close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wildan Paramudya Arifin
icon caption
Wildan Paramudya Arifin
Kolom
Senin, 30 Januari 2023 15:59

Kesambet

Kesambetnya Emha memang sudah membuat banyak orang lain terganggu, yaitu para pendukung Jokowi.
swipe

Setelah mengatakan negeri ini dikuasai Firaun yang bernama Jokowi, Emha Ainun Nadjib mengaku dirinya sedang kesambet. Ternyata kesambetnya Emha ini sangat menular. Tidak lama setelah pengakuan Emha tersebut, publik pun ikut-ikutan kesambet membicarakannya. Terbukti dalam seminggu terakhir, kata kunci kesambet-sebagaimana terdeteksi oleh mesin aggregator-mencapai 31.735 ekspos dan mendorong terjadinya 105.245 interaksi akun netizen. Salah satunya saya yang juga kesambet dengan turut menulis tentang kesambet itu sendiri.

Bagi mereka yang belum terbiasa dengan ungkapan Bahasa Jawa, istilah kesambet mungkin terdengar baru. Ada pula istilah lainnya dalam bahasa Jawa: kesusupan (kemasukan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesambet artinya sakit dan mendadak pingsan karena gangguan roh jahat (orang halus, hantu). Masih dalam kamus yang sama, kesambet mirip dengan kesurupan yang diberi pengertian kemasukan setan atau roh sehingga bertindak aneh-aneh.  

Dalam dunia spiritual klenik, orang yang kesambet memerlukan bantuan seorang “profesional” tersendiri. Lazim disebut dukun atau “orang pintar”. Belakangan ada profesi yang berbau-bau Islami untuk menangani orang kesambet ini, yaitu peruqyah. Dukun menangani orang kesambet biasanya dengan bacaan jampi-jampi, terkadang ada yang menggunakan pusaka tertentu. Sedangkan peruqyah cukup dengan membacakan ayat-ayat Qur'an untuk mengusir roh yang menganggu.  

Tampaknya yang disebut kesambet ini adalah pengalaman diri yang cukup serius karena bermakna sebuah gangguan. Yang terganggu tidak hanya dirinya, tetapi juga orang lain. Kesambetnya Emha memang sudah membuat banyak orang lain terganggu, yaitu para pendukung Jokowi, sehingga membuatnya dikecam dan dimaki banyak orang pula. 

Lain pula dalam pengertian kacamata psikologi. Kesambet terjadi bukan karena kemasukan roh halus, akan tetapi gejala trance and possession disorder yang menyangkut kondisi internal tertentu seseorang. Persisnya kondisi psikologi karena adanya perubahan pikiran atau kesadaran seseorang yang berlangsung sementara, namun membuat yang bersangkutan merasa kehilangan identitas diri dan seolah-olah ada identitas baru. 

Pakar hipnoterapi klinis, Adi Gunawan (2018) menjelaskan, bahwa pada diri manusia bersemayam banyak kepribadian (ego personality). Kita memiliki lapisan-lapisan kepribadian yang sebagian besar sangat jarang atau tidak aktif. Sehingga ketika satu ego personal tertentu-pada momen tertentu-aktif atau muncul dalam ruang sehari-hari, diri kita bahkan orang lain pun sama sekali tidak mengenalinya.

Seolah-olah kepribadian yang muncul adalah identitas kepribadian lain di luar yang masuk dan mengakuisisi diri kita secara temporer. Ini yang kemudian dalam pemahaman awam disebut seseorang sedang kesambet, kesurupan, akibat kemasukan roh. Padahal, sejatinya itu satu dari banyak lapisan kepribadian diri kita sendiri.     

Jadi, Emha tidak sedang kesambet roh apa pun ketika mengatakan Firaun bernama Jokowi. Pernyataan Ehma adalah pernyataan dari ego personality yang rasional dalam situasi normal, yang menurut Gunawan disebut sebagai ego state. Pun, pernyataan Emha bukan keluar dari alter ego yang muncul karena dorongan pengalaman traumatik masa lalu.

Kesambet yang dikatakan Emha lebih dalam pengertian keceplosan ngomong yang sudah tidak lagi bisa diedit. Bukan sekali ini Emha mengkritik Presiden Jokowi. Sebelumnya, Emha malah pernah melontarkan pernyataan lebih sarkas dengan mengolok-olok kemampuan Bahasa Inggris Jokowi. Dan Emha tidak pernah minta maaf atas olok-oloknya itu. Toh, Emha tetap aman, masih bebas keliling mengisi Pengajian Maiyah-nya itu.    

Haqqul yakin, Jokowi akan cenderung cuek dan tidak merasa terhina oleh pernyataan Emha. Maka itu, saya tidak setuju ketika para pendukung Jokowi menyerang dan mengecam Cak Mbeling itu telah melecehkan dan menghina presiden.

Kritik dan olok-olok Emha kepada Jokowi setingkat dengan apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung melalui ungkapan populernya: dungu. Namun, khusus penyebutan Firaun ini menurut hemat saya, Emha sudah kebablasan. Keprihatinan saya dengan kebablasannya itu bukan dalam konteks sebagai penghinaan atau serangan kepada Presiden Jokowi, melainkan dalam konteks yang lebih serius, berdampak luas dan dalam, yaitu politisasi sentimen identitas. 

Ketika banyak pengamat atau aktivis mengkritik Pemerintahan Jokowi sebagai oligarki atau dungu, akan sangat berbeda rasa, tone dan sentimennya dibandingkan frasa Pemerintahan Firaun. Diksi oligarki dan dungu terasa lebih light, sehari-hari, umum dan “netral". Namun tidak demikian dengan Firaun. Meski kata Firaun secara etimologis bersifat “netral”, karena itu semata merujuk pada penyebutan gelar bagi raja di Mesir, akan tetapi bagi sebagian besar umat muslim, khususnya di Indonesia, kata Firaun, sangat-sangat tidak “netral”.  

Saya dan mungkin juga sebagian besar umat muslim yang lain, sedari kecil sudah biasa teredukasi tentang Firaun dalam bingkai narasi moral agama yang hitam-putih, bukan narasi sejarah dunia pada umumnya yang perspektifnya lebih luas.

Oleh karenanya, pada umumnya umat muslim melihat Firaun bukan sebagai pelaku sejarah, penguasa negeri yang sangat powerful di masa tertentu, melainkan iblis berwujud manusia yang mendaku Tuhan. Singkat kata, di benak umat Islam, pada kata Firaun melekat pekat sentimen primordial: musuh Islam.

Tampaknya, Emha baru menyadari belakangan soal kekeliruannya itu. Tetapi apa lacur, sudah telanjur keceplosan. Maka itu ia kemudian mengatakan dirinya “kesambet” alias kesurupan sejenak. Emha pun memohon ampun atas ucapannya itu. Emha benar-benar  baru menyadari bahwa ucapannya telah memantik geriap api, lalu menyiramkan bensin ke perih luka terbuka yang masih basah di masyarakat akibat ketegangan politisasi agama dalam Pilkada DKI 2017 dan dua periode pilpres lalu. Ya, tanpa sadar Emha sudah menyerempet bahaya di tengah tahun politik  seperti saat ini.

Masih menyengat amis politisasi agama di Jagad digital. Itu bisa kita lihat dari ungkapan “kadrun - dan “cebong” yang masih ramai berseliweran di ruang pubik netizen. Dalam seminggu terakhir,  tercatat kata kunci “kadrun” sebesar 24.982 eksposur dan “cebong” sejumlah 12.327 ekspos di jagad digital. Angka itu sangat mungkin bisa membengkak dan intensif mendekati Pilpres 2024. Ditambah lagi dengan kesambetnya Emha ini yang membuat Firaun memperoleh panggung sebesar 45.856 ekspos dengan yang mendapatkan 203.596 interaksi, dengan perkiraan potensi jangkauan melebihi 3 miliar akun medsos. Kita ketahui menurut data tahun 2021, pengguna media sosial mencapai 4,2 miliar akun.  Dengan kata lain, urusan “firaun memfiraunkan” ini-boleh jadi-hampir mendunia. Dahsyat bukan?

Dalam pidato kenegaraannya di Sidang MPR pada 16 Agustus 2022, secara bendarang dan lantang Presiden Jokowi mengimbau penyelenggara pemilu, pihak terkait dan publik secara luas untuk tidak mengulangi politisasi identitas agama yang mengakibatkan ketegangan sosial berkepanjangan. 
Dalam kerangka inilah, seyogianya para pendukung Presiden Jokowi dan publik perlu mengingatkan secara keras Emha dan siapa pun lainnya, semata demi menyelamatkan kehidupan bersama dari pembelahan sosial yang lebih buruk.
 

img
Wildan Pramudya Arifin
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan