KPK dalam pusaran pertarungan kekuasaan
Pendirian Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ialah dua keputusan politik institusional fundamental terpenting yang dijalankan Indonesia pada masa awal era Reformasi. Kedua lembaga itu didirikan pada era pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri (2001-2024). Pendirian KPK pada 2002 terutama merupakan terobosan politik yang penting dalam merealisasikan seruan Tap MPR 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Keputusan mendirikan KPK oleh Megawati adalah bagian dari perjuangan untuk memastikan perpolitikan Indonesia pada era Reformasi menuju arah yang benar. Kebijakan itu juga sebagai ucapan selamat tinggal terhadap era rezim Soeharto yang corak utamanya adalah pengelolaan negara yang ditandai oleh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Langkah itu bisa dikata setara dengan kebijakan Sukarno ketika menetapkan UU Pokok Agraria tahun 1960 sebagai bagian dari perjuangan memisahkan diri dari ekonomi-politik zaman kolonialisme.
Inisiatif kelembagaan itu tak selalu sejalan dengan realitas politik. Corak ekonomi-politik Indonesia secara keras kepala tidak mau berubah dari tendensi oligarki yang ditandai oleh perburuan rente, praktik korupsi serta transaksi uang dan politik. Namun demikian, kehadiran institusi KPK tetap krusial lantaran semenjak saat itu kalangan kekuatan aliansi bisnis-politik hanya dapat melakukan manuver predatorik melalui penyiasatan terhadap langkah-langkah inisiatif reformasi dalam pemberantasan korupsi.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), KPK justru melemah setelah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) direvisi. Ini merupakan bencana tsunami terbesar dalam pemberantasan korupsi. Kenapa? Revisi UU KPK membuat lembaga antirasuah itu tidak lagi memiliki independensi dalam menjalankan perannya dalam memberantas tindak pidana korupsi dan rentan digunakan sebagai instrumen politisasi hukum oleh kekuasaan.
Dalam The New Despotism (2020), John Keane menegaskan bahwa salah satu indikasi bagi kebangkitan otoritarianisme dalam menghantam demokrasi adalah munculnya corak kekuasaan despotism baru. Salah satunya ditandai oleh kapasitas dari kekuasaan yang berusaha untuk menjadi absolut dengan jalan menyerang rule of law menggunakan perangkat hukum untuk mematikannya. Tahap demi tahap, apa yang diutarakan oleh John Keane itu menjadi realitas dalam panggung politik kita: institusi KPK menjadi bagian dari pusaran kekuasaan untuk menghantam rule of law dan demokrasi itu sendiri.
Bukti-buktinya terpampang di hadapan kita semenjak momen Pilpres 2024. Upaya untuk menghantam rule of law melalui perangkat dan aparat hukum bekerja secara simultan, misalnya, terlihat dalam intervensi di Mahkamah Konstitusi terkait penentuan syarat calon presiden dan wakil presiden, politisasi melalui jeratan hukum terhadap kekuatan politik yang berseberangan jalan dengan presiden, dan penggunaan aparat hukum untuk pemenangan pilpres. Semua itu menegaskan bahwa dalam esensinya negara kita telah berubah wujud dari republik menuju kerajaan.
Demikian pula dengan apa yang saat ini terjadi setelah Pilpres 2024. Bau anyir politisasi hukum dan kriminalisasi politik sangat kuat kita rasakan. Salah satunya membidik kader-kader PDI-Perjuangan (PDI-P), parpol yang kini berseberangan dengan Jokowi. Selain Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, KPK juga tengah menggarap kasus korupsi yang diduga melibatkan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu.
PDI-P dan Hasto
Kita semua berharap akan komitmen pemerintah dan institusinya untuk memberantas korupsi secara fair. Namun, dalam kasus Hasto, berbagai fakta dan realitas konkret hendak mengatakan hal yang sebaliknya. Hasto diduga terlibat dalam kasus suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan oleh caleg PDI-P Harun Masiku pada Pemilu 2019.
The devil is in the details. Pada pertengahan Juni 2024, Hasto diperiksa KPK untuk kasus itu. Ketika itu, muncul indikasi pengelabuan saat staf Hasto yang bernama Kusnadi turut diperiksa penyidik KPK. Penyidik berasalan Hasto yang memanggil Kusnadi. Pada kenyataannya, Kusnadi tidak dipanggil oleh Hasto. Namun, pada saat itu, terjadi penyitaan terhadap ponsel dan buku catatan Hasto yang isinya strategi PDI-P dan catatan detail lainnya yang dipegang Kusnadi. Di sini muncul problem etis, yakni Kusnadi tidak dalam posisi dipanggil oleh KPK dan perampasan barang-barang penting milik Kusnadi.
Bau politisasi hukum pun sangat terang dalam detailnya. Apa relevansi dari catatan rapat dan strategi politik PDI-P dalam buku agenda Hasto dalam kasus yang tengah diperiksa? Mengapa catatan tersebut tidak dikembalikan kepada yang bersangkutan? Potensi politisasi hukum juga rentan muncul dalam pemanggilan Hasto dalam kasus korupsi pada Direktorat Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan oleh KPK. Peristiwa tersebut dikaitkan dengan era Pilpres 2019, tepatnya saat Hasto menjadi Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Di sini, kita akan menyaksikan apakah ada tendensi penggunaan aparat hukum sebagai jalan untuk politisasi atau bahkan hantaman terhadap rule of law.
Kita sama-sama hendak menyaksikan KPK berdiri tegak memberantas korupsi di tengah pusaran kuat gerak kekuasaan. Namun, jangan sampai lembaga pemberantasan korupsi ini tersandera sehingga hanya bekerja selaras dengan manuver-manuver politik kekuasaan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke alam politik feodalisme Suharto yang ditandai oleh represi, penghancuran lawan politik, dan penghancuran tatanan demokrasi!