Kesenjangan sosial dan pembangunan inklusif
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis laporan terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2018. Dalam laporan bertajuk “Berita Resmi Statistik” Nomor 12 Tahun XXII, 15 April 2019, BPS memaparkan capaian di bidang pembangunan manusia. Merujuk laporan tersebut BPS mengklaim pembangunan manusia Indonesia terus mengalami kemajuan.
Klaim itu dibuktikan dengan skor IPM tahun 2018 yang mencapai 71,39. Angka itu mengalami peningkatan sebesar 0,58% atau mengalami pertumbuhan sebesar 0,82% ketimbang 2017.
Lebih spesifik, skor IPM itu dapat dirinci ke dalam sedikitnya tiga variabel penting terkait kualitas hidup manusia. Pertama, pada variabel harapan hidup, bayi yang lahir pada 2018 memiliki harapan hidup hingga 71,20 tahun atau lebih lama 0,14 tahun dibanding bayi yang lahir pada 2017.
Kedua, pada variabel pendidikan, anak-anak pada 2018 berusia 7 tahun, memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,91 tahun (setara diploma I) atau lebih lama 0,06 tahun ketimbang anak berusia sama di 2017.
Ketiga, pada variabel ekonomi, pada 2018 masyarakat Indonesia hidup dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebesar 11,06 juta rupiah per tahun atau naik 395 ribu rupiah dibanding jumlah pengeluaran masyarakat Indonesia pada tahun sebelumnya.
Meski mengalami kenaikan dari 2017, BPS mengakui bahwa capaian IPM 2018 belum mencapai target yang dicanangkan dari awal, yakni 71,50. Tidak tercapainya target IPM 2018, meski dengan selisih yang tipis ini mengindikasikan kurang maksimalnya hasil pembangunan, terutama bagi kalangan masyarakat bawah.
Ketimpangan sosial
Selama ini, seperti kita ketahui mayarakat kalangan bawah cenderung dianaktirikan dalam pembangunan. Konsekuensinya, mereka kerap kali harus mengalami keterbatasan untuk mengakses kehidupan yang layak, mulai dari kebutuhan dasar-sandang, pangan, papan-layanan kesehatan dan pendidikan.
Kondisi tidak menguntungkan itu merupakan salah satu konsekuensi negatif dari pembangunan yang mengadaptasi model developmentalisme. Pembangunan bercorak developmentalisme umumnya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro yang dihitung berdasar pada variabel Gross Domestic Product (GDP). Model pembangunan yang diterapkan di negara dunia ketiga ini mendapatkan banyak kritik karena melahirkan praktik eksklusi sosial.
Secara sederhana, eksklusi sosial dapat dipahami sebagai sebuah kondisi ketika individu, keluarga atau kelompok dalam sebuah masyarakat tidak memiliki akses sosial-politik pada sumber-sumber ekonomi. Akibatnya, mereka dipaksa hidup dalam keterbatasan. Puncak dari fenomena eksklusi sosial itu, ialah terciptanya kesenjangan ekonomi yang membagi masyarakat ke dalam tiga klasifikasi.
Di tingkat paling atas, adalah kelompok elite kelas atas yang berpunya kapital finansial melimpah. Meski jumlahnya paling sedikit, mereka menguasai sumber-sumber ekonomi vital, seperti sumber daya alam, sektor perdagangan, industri dan sejenisnya. Tidak jarang pula, para elite ekonomi ini juga memanfaatkan kapital finansialnya untuk mendapatkan kekuasaan politik, baik di ranah eksekutif maupun legislatif.
Di bagian tengah ialah kaum kelas menengah yang terdiri atas para pekerja profesional di berbagai bidang. Mereka tidak memiliki kapital finansial yang melimpah untuk mengakses sumber-sumber ekonomi secara langsung. Namun, mereka memiliki modal pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk terlibat langsung dalam sektor formal.
Terakhir, di bagian paling bawah ialah kaum miskin yang tidak memiliki modal finansial sekaligus kecakapan profesional. Kelompok inilah yang tersisih dari lanskap besar pembangunan bercorak developmentalistik dan akhirnya bekerja di sektor-sektor informal, seperti buruh kasar, petani, nelayan dan sejenisnya. Problem klasik yang mereka hadapi selama bertahun-tahun ialah upah murah, lemahnya perlindungan kerja serta ketiadaan jaminan hari tua.
Model pembangunan developmentalistik yang pro-kapital ini dalam banyak hal hanya memberikan keuntungan pada kelompok elite dan menengah saja. Sementara masyarakat golongan bawah dipaksa menjadi maum marjinal. Di satu sisi, pembangunan bercorak developmentalistik memang efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro. Namun di sisi lain cenderung abai pada aspek pemerataan dalam konteks ekonomi mikro. Walhasil, pesatnya pertumbuhan ekonomi juga berbanding lurus dengan melebarnya jurang kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial inilah yang menjadi problem klasik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut data Bank Dunia, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per-kapita mengalami peningkatan rata-rata 4% setiap tahunnya. Ironisnya peningkatan PDB itu juga dibarengi dengan naiknya Indeks Rasio Gini. Untuk diketahui, rasio gini adalah derajat untuk mengukur tingkat ketidakmerataan kesejahteraan ekonomi.
Mengutip data Bank Dunia, Indeks Gini Indonesia mengalami peningkatan signifikan selama kurun waktu 1990-an hingga 2017, yakni sebesar 39%. Bank Dunia menyebut bahwa pembangunan ekonomi yang gencar dilakukan sejak pemerintahan Soeharto sampai pemerintahan di era Reformasi hanya dinikmati oleh tidak lebih dari 20% penduduk.
Ketimpangan ekonomi inilah yang mengakibatkan kelompok bawah tidak mampu mengakses kebutuhan dan pelayanan dasar seperti makanan bergizi, kesehatan layak dan pendidikan berkualitas. Dampaknya ialah pada menurunnya kualitas hidup manusia yang tercermin dalam skor IPM.
Reorientasi pembangunan
Dalam konteks internasional, prestasi Indonesia di bidang pembangunan manusia terbilang tidak terlalu buruk, meski juga tidak membanggakan. Dalam laporan United Nation Develoment Program (UNDP), capaian IPM Indonesia pada 2017 berada di peringkat 78 dari 156 negara.
Pada titik inilah penting kiranya bagi pemerintah untuk mendesain ulang arah pembangunan ekonomi nasinoal agar sejalan dengan amanah Pancasila dan UUD 1945 yang berorientasi pada keadilan sosial.
Upaya mewujudkan keadilan sosial dalam konteks ekonomi itu dapat diwujudkan dengan mempraktikkan pembangunan berkarakter inklusif. Tulus Tambunan dalam bukunya Pembangunan Ekonomi Inklusif, menjelaskan pembangunan bercorak inklusif ialah pembangunan ekonomi yang menggunakan pendekatan sosial-holistik. Artinya, tidak hanya menitikberatkan pada sektor ekonomi-finansial, namun juga melibatkan perspektif yang lebih luas, yakni kemanusiaan.
Tujuan pembangunan inklusif tidak hanya berorientasi pada capaian angka-angka pertumbuhan ekonomi makro. Lebih dari itu, pembangunan inklusif berupaya mewujudkan pemerataan kesejahteraan ekonomi dan menciptakan relasi ekonomi dan sosial yang lebih adil dan egaliter.
Lebih lanjut, Tambunan menuturkan bahwa terdapat setidaknya tiga syarat utama untuk mewujudkan pembangunan inklusif.
Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa demokrasi tidak hanya dipraktikkan di wilayah politik, namun juga menyentuh wilayah ekonomi. Demokrasi ekonomi menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warganegara, mulai dari ketersediaan makanan, tempat tinggal dan pakaian yang layak serta akses pada layanan kesehatan dan pendidikan berkelanjutan.
Kedua, pemerintah berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah dituntut mampu berkolaborasi dengan pihak swasta (pemilik modal) untuk mengembangkan industri berbasis kemitraan sosial.
Pemerintah juga berkewajiban memberi jaminan perlindungan kerja dan jaminan hari tua melalui mekanisme yang disepakati bersama tanpa merugikan salah satu pihak. Sinergi antara pemerintah, swasta dan warga negara tentu sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Ketiga, pemerintah harus pro-aktif mendorong keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan-kebijaan strategis menyangkut arah pembangunan ekonomi. Pemerintah juga harus memastikan sumber-sumber ekonomi yang berkorelasi dengan kepentingan publik dikelola dengan prinsip inklusivitas. Artinya, tidak ada individu atau kelompok tertentu yang mendapatkan keistimewaan akses pada sumber-sumber ekonomi tersebut.
Terakhir, dan tidak kalah penting dari tiga hal di atas adalah pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sektor pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas dalam penyusunan anggaran.
Diperlukan kehendak politik dan komitmen pemerintah untuk menerapkan pembangunan berkarakter inklusif. Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia sekaligus memangkas kesenjangan sosial.