Konstitusionalitas pembubaran HTI dan perlawanannya di PTUN
*Sekretaris Komisi dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang didasarkan atas Perpu nomor 2 tahun 2017 (saat ini menjadi UU 16 tahun 2017 tentang Ormas) sudah sah dan konstitusional. Keabsahan pembubaran tersebut didasarkan atas adanya landasan yuridis mengenai pelarangan Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kalau kita membuka lembaran sejarah, pelarangan terhadap organisasi yang bertentangan dengan Pancasila sudah ada sejak periode Soeharto. Namun memang pada saat itu belum ada keberanian legislatif untuk menormakan dalam ruang UU.
Spirit munculnya UU nomor 16 tahun 2017 sebenarnya untuk menjaga dan mengatur organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Termasuk mengatur ideologi ormas asing di Indonesia. Apalagi selama ini belum ada regulasi mengatur ormas asing yang ideologinya mengancam Pancasila dan NKRI.
Sehingga sisi positif lahirnya UU Ormas ini, untuk menjaga Pancasila dari penetrasi ideologi asing. Seperti Khilafah yang akan diterapkan secara baku dan tersistem oleh HTI. Khilafah tidak bisa ditafsiri secara baku dan dipaksakan menjadi sistem seperti yang dilakukan HTI.
Perbedaan penafsiran terhadap sistem khilafah ini akan menimbulkan konflik hukum ataupun konflik sosial. Konflik hukum tejadi karena secara konseptual konstitusi kita, UUD 1945 tidak mengatur sistem khilafah seperti yang diinginkan HTI. Selain itu juga menyalahi kesepakatan dibentuknya NKRI yang sudah disepakati pendiri bangsa, dari berbagai agama, etnis dan suku.
Pemaksaan penerapan khilafah seperti yang digaungkan HTI juga rentan terjadi konflik sosial. Bisa dibayangkan betapa banyak konflik yang akan terjadi di Indonesia jika pemaksaan Khilafah diterapkan. Terutama pada konsep siapa yang akan menjadi Khilafah. Bagaimanakah sistem pemilihan kepemimpinan dalam khilafah dan siapakah yang akan menjadi Khalifah di tengah majemuknya masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, pembubaran HTI yang sudah dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM sah secara hukum dan tidak bisa dibatalkan. Apalagi setelah ditolaknya permohonan judicial review HTI dengan putusan nomor 39/PUU-XV/2017. Hal ihwal menjadi lain, jika HTI memenangkan sengketa TUN yang sudah dilayangkan di PTUN.
Namun demikian, dalam rezim peradilan. Tentunya dan sangat wajar jika PTUN menjadikan pertimbangan penolakan MK terhadap upaya HTI melakukan permohonan uji materi terhadap Perpu 2 tahun 2017 untuk membenarkan keputusan Menkumham.
Disisi lain, gugatan administratif yang dilakukan HTI ke PTUN untuk menolak keputusan Menkumham, adalah langkah hukum yang wajar dilakukan. Sebagai upaya pembelaan dan dijamin hukum.
Demikian halnya dengan menolak gugatan HTI di PTUN seperti ditolaknya di MK juga hal yang wajar terjadi. Dalam kontek hukum putusan peradilan harus kita hargai sebagai putusan yang paling benar (res judicata pro veritate habetur). Berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar. Sehingga tidak boleh mencela putusan peradilan. Bilamana tidak sesuai dengan selera dan kehendak dirinya. Apalagi sampai mengintervensi hukum melalui kekuatan massa atau kekuasaan.
Putusan keabsahan pembubaran HTI oleh PTUN dapat ditinjau dari dua aspek, antara lain aspek yuridis berupa Perpu yang merupakan pengganti UU Ormas dan juga atas kepentingan umum. Disisi yang lain, pihak yang kontra mengatakan Perpu tersebut dianggap otoriter dan tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa untuk dikeluarkannya perpu. Tak jarang juga melihat dari dimensi peradilan yang dihapus dalam perpu tersebut sebagaimana dicantumkan dalam UU 17 tahun 2013 UU Ormas.
Konstitusionalitas Perpu Ormas
Perpu no 2 tahun 2017 merupakan kewenangan subyektifitas Presiden sebagai kepala negara, sekaligus kepala pemerintahan untuk mengeluarkan Perpu. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, menyatakan: ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Artinya secara konstitusional, Presiden memiliki landasan konstitusional untuk mengeluarkan Perpu untuk meredam kegentingan yang memaksa. Pasal 22 ini mensiratkan, Indonesia melegitimasi adanya hukum yang bersifat nood verordenings recht yang hanya dimiliki oleh Presiden.
Aturan semacam ini memang perlu diadakan agar keselamatan negara dapat dijamin pemerintah, khususnya dalam keadaan genting. Sehingga memaksa pemerintah bertindak lekas dan tepat.
Selain diatur dalam UUD 1945, landasan yuridis dikeluarkannya Perpu juga didasarkan atas Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Dengan tafsir terbalik, justru Presiden dianggap menyalahi UU jika tidak mengeluarkan Perpu untuk meredam gerakan yang sudah sistematis mengancam Ideologi negara, atau membiarkan timbulnya konflik horizontal dan robeknya pancasila sebagai ideologi negara.
Maka sangatlah wajar jika pasal yang mengatur tentang Perpu ada sejak Presiden Soekarno pada 1946. Sampai dilakukan amandemen ke empat di era Presiden Jokowi pada 2017, tidak mengalami perubahan meskipun sudah berganti rezim.
Ancaman terhadap perubahan dasar negara yang menjadi pondasi berbangsa dan bernegara, merupakan kegentingan memaksa jika ditinjau dari putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. MK menyatakan ada 3 (tiga) syarat adanya kegentingan memaksa untuk menerbitkan Perpu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yaitu apabila: (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3). kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sedangkan pengertian kegentingan yang memaksa lainnya, lanjut MK, adalah sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 UUD 1945 yaitu keadaan bahaya. Dimana menurut MI Prins staat in nood bisa negara dalam keadaan bahaya atau didasarkan atas kegentingan memaksa. Dimana keadaan bahaya lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) sedangkan dalam kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal).
Hal yang perlu dikaji secara mendalam adalah pasal 60 Perpu 2 tahun 2017 yang mengatur tentang pemberian sanksi terhadap ormas asing di Indonesia, dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dimana dalam UU ormas sebelumnya tidak diatur mengenai pemberian sanksi terhadap Ormas asing.
Bagaimanapun juga, Perppu ini perlu mengatur semua Ormas yang ada di Indonesia. Baik ormas asing ataupun juga ormas yang didirikan warga Indonesia sendiri.
Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, maka yang berlaku adalah hukum administrasi negara yang berkesesuaian dengan kaidah hukum adminstrasi contrarios actus. Dimana yang berhak mencabut izin ormas adalah pejabat yang mengeluarkan izin tersebut.
Namun perlu diperhatikan secara seksama, kalau Perpu ini dikeluarkan sebagai penetapan atau keputusan. Untuk memastikan apakah Perpu tersebut masuk kategori penetapan atau keputusan, dapat dilihat dari pendapatnya Pradjudi Atmosudirdjo (1983). Pradjudi mengklasifikasikan penetapan positif menjadi 5 (lima) macam.
Pertama, penetapan yang mencipta keadaan hukum baru (rechtstoestand) pada umumnya. Misalnya penetapan tidak berlakunya hukum sipil karena timbulnya huru-hara di suatu wilayah atau dikhawatirkan timbulnya huru-hara.
Kedua, penetapan yang mencipta keadaan hukum baru (rechtstoestand) hanya terhadap suatu obyek tertentu saja. Misalnya penetapan status pelabuhan nasional tertentu menjadi pelabuhan internasional.
\Ketiga, penetapan yang mencipta/membentuk atau membubarkan suatu badan hukum (rechtspersoon, legal person). Misalnya penetapan Menteri mengenai perseroan terbatas menjadi badan hukum.
Keempat, penetapan yang memberi beban (kewajiban, obligasio) kepada suatu badan atau perorangan. Misalnya penetapan pejabat administrasi negara mengenai jumlah pajak, pungutan wajib, dan lainnya.
Kelima, penetapan administrasi negara yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perorangan.
Dari lima teori ini terutama dalam hal penetapan membentuk hukum baru (rechtstostend) yang berlaku umum, maka Perpu bisa diperlukan keberadaannya untuk hadir dan mengisi kekosongan hukum yang belum memadai.
Justru yang sangat disayangkan terhadap argumen yang pro Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menggugat pemerintah karena proses pembubaran tidak melalui proses pengadilan. Padahal proses peradilan tetap ada namun penempatannya berbeda.
Keputusan mencabut ijin masih bisa di gugat ke PTUN oleh ormas yang dibubarkan sebagai proses pembuktian secara fair melalui proses peradilan. Selain itu UU Ormas No.17 tahun 2013 dinilai tidak memadai untuk mengatur terkait meluasnya ormas yang bertentangan, baik itu dari sisi norma hukum, sanksi, dan prosedur hukum yang berlaku.
Apalagi secara normatif UU Ormas tidak mengatur mengenai pemberian izin dan pencabutan izin, yang seharusnya berasal dari lembaga atau institusi yang sama. Serta kurang memadai dalam memberikan definisi mengenai ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila.