close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemimpin Redaksi Alinea.id Khudori
icon caption
Pemimpin Redaksi Alinea.id Khudori
Kolom
Rabu, 28 Juli 2021 07:57

'Kamus Berjalan' pergulaan itu telah tiada

Pak Colo orang yang terbuka. Tidak pelit berbagi ilmu.
swipe

INDONESIA kehilangan seorang pelaku, pemikir, dan penggerak di industri pergulaan dengan wafatnya Colosewoko, Kamis (22/7) pagi. Seorang penulis prolifik dan eklektik yang ketajaman analisisnya menjelajahi khasanah pergulaan nasional. Ciri khas ini melekat pada tulisannya: artikulasinya tajam tapi santun. Dalam khasanah industri pergulaan nasional, dia seorang cempiang nan sulit dicari padanan. 

Perkenalan saya dengan Pak Colo, begitu saya biasa memanggil beliau, terjadi pada 2004. Saya tidak ingat persis untuk keperluan apa waktu itu. Saat itu saya bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah berita mingguan. Kami bertemu di kantor Pak Colo di Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) di Ragunan, Jakarta Selatan. Beliau saat itu menjabat Pelaksana Harian Sekretaris Dewan Gula Indonesia (DGI). Posisi itu ia emban dari 2000 hingga 2005. 

Setahun berselang, kami bertemu lagi. Juga di kantor Pak Colo. Salah satu yang saya ingat, Pak Colo memuji buku saya, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, yang saya berikan ke beliau. Terbit pada 2005, buku itu meneroka jejak eksploitasi di industri pergulaan di Nusantara sejak era kolonial hingga buku dicetak: awal Presiden SBY memerintah. 

Seperti orang Jawa umumnya, Pak Colo amat santun. Kepada saya yang lebih muda, beliau amat menaruh hormat. Bahasa Jawa-nya halus. Kesan pertama saya, bapak tiga anak kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 74 tahun lalu itu menguasai semua hal, termasuk tetek bengek, pergulaan. Obrolan tentang gula mengalir dan membuat saya ciut. Betapa yang saya tulis hanya secuil dari belantara pergulaan.

Pak Colo orang yang terbuka. Tidak pelit berbagi ilmu. Terbukti setelah pertemuan itu, komunikasi lewat telepon terus terjaga. Komunikasi saya dengan beliau berlangsung intens tatkala saya terlibat mendesain survei pengawasan distribusi gula rafinasi di Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri, Balitbang  Perdagangan, Kementerian Perdagangan pada 2011. Tidak hanya diskusi, saya juga dipasok bahan-bahan ihwal gula rafinasi yang diterbitkan Asosiasi Gula Indonesia (AGI). Pak Colo menjadi Staf Ahli AGI 2005-2012 dan merangkap Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) 2007-2014.

Seperti diakui Direktur Eksekutif AGI 2013-2015, Tito Pranolo, referensi ilmiah tentang gula rafinasi amat terbatas, kalau tidak dibilang tidak ada. Sementara orang yang punya pengetahuan cenderung enggan bercerita dan berbagi. Tapi ini tak terjadi pada Pak Colo. Dari beliaulah saya jadi ngeh dan mengerti banyak hal tentang gula rafinasi. Bukan hanya sisi teknis, tapi juga regulasi yang segunung.

INDONESIA kehilangan seorang pelaku, pemikir, dan penggerak di industri pergulaan dengan wafatnya Colosewoko, Kamis (22/7) pagi. Seorang penulis prolifik dan eklektik yang ketajaman analisisnya menjelajahi khasanah pergulaan nasional. Ciri khas ini melekat pada tulisannya: artikulasinya tajam tapi santun. Dalam khasanah industri pergulaan nasional, dia seorang cempiang nan sulit dicari padanan. 

