close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Subarudi. Foto dokumentasi.
icon caption
Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Subarudi. Foto dokumentasi.
Kolom
Senin, 25 November 2024 15:26

Marginalisasi ekosistem riset dan inovasi nasional

Apakah posisi BRIN akan menjadi underbow dari Kemendikti Saintek?
swipe

Pertanyaan besar muncul ketika ada isu penggabungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Kementerian Ristek dan BRIN sebelum pembentukan Kabinet Merah Putih. Namun pertanyaan tersebut sudah terjawab setelah pelantikan Presiden Parabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan dibentuknya Kementerian Pendididkan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Pertanyaan selanjutnya muncul terkait apakah posisi BRIN akan menjadi underbow dari Kemendikti Saintek karena dari terminologi sains dan iptek pasti tidak dapat dilepaskan dari kegiatan riset dan inovasi.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara BRIN dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 12 November 2024 disimpulkan pada butir 8 “Komisi X DPR mendorong Kepala BRIN perlu melakukan konsolidasi internal dan eksternal melalui harmonisasi dan sinkronisasi dengan kementerian atau lembaga (K/L), yakni Kemendikti Saintek terkait dengan untuk menyinergikan tata kelola bidang riset dan inovasi “ (Komisi X DPR RI, 2024). Dalam hal ini kemungkinan terjadinya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara BRIN dan Kemendikti Saintek.

Alih-alih setelah selesai dan keluar dari ruang RDP dan belum melaksanakan kajian tumpang tindih tupoksi secara ilmiah dan mendalam, Pimpinan BRIN sudah menyatakan tidak ada tumpang tindih tupoksi dan wewenang dengan Kemendikti Saintek. Hal ini diambil contoh ketika ada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tidak ada tumpang tindih walaupun ada kata risetnya, apalagi sekarang cuma ada istilah saintek (Tempo Co, 2024).

Sejatinya memang tidak boleh ada dualisme kebijakan dan pelaksanaan riset dan inovasi nasional karena dalam Perpres No. 189 Tahun 2024 tentang Kemendikti dan Saintek terdapat unit Direktorat Jenderal (Ditjen) Riset dan Pengembangan (Risbang) yang akan merumuskan kebijakan riset dan pengembangan secara nasional, sehingga kemungkinan besar ada terjadi tumpang tindih tupoksi dan kewenangan dengan BRIN. Tulisan singkat ini akan mengulas tiga hal penting, yaitu potensi tumpangtindih tupoksi dan kewenangan Kemendikti dan Saintek dan BRIN, fakta marjinalisasi ekosistem riset, dan upaya membangun ekosistem riset yang sehat di masa depan.

Manfaat keberadaan Kemendikti Saintek

Konsepsi pembentukan Kemendikti Saintek harus dimulai dari evaluasi pelaksanaan riset dan inovasi nasional baik yang dilakukan oleh BRIN maupun oleh Kemendikbudristek. Secara umum, Kemendikti Saintek harus tetap mengacu kepada UU No 11/2019 yang menyebutkan enam fungsi penting kegiatan riset dan inovasi, yaitu: (1) Koordinasi Penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek); (2) Pengembangan Inovasi; (3) Peningkatan Sumber Daya Manusia; (4) Pengelolaan Sarana dan Prasarana Iptek; (5) Mendorong Kolaborasi dan Jaringan; dan (6) Pengelolaan Kekayaan Intelektual.

Dengan melihat pada keenam fungsi tersebut, maka sudah jelas posisi Kemendikti Saintek adalah sebagai ‘dirigen atau konduktor’ yang memimpin sebuah ‘orkestra’ agar berjalan penuh harmoni untuk memainkan sebuah lagu yang sama yaitu ‘membangun negeri’. Posisi Kemendikti Saintek sejatinya tidak bertindak sebagai operator kegiatan riset karena akan memperbesar konflik kepentingan dan menumbuhsuburkan sikap-sikap ‘over claim’ di tubuh pimpinan yang akan berdampak negatif terhadap riset bagi kemajuan bangsa. Sangat mungkin terjadi konflik kepentingan, jika ‘wasit juga merangkap sebagai pemain’ dalam suatu pertandingan yang menggunakan sumber daya publik.

Keberadaan Kemendikti Saintek diharapkan membawa angin segar dalam kegiatan perencanaan, pengaturan, dan pengawasan dalam penyelenggaran ristek dan inovasi karena pelaksanaan riset dapat dilakukan oleh BRIN, Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset Swasta. Ada beberapa manfaat dan keuntungan dari Kemendikti Saintek dengan memposisikan BRIN sebagai pelaksana riset, yakni:

1. BRIN walaupun posisinya di bawah kendali presiden, selama ini ‘belum pernah’ diajak ikut berpartisipasi dalam rapat-rapat kabinet sehingga ada informasi “missing link” yang tidak diperoleh BRIN dalam menjawab segala permasalahan dan tantangan dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Kehadiran Kemendikti Saintek secara pasti dan khusus akan dilibatkan dalam rapat-rapat kabinet, sehingga akan dapat lebih menajamkan hasil keluaran (output) dan dampaknya (outcome) dari kebijakan Risbang yang dirumuskan beserta hasil-hasilnya.

2. Anggaran riset yang dikelola BRIN cenderung menurun setiap tahunnya dari Rp12 Triliun (2021), Rp6 Triliun (2022), Rp6,2 Triliun (2023), Rp5,7 Triliun (2024) (Noer, 2024). Problem ini, kemungkinan besar akan bisa diatasi dengan keberadaan Kemendikti Saintek karena akan mampu bernegosiasi dengan Bappenas dan Kementerian Keuangan terkait urgensi dan manfaat kenaikan anggaran riset dengan output dan outcome yang jelas dan terukur.

3. Kehadiran Kemendikti Saintek juga dapat lebih mudah untuk menyusun kebijakan singkat (policy brief) dari resume hasil-hasil riset. Kebijakan ini dapat segera dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih prgamatis bagi Kementerian/Lembaga (K/L).

4. Secara kelembagaan, posisi Kemendikti Saintek akan lebih kuat, dalam lingkup diplomasi eksternal, misalkan dalam berkolaborasi dengan lembaga global internasional dan secara internal dalam melakukan pengembangan komunitas-komunitas Risbang yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

5. Implementasi grand design Risbang akan lebih terarah dengan agenda pembangunan nasional.

6. Posisi Risbang akan lebih mudah terkoordinir, jelas, serta dapat menunjang kegiatan-kegiatan penelitian yang sangat dibutuhkan untuk setiap K/L dan tidak seperti sekarang ini yang semakin tidak fokus dan tidak jelas arah tujuannya.

7. Memudahkan pelaksanaan kerja sama yang lebih jelas untuk menjembatani atau penghubung Risbang (Tugas Ditjen Risbang) yang sudah ada sebelumnya di K/L, serta dapat terjalin hubungan yang lebih jelas dan sinergis dengan K/L. Di samping itu, para peneliti dapat memanfaatkan laboratorium/fasilitas penelitian yang masih ada di K/L asalnya dahulu, jika memang masih diperlukan.

8. Dapat terciptanya manajemen keuangan yang lebih simpel seperti saat para peneliti berada di K/L dahulu. Mengingat saat di bawah BRIN, terlihat pengelolaan keuangannya sangat rumit/birokratis dengan paket hematnya.

9. Kebijakan terkait penerapan ruang kerja bersama dan bergantian (co working space-CWS) membuat ruang gerak para peneliti sangat terbatas, sehingga perlu diubah dan kembali seperti layaknya sebuah K/L.

10. Pemberian insentif atas publikasi yang terbit di jurnal bereputasi tinggi, selama ini BRIN tidak pernah menyediakan dan menerapkan insentif khusus untuk biaya publikasi karya tulis ilmiah (KTI) di jurnal internasional, termasuk dalam menyediakan jasa editor bahasa. Kemendikti Saintek pasti akan melakukannya sebagaimana dilakukan di Kemendikbudristek yang memberikan insentif bagi para dosen yang mampu menerbitkan KTI-nya di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi.

Analisis tumpangtindih kebijakan riset

Keberadaan Kemendikti Saintek dengan Ditjen Risbangnya sudah pasti akan bersinggungan dan tumpang tindih tupoksi dan wewenang dengan BRIN ketika posisi BRIN sekarang ini masih menjadi solo agent sebagai wadah tunggal fungsional peneliti, pengembang, pengkaji dan penerap (litbangjirap) dan sentra pelaksana riset dan inovasi nasional. Posisi BRIN sebagai solo agent mencakup juga kegiatan perencanaan, pengaturan dan pelaksanaan serta pengawasan riset sebagaimana juga akan dilakukan oleh Kemendikti Saintek. Posisi BRIN sebagai wadah tunggal periset selama ini telah dan seringkali memarginalkan posisi para penelitinya, seperti tampaknya (i) peneliti dibiarkan membayar APC (Article Publishing Charge), (ii) kebijakannya lebih banyak bersifat lisan dan berubah-ubah tergantung waktu dan situasi, (iii) penerapan CWS membatasi ruang gerak peneliti dan memunculkan persoalan baru, di mana para peneliti BRIN harus berebut ruang kerja dan fasilitas yang terbatas (Noer, 2024), (iv) peneliti tidak bisa menggunakan ruang rapat untuk kegiatan rapat yang mendadak karena harus dipesan terlebih dahulu 2-3 hari sebelumnya atau rapat ditunda karena ruang rapat full booked, (iv) penerapan indeksasi jurnal nasional dan internasional seringkali merugikan peneliti tanpa acuan yang jelas dan pemberlakukan ‘surut ke belakang’ untuk jangka waktu delisting atas daftar nama jurnal (Subarudi, 2023), (v) melebihi kewenangannya dalam memberikan hukuman disiplin terutama kepada para penelitinya dan seringkali bersifat diskriminatif (Subarudi, 2023) dan (vi) keberadaan Perhimpunan Penelitian Indonesia (PPI) masih belum independen dan masih terkooptasi oleh manajemen BRIN, sehingga terlihat tidak berdaya dalam membela dan memperjuangkan nasib para peneliti dan perekyasa sebagai anggota tetapnya (Subarudi, 2024).  

Di tengah ketidakjelasan posisi BRIN dan potensi besar adanya tumpangtindih tupoksi dengan Kemendikti Saintek, pembentukan BRIN sebagai wadah tunggal fungsional peneliti, pengembang, pengkaji dan penerap (litbangjirap) atau disebut sebagai periset telah memicu kegaduhan, yaitu tarik ulur posisi periset baik yang tersebar di Kementerian/Lembaga (K/L).Kemudian kegaduhan lainnya muncul kembali ketika BRIN menerapkan kebijakan “homebase” sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kepala BRIN No. 238/I/HK/ 2024 tentang Sistem Kerja di Lingkungan BRIN. Kebijakan ini ‘memaksa’ banyak peneliti di daerah harus bekerja di homebase unit kerja mereka yang tersebar di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kebijakan ini telah meresahkan para periset karena tidak sejalan dan konsisten dengan pembentukan BRIN pada awalnya (Tempo Co, 2024a). Sudah banyak penolakan dari para periset di daerah seperti Makassar (Kompas.tv, 2024), Manado (Tempo Co, 2024) dan daerah lainnya dengan bentangan spanduk bertuliskan “Kami Menolak Kebijakan Homebase BRIN”, namun BRIN tetap jalan dengan kebijakannya ini dengan pendirian dan prinsipnya sendiri sebagaimana biasanya.

Sebenarnya BRIN memiliki potensi besar untuk mendorong riset dan inovasi di Indonesia, namun menghadapi tantangan birokrasi, politisasi, dan ketidakjelasan strategi. Reformasi birokrasi, peningkatan transparansi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak diperlukan untuk memastikan keberhasilannya serta memperkuat daya saing nasional di bidang Iptek. BRIN sebagai Lembaga riset tersentralisasi merupakan konsep yang sudah lama ditinggalkan di belahan bumi ini dan hanya Negara India yang memiliki konsep mirip dengan BRIN, yaitu Council of Scientific and Industrial Research (CSIR). CSIR bertanggung jawab atas 38 laboratorium yang tersebar di India dan memiliki fungsi penganggaran, perencanaan, dan pengelolaan infrastruktur riset. Di samping itu, Perdana Menteri Narendra Modi duduk sebagai Presiden CSIR serta Menteri Sains dan Teknologi sebagai wakilnya, sedangkan posisi eksekutif CSIR dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. Dengan kondisi seperti ini, CSIR rentan mengalami politisasi dan birokratisasi riset. Pimpinan CSIR bahkan mereduksi transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan hingga menutup akses informasi proses riset dan performa laboratorium dari para penelitinya (Noer, 2024).

Dengan anggaran riset yang kecil, selama ini dinyatakan oleh manajemen BRIN akan melakukan seleksi ketat atas semua proposal riset yang masuk dengan sistem hibah bersaing, yaitu hanya proposal riset yang sesuai dengan rumah-rumah program saja yang dapat dibiayai, sejatinya itu hanya sebuah cara menyiasati anggaran khusus riset yang kecil yaitu hanya Rp2,2 triliun untuk sekitar 15.000 periset, sehingga alokasi anggaran riset hanya sebesar Rp146,7 juta per periset. Angggaran ini sudah termasuk biaya perjalanan peneliti untuk mengikiuti seminar, workshop dan konferensi dalam dan luar negeri dan berakhir pada penetapan anggaran riset berkisar antara Rp50 juta hingga Rp250 juta per satu judul kegiatan riset.  

Kemunculan Kemendikti Saintek diharapkan membawa angin segