Logika ekonomi versus kesadaran ekologi
Kampanye Earth Hour dari tahun ke tahun merupakan sinyal bahwa pengabaian keberlangsungan ekologi masih menjadi kekhawatiran yang belum terjawab.
Jutaan orang di berbagai negara rutin merayakan Earth Hour tiap tahunnya sejak 2007. Pada 25 Maret 2023, pemadaman lampu, listrik dan perangkat elektronik selama satu jam serentak dilakukan, sebagai simbol perjuangan menyelamatkan bumi.
Penyebab mendasar yang paling sering dipersalahkan berpangkal dari logika ekonomi yang dianggap berorientasi pada pengejaran keuntungan dan uang semata. Watak ini tak kunjung berubah dalam beberapa dekade terakhir. Tak peduli lingkungan hidup hancur lebur asal membawa keuntungan ekonomi.
Selama ekonomi dan etika diposisikan terpisah, kerugian secara sosial akan makin meningkat. Karena pada dasarnya ekonomi tak bisa dianggap netral, dan tidak punya kredibilitas dalam menentukan keabsahan nilai tertentu.
Risiko
Membabat hutan mungkin saja mendatangkan keuntungan ekonomi secara cepat, namun mengandung risiko jangka panjang yang sering terlupakan.
Megaproyek atas nama pembangunan yang masif dikerjakan banyak negara di dunia terbukti meningkatkan suhu bumi 0,8 derajat celsius setidaknya dalam sepuluh dekade terakhir.
Perlahan tetapi pasti, bumi ini bakal tenggelam apabila tidak diambil langkah penyelamatan nyata.
Contoh lainnya, bisa dilihat dari rencana pemerintah membangun IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Begitu hutan ditebang, rancang tata kota dirumuskan dan beton-beton mulai ditancapkan, saat memasuki musim penghujan yang ada malah mengundang banjir.
Sebagian orang masih meraruh percaya pada rumus Pareto, tetapi ternyata tak sepenuhnya benar. Ia menilai sebuah kebijakan akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan sosial sejauh ada (minimal) satu orang yang berubah jadi lebih baik, di samping tak ada yang terkena dampak lebih buruk.
Ahli ekonomi Vilfredo Pareto merasa, ekuilibrium pasar bakal kompetitif apabila terjadi pertukaran pasar dalam alokasi sumber daya. Namun, untuk mencapai kondisi ini ada syaratnya, yakni sudah terpenuhinya ruang ”pilihan rasional”, kemudian didukung informasi yang lengkap, dan tiadanya gangguan eksternalitas.
Kendati demikian, tolak ukur ini lebih sering meleset. Ia lupa dalam tiap pilihan kebijakan mengandung kesenjangan di sana yang selalu mengintip, terlebih jika dihadapkan pada faktor lainnya, seperti kemungkinan adanya ketegangan konflik kepentingan yang terkadang menyebabkan suatu keputusan ekonomi gagal dalam mengantisipasi ekses dimensi sosial yang muncul belakangan.
Di banyak belahan dunia, fakta terdegradasinya lingkungan mudah ditemukan di mana-mana, bahkan pemerintahan suatu negara ikut berdosa dalam soal ini. Berapa banyak ragam budaya dan masyarakat adat yang lenyap, polusi udara yang tak terkendali, maupun limbah beracun yang menghancurkan ekosistem hayati.
Tak sedikit kasus yang diakibatkan kecerobohan suatu pemerintahan, misalnya peristiwa chernobyl pada 1986 di Ukraina, hingga sungai Yangtze di China yang tercemar parah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya sebagai bukti lingkungan yang makin rusak akibat ulah pemerintahan yang sembrono.
Sebagian pihak berpendapat, masalah ini dimulai sejak kemunculan filsafat modern yang berusaha melangkah terlalu jauh dengan memisahkan manusia dan alam. Rene Descartes (1596-1650) disebut sebagai pionir revolusi ilmiah yang mempopulerkan filsafat subjek sebagai petanda masa kejayaan rasionalitas.
Filsafat Cartesian merasa manusia mampu bergerak matematis dan dapat memprediksi apapun berdasarkan pikiran analitis. Sehingga dunia seisinya dipandang sebatas sebagai kumpulan benda.
Tradisi ini akhirnya menjadi cukup dominan dan manusia sibuk menyandarkan diri pada pengetahuan ilmiah yang justru mendegradasi alam, termasuk moral. Ujungnya, moralitas dan etika hanyut menuju pendangkalan.
Sepanjang dualisme Cartesian ini meruncing, yang memisahkan subjek manusia maka berimplikasi menjauhkan manusia modern dari alam.
Apabila ditarik lebih jauh ke filsafat Yunani, Cartesian relatif lebih dekat kepada pemikiran Plato. Relasi antara jiwa dan tubuh, pikiran dan perasaan maupun manusia dan dunia dianggap sesuatu yang terpisah. Inilah sejatinya yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam hingga saat ini.
Manusia subjek
Pembelahan tersebut membuat manusia menjadi subjek di mana menganggap sesuatu di luar dirinya sebagai yang lain dan diletakkan sebatas objek penglihatan. Akhirnya, manusia modern menilai alam dan dunia bukan bagian dari dirinya. Dosis kesombongannya pun bertambah, mati rasa dan acuh tak acuh terhadap kondisi lingkungan hidup.
Peneguhan "ke-aku-an" ini akhirnya menjalar ke ranah ekonomi, sehingga muncul istilah ‘homo economicus’. Ekonom termasyur Adam Smith (1723-1790) memiliki keyakinan bahwa: “mementingkan diri sendiri akan mendatangkan nasib baik bagi orang lain”.
Padahal yang terjadi sebaliknya, manusia cenderung eksploitatif terhadap apapun di luar dirinya. Dan sesungguhnya, manusia menjadi objek dan korban sekaligus. Begitu subjek mengambil peran dominan maka mendorong menguatnya homo economicus yang menjadikan manusia hanya sekedar makhluk ekonomi.
Maka, sudah saatnya tiap keputusan ekonomi mulai meninggalkan kerangka pemisahan tersebut yang mendikotomi antara subjek dan objek. Dan Jangan dinilai sebagai sesuatu yang bertolak belakang atau saling berhadap-hadapan.
Kita perlu berpikir tentang keputusan apa yang seharusnya diambil dan berusaha memahami kehidupan seperti apa yang hendak dihuni penduduk bumi di masa depan.
Jika watak homo economicus terus dibiarkan, maka krisis ekologi akan kian suram. Karena motif ekonomi akan terus-menerus menjebak ke dalam kubangan keserakahan tak bertepi.
Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah krisis nilai. Nilai inilah yang makin memudar. Terkadang nilai di sini tak selalu tertulis. Misalnya saat sebagian ekonom bicara tentang kesejahteraan, ada anjuran pemenang menyediakan kompensasi kongkret bagi mereka yang kalah.
Jika alam yang rusak tergolong kubu yang kalah akibat aktivitas ekonomi, maka sudah selayaknya diberikan perhatian serius guna menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Etika seperti inilah yang rasanya absen.
Aspirasi agama barangkali bisa mengisi kekosongan etika. Islam menawarkan konsep cukup jelas ketika menerangkan batasan relasi antara manusia dan bumi. Konsep seperti tauhid ataupun khalifah (bukan dalam pengertian negara Islam) bisa dijadikan fondasi etika lingkungan.
Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Allah menciptakan setiap makhluk hidup dari air. Bumi beserta isinya adalah ciptaan Allah dan wajib dipelihara. Manusia pun diperingatkan tidak membuat kerusakan di bumi (QS.7:56).
Bahkan dalam Al-Qur'an dan hadis dijanjikan ganjaran pahala bagi mereka yang menanam dan merawat pohon, maupun tumbuhan.
Zaman khalifah Abu Bakar misalnya, selalu mengingatkan bahwa: jangan menebang pohon, jangan menyakiti hewan, dan dianjurkan bersikap manusiawi terhadap ciptaan Tuhan, termasuk kepada musuh dalam peperangan sekalipun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia merupakan bagian sistem organik kehidupan yang tak terpisahkan dari alam. Satu hal berpengaruh terhadap yang lainnya. Tiap perubahan yang terjadi di kehidupan ini saling bertalian dalam klausul ’sebab akibat’ dan ’timbal balik.’
Etika religiusitas semacam inilah yang dibutuhkan. Umat manusia memikul tanggung jawab bawaan guna membereskan krisis ekologi yang terjadi. Beragam nikmatnya kemudahan instan, dan gaya hidup konsumerisme yang kebablasan menyebabkan manusia tenggelam pada krisis moral akut.
Itu sebabnya tanpa adanya kesadaran tersebut, sulit sekiranya manusia modern mampu membereskan masalah ancaman ekologi ini. Karena krisis moral hanya bisa dipecahkan dimulai dengan mengubah perilaku gaya hidup.
Atau jangan-jangan selama ini ada kekeliruan cara pandang dalam mengenali diri kita, dan gagal paham memaknai segala anugrah yang telah dititipkan Tuhan.