Kartini: Rumah dan lodeh
Kartini, perempuan "tabah" di rumah. Gadis itu memang dipingit. "Tabah" bukan mengartikan ia kalah dan patuh secara mutlak. Ia masih mungkin bergerak jauh meninggalkan rumah dengan bacaan dan menulis surat-surat. Di rumah, Kartini pun perempuan "melawan" bosan, keusangan, keputusasaan, dan kemalasan. Ia memiliki peristiwa-peristiwa dalam pembentukan biografi. Peristiwa harian di rumah itu kewajaran meski tak menjadi cerita-cerita menghebohkan dalam sejarah.
Kita ingin mengunjungi dapur dan ruang makan di keluarga Kartini. Kita telat mengunjungi, setelah mengalami rutin peringatan Hari Kartini sering berkaitan busana. Kini, kita mengenang dan menghormati Kartini bersama Kardinah dan Rukmini melalui masakan. Pada situasi wabah, kita dianjurkan di rumah. Orang-orang bisa membuat peristiwa memasak dengan ketersediaan bahan dan selera kuliner. Masakan disantap bersama di rumah. Kebersamaan di rumah dengan memasak dan makan mungkin bisa dianggap sejenis peringatan Hari Kartini. Kita ingin menganggap Kartini sebagai tokoh kuliner, bukan saja "memasak" kata menjadi surat-surat tercatat di sejarah.
Suryatini N Ganie mengolah ulang masakan di keluarga Kartini dengan penerbitan buku tebal-besar berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini (2005). Sejak masa 1930-an, orang-orang Indonesia terbiasa membaca surat-surat ditulis Kartini dalam bahasa Belanda, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Armijn Pane diterbitkan Balai Poestaka. Pada abad XXI, hari-hari berlindung dari wabah, kita membaca buku berisi resep-resep masakan. Di situ, kita tak membaca kalimat panjang puitis dan filosofis.
Metafora pun tiada. Kata-kata menantang pemikiran menepi dulu. Kata-kata dalam resep masakan wajib gamblang untuk petunjuk bagi orang mau masak. Dulu, resep-resep itu berbahasa Jawa ditulis dalam aksara Jawa dan Latin.
Kita mulai mengingat Kartini itu masakan, tak sekadar surat. Kartini melalui buku-buku dan korespondensi mendapat pengaruh-pengaruh Eropa. Kuliner pun terpengaruh Eropa. Kardinah selaku penulis resep-resep keluarga Jepara itu memuat pengaruh-pengaruh masakan dari Eropa tapi mengalami sekian perubahan sesuai kondisi lokal. Ganie menjelaskan: "Selera masyarakat Belanda pun sangat berpengaruh pada seni kuliner di Indonesia umumnya, di Jepara khusunys. Tidak heran bila hidangan ala Prancis yang telah diadaptasi oleh orang Belanda terdapat pula dalam koleksi resep keluarga Bupati Jepara. Misalnya, hidangan bestik lengkap dengan puree kentang dan sayuran."
Kita ingin mengingat resep-resep masakan lokal saja: sayuran berkuah. Ada resep masakan lodeh bumbu digangsa dengan bahan-bahan: terong, labu siam, kacang panjang, daun melinjo, bunga melinjo, dan santan. Bumbu-bumbu digunakan: bawang merah, bawang putih, ketumbar, garam, terasi, asam jawa, dan cabai. Di meja makan, Kartini dan keluarga menikmati lodeh bumbu digangsa.
Kita bisa meniru dengan memasak lodeh mumpung dianjurkan selalu di rumah. Sejak awal wabah membuat Indonesia bertema rumah, berita-berita dan cerita-cerita mengenai lodeh lekas tersiar. Orang-orang mungkin tak pernah mengetahui atau mengingat bahwa keluarga Kartini menjadi lodeh menu andalah di rumah. Kita simak lagi lodeh bung mengandung unsur-unsur: rebung, santan, bawang merah, bawang putih, lengkuas, cabai, garam, terasi, tempe, petai, dan udang. Kita berimajinasi dua jenis lodeh itu disantap bersama: lezat. Masa lalu itu lodeh saat kebersamaan di rumah.
Kartini menjadi teladan, tak melulu busana dan surat-surat mengandung pemikiran. Ia adalah teladan bagi kita dianjurkan rajin makan sayur. Ingat Kartini, kita pun ingat lodeh. Kita lanjutkan dengan teladan diberikan Soekarno. Pada masa 1920-an, Soekarmo muda suka makan lodeh. Di Bandung, Soekarno kuliah arsitektur dan menggerakkan politik kebangsaan. Selama tinggal di rumah Inggit Garnasih, ia suka bila ada lodeh di meja makan (C Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, 1966). Lodeh itu makanan "kerakjatan". Di mata Soekarno, Inggit Garnasih semakin terasa keibuan dengan rajin memasak. Pada masa lalu, Soekarno tampil sebagai tokoh bersantap lodeh.
Kebiasaan itu terus dimiliki sampai menjadi Presiden Republik Indonesia. Di Istana Kepresidenan, Soekarno memiliki menu penting dimasak oleh tim dapur: lodeh. Cara makan Soekarno khas, berbeda dari pengimajinasian umum. Dullah, pelukis Istana di masa kekuasaan Soekarno, memberi kesaksian: "Umumnya, orang kalau bikin sayur lodeh dalam memberi garam diukur begitu rupa sampai pas betul asinnya. Sayur lodeh Bung Karno, yaitu lodeh terong, lain. Asinnya dikurangi, tetapi di dekat piring nasinya sudah tersedia sebuah lepek yang berisi garam yang sudah dihaluskan. Gunanya, setiap kali diinginkan, jari telunjuk Bung Karno lalu nutul garam itu, kemudian baru muluk nasi yang sudah ada sayur lodehnya. Dengan begitu, pada waktu makan rasa sayur lodeh itu menjadi bervariasi. Kadang-kadang berasa asinnya, kadang-kadang hanya sedang-sedang saja, kadang-kadang kurang dari itu. Nikmat, ya" (Agus Dermawan T, Dongeng Dari Dullah, 2020). Soekarno terbukti rajin makan lodeh.
Selera lodeh mungkin dalih penting masakan itu masuk dalam buku berjudul Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia (1967). Soekarno meminta ke para menteri melakukan kerja besar: mengumpulkan resep-resep masakan di seantero Indonesia. Penerbitan buku dimaksudkan agar dipelajari publik dan dimengerti oleh orang-orang di dunia bahwa Indonesia bergelimang masakan. Lezat! Sekian jenis lodeh ada di buku bersejarah dalam pendokumentasian citarasa Indonesia.
Kita sudah mendapat dua teladan: Kartini dan Soekarno. Lodeh bercerita Indonesia. Lodeh itu kenikmatan dan kesederhanaan. Soekarno sengaja ingin memuliakan masakan-masakan lokal ketimbang selalu memuja masakan-masakan Barat telah mempengaruhi Indonesia selama ratusan tahun, diimbuhi pengaruh Tiongkok, India, Arab, dan lain-lain. Soekarno makan tak menggunakn sendok, memilih muluk dengan jari-jari langsung mengambil nasi dan sayur.
Lodeh pun renungan hidup. Lodeh itu metafora. Di buku berjudul Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998), Sindhunata menulis: "sayur lodeh dapat kita cicipi untuk bertahan dan menggali semangat dalam krisis". Renungan bisa digunakan saat wabah. Kita makan lodeh bukan berdalih tolak bala tapi keinsafan atas keterbatasan atau kemiskinan. Kita makan lodeh untuk memastikan hidup tetap terselenggara dan bermakna dengan sekian derita. Kita masih ingin memasak setiap hari, makan bersama keluarga dan orang-orang terkasih.
Lodeh di piring mengingatkan kita ada pengharapan-pengharapan hidup dalam keberserahan dan kemauan menggerakkan makna-makna. Kini, kita berhak tetap membuat peringatan Hari Kartini dengan berada di rumah: memasak dan makan lodeh. Pada saat makan, kita mengerti wabah belum rampung tetapi kita tabah dan memastikan bakal ada terang di hari-hari mendatang. Begitu.