rasio penerimaan pajak terhadap PDB diperkirakan 10,82%.
Utang tidak produktif
Di tengah rendahnya rasio pajak Indonesia, produktivitas utang pemerintah sejauh ini sangat jauh dari menggembirakan.
Menurut Institute For Development of Economics and Finance (Indef), utang luar negeri pemerintah dalam tiga tahun terakhir yang terus meningkat, tapi tidak serta merta meningkatkan produktivitas perekonomian nasional.
Berbagai survei menunjukkan ekonomi tidak mengalami akselerasi pertumbuhan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari 5%.
Efektivitas utang untuk meningkatkan produktivitas perekonomian juga tidak kunjung terlihat sampai sekarang. Setidaknya, belum terlihat adanya peningkatan nilai tambah melalui produktivitas sektor yang meningkat. Terutama untuk sektor yang bisa meningkatkan nilai tambah dan tenaga kerja.
Tidak produktifnya utang pemerintah merupakan masalah serius yang membuat keuangan negara justru tergantung pada utang sebagai pembiayaan. Pada sisi lain keuangan negara akan terkuras untuk melunasi cicilan pokok dan bunga utang, yang jumlahnya terus meningkat.
Bergantung pada utang
Di tengah lemahnya kemampuan memacu peningkatan penerimaan negara, melalui pajak, diikuti dengan meningkatnya ketergantungan pada utang untuk pembiayaan adalah cermin tidak produktifnya utang pemerintah.
Namun pemerintah tetap merencanakan kembali menarik utang tahun ini. Utang tersebut untuk menambal defisit anggaran yang ditarget kan Rp325,93 triliun atau 2,19% dari PDB.
Sikap pemerintahan Jokowi yang bersikeras dengan kebijakan menambah utang, tentu akan semakin membebani keuangan negara. Akibatnya akan membatasi kemampuan keuangan negara membiayai program dari kebijakan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat, termasuk membatasi keuangan negara dalam memperkuat perekonomian nasional.
Secara akumulatif, kebijakan utang pemerintah tersebut akan membuat kondisi kita menjadi terjebak utang.