Perkenalan saya dengan Pak Colo, begitu saya biasa memanggil beliau, terjadi pada 2004. Saya tidak ingat persis untuk keperluan apa waktu itu. Saat itu saya bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah berita mingguan. Kami bertemu di kantor Pak Colo di Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) di Ragunan, Jakarta Selatan. Beliau saat itu menjabat Pelaksana Harian Sekretaris Dewan Gula Indonesia (DGI). Posisi itu ia emban dari 2000 hingga 2005. 

Setahun berselang, kami bertemu lagi. Juga di kantor Pak Colo. Salah satu yang saya ingat, Pak Colo memuji buku saya, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, yang saya berikan ke beliau. Terbit pada 2005, buku itu meneroka jejak eksploitasi di industri pergulaan di Nusantara sejak era kolonial hingga buku dicetak: awal Presiden SBY memerintah. 

Seperti orang Jawa umumnya, Pak Colo amat santun. Kepada saya yang lebih muda, beliau amat menaruh hormat. Bahasa Jawa-nya halus. Kesan pertama saya, bapak tiga anak kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 74 tahun lalu itu menguasai semua hal, termasuk tetek bengek, pergulaan. Obrolan tentang gula mengalir dan membuat saya ciut. Betapa yang saya tulis hanya secuil dari belantara pergulaan.

Pak Colo orang yang terbuka. Tidak pelit berbagi ilmu. Terbukti setelah pertemuan itu, komunikasi lewat telepon terus terjaga. Komunikasi saya dengan beliau berlangsung intens tatkala saya terlibat mendesain survei pengawasan distribusi gula rafinasi di Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri, Balitbang  Perdagangan, Kementerian Perdagangan pada 2011. Tidak hanya diskusi, saya juga dipasok bahan-bahan ihwal gula rafinasi yang diterbitkan Asosiasi Gula Indonesia (AGI). Pak Colo menjadi Staf Ahli AGI 2005-2012 dan merangkap Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) 2007-2014.

Seperti diakui Direktur Eksekutif AGI 2013-2015, Tito Pranolo, referensi ilmiah tentang gula rafinasi amat terbatas, kalau tidak dibilang tidak ada. Sementara orang yang punya pengetahuan cenderung enggan bercerita dan berbagi. Tapi ini tak terjadi pada Pak Colo. Dari beliaulah saya jadi ngeh dan mengerti banyak hal tentang gula rafinasi. Bukan hanya sisi teknis, tapi juga regulasi yang segunung.

NSC dan JURNAL GULA
Lengser dari kepengurusan AGI dibawah kepemimpinan Faruk Bakrie, Pak Colo mendirikan Nusantara Sugar Community, biasa disingkat NSC, pada 2013. Salah satu karya besar NSC adalah menerbitkan JURNAL GULA bulanan rutin. Dalam edisi perdana, Nopember 2013, dijelaskan NSC adalah perkumpulan para pecinta, penggemar, dan pemerhati tentang perkembangan pergulaan yang berasal dari berbagai kalangan. 

Ketika hendak membentuk NSC, Pak Colo mengabari saya. Intinya beliau mengajak bergabung. "Nanti, kita bisa menggelar diskusi rutin seperti ILC," jelas Pak Colo waktu itu. Oh ya, ILC yang dimaksud adalah Indonesia Lawyer Club, talkshow sepekan sekali di tvOne yang dipandu jurnalis senior Karni Ilyas. 

Mendapatkan tawaran itu, tentu sebuah kehormatan besar. Saya langsung mengiyakan. Tapi terus terang, saya tidak pernah terlibat dalam kerja-kerja penting NSC. Terutama penerbitan JURNAL GULA.

Saya tidak tahu, juga tidak pernah bertanya, mengapa NSC menerbitkan JURNAL GULA. Belakangan, saya bisa memahami mengapa Pak Colo begitu gigih mewujudkan ini. Pada 4 Desember 2014, Presiden Jokowi membubarkan DGI bersama sembilan lembaga non-struktural lain.  Alasannya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan. Jauh sebelum ini, kinerja DGI melorot drastis.

Dalam Keppres Nomor 63 Tahun 2003 tentang DGI yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, 11 Agustus 2003, disebutkan lembaga ini dipimpin seorang ketua, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. DGI bertugas memberikan saran dan/atau pertimbangan kepada Presiden dalam merumuskan kebijakan di bidang pergulaan nasional ke arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis gula yang lebih efektif dan efisien. 

Menteri Pertanian ex officio sebagai Ketua, sedangkan Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ex officio sebagai Wakil Ketua merangkap anggota. Anggotanya ada 10, yakni Dirjen yang relevan di Kementerian, wakil KADIN, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, AGI, dan organisasi petani tebu (APTRI). 

Pembentukkan NSC, saya duga, adalah hasil terawangan Pak Colo yang melihat disfungsi DGI ke depan. Lewat JURNAL GULA, perkembangan pergulaan baik nasional seperti luas areal, produksi, harga, neraca, impor, kebijakan dan lainnya bisa didokumentasikan dengan baik. Demikian pula perkembangan pergulaan di dunia, seperti pergulaan di negara-negara penghasil utama gula dunia, perkembangan ekspor, impor, harga internasional, dan lainnya.

Yang luar biasa, JURNAL GULA ini digarap hanya oleh trio Colosewoko - Indrya - Deddy. Mereka adalah pensiunan Kementerian Pertanian. Sejak terbit pertama kali delapan tahun lalu, setahu saya JURNAL GULA tidak pernah absen menyapa pembacanya di setiap bulannya. Padahal, mereka bertiga tidak ada yang menggaji. "Ya kadang-kadang ada teman-teman yang menyumbang," urai Pak Colo suatu ketika.

Belakangan luas diketahui, data-data di JURNAL GULA menjadi rujukan kementerian dan lembaga. Termasuk para pengambil kebijakan. Data-data itu dikumpulkan lewat pertemanan Pak Colo yang demikian luas di K/L. Termasuk jejaring beliau yang demikian luas di luar negeri, seperti Czarnikow, Nobel, ISO, LMC, ED&F Man, dan Cargill. 

Bagaimana JURNAL GULA diproduksi. Pak Colo, Indrya, dan Deddy biasa berbagi tugas. "Saya biasanya mengerjakan yang mudah-mudah. Yang rumit saya serahkan ke Pak Colo," kisah Indrya.

'Kamus Berjalan'
Pada 2015, lewat undangan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, saat itu, Srie Agustina, saya bertemu Pak Colo. Acara di Kemendag itu mengundang belasan orang. Saat itu membahas pengaturan harga kebutuhan pokok, sebagai turunan dari Perpres 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Usai pertemuan Pak Colo bilang tengah menuntaskan buku tentang Data Gula. Buku itu berisi data-data penting pergulaan nasional. Setahu saya, buku itu belum terbit karena belum ada yang membiayai.

Intensitas komunikasi kami terus terawat. Kadang-kadang saya membagikan info terkait pergulaan. Tapi lebih banyak Pak Colo yang "menyuapi" saya dengan berbagai informasi yang detail dan jernih. Baik untuk keperluan saya menulis artikel dan mempertajam analisis maupun buat data pelbagai acara diskusi. Jika saya tanya sesuatu, biasanya beliau segera mengirimi JURNAL GULA. Di jurnal itu jawaban atas pertanyaan saya tersaji komplet. 

Usai menghadiri sidang Yeka Hendra Fatika di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 8 Januari 2019, saya meluncur ke rumah Pak Colo di Komplek Pertanian Palapa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat itu Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) itu digugat Menteri Pertanian. Ini kali pertama saya berkunjung ke rumah Pak Colo. Kami, belakangan Pak Indrya dari rumahnya di Depok bergabung, mengobrol lebih kurang empat jam tentang A-Z pergulaan nasional dan dunia. 

Tak semuanya saya pahami apa yang beliau katakan --  di otak Pak Colo seperti ada ensiklopedia yang bisa dikutipnya kapan saja beliau mau-- tetapi selalu membuat semangat saya membara untuk mengikutinya. Oleh Pak Colo saya diajak mendalami program revitalisasi pabrik gula yang mandek, keuangan perusahaan perkebunan negara berbasis tebu yang merah, Kementerian Perindustrian yang meminta beliau membuat peta jalan pergulaan dengan asumsi-asumsi tak akal, skenario pergulaan negara maju, sisik melik gula rafinasi, dan masih banyak lagi. 

Isi kepala Pak Colo yang seperti "kamus berjalan" ini juga diakui dosen agribisnis IPB University Rachmat Pambudy dan Yadi Yusriadi, tenaga ahli AGI. "Beliau itu 'kamus berjalan' industri pergulaan," kata Yadi, saat bersaksi di tahlilan hari ketiga meninggalnya Pak Colo. Komunitas pergulaan nasional telah kehilangan aset besar.

Pak Colo juga seorang praktisi pergulaan yang mumpuni. Ini diakui Rachmat Pambudy. Begitu ditunjuk menjadi Direktur Utama PT Gendhis Multi Manis, perusahaan gula milik Perum Bulog di Blora, oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, Rachmat langsung menghubungi Pak Colo. "Saya bukan orang gula, tidak mengerti gula tapi ditunjuk jadi direktur utama. Ini kecelakaan besar," aku Rachmat. 

Dengan didampingi Pak Colo, hanya dalam waktu 1,5 tahun Rachmat Pambudy bisa membawa PT GMM meraih predikat pabrik gula dengan rendemen terbaik di Indonesia pada 2018, yakni 11%. Ketika Rachmat pertama kali menjabat, rendeman hanya 6,6%. Prestasi ini kemudian diabadikan Rachmat dan Colo dalam buku Membangun Kembali Kejayaan Industri Gula Indonesia yang terbit tahun 2018.

"Ini sebenarnya buku beliau. Tapi dengan kerendahan hati, Pak Colo bersedia menjadi penulis kedua," terang Rachmat saat tahlilan hari ketiga almarhum. 

Sepanjang 2020 dan 2021, kami cukup intens berkomunikasi sejak awal meruyaknya pandemi Covid-19. Apalagi, tahun lalu saya tengah menuntaskan naskah buku gula rafinasi. Naskah itu teronggok sejak 2011 dan tidak selesai-selesai. Draf naskah buku gula rafinasi saya kirim ke tujuh orang, salah satunya Pak Colo. Untuk mendapatkan kritik dan masukan untuk perbaikan. 

Untuk kesekian kalinya, beliau kembali memuji naskah buku saya. Padahal, naskah buku itu selesai salah satunya karena sumbangan bahan-bahan, data, dan hasil diskusi dengan beliau. Bersama tujuh orang lain, Pak Colo adalah salah satu penulis endorsement buku baru saya, Ekonomi Politik Industri Gula Rafinasi: Kontestasi Pemerintah, Importir, Pabrik Gula, dan Petani

Setelah buku itu beliau terima, 12 Juli 2021, beliau menulis: "Suwun Pak Khudori kiriman bukunya. Bagus sekali untuk menambah literatur pergulaan Nasional". Inilah komunikasi kami yang terakhir, sampai Pak Colo dipanggil Sang Khalik sepuluh hari kemudian.

Selamat jalan Pak Colo, guruku. Saya bersaksi bahwa engkau, Colosewoko, adalah orang baik, penuh perhatian kepada sesama, tidak bisa melihat orang susah, suportif terhadap para pemula, dan begitu tulus mencintai negeri ini yang tecermin dari keresahanmu yang membuncah memikirkan industri pergulaan di tanah air.

Kepulanganmu ke Negeri Keabadian dua hari setelah Iduladha semoga menjadi salah satu isyarat Tuhan Yang Maha Rahman memberikan waktu terbaik bagimu yang telah paripurna mengemban tugas sebagai penjaga akal sehat peradaban. Sebuah akhir kehidupan yang indah dan husnul khatimah. Al Fatihah.

Pondokgede, 27 Juli 2021

img
Khudori
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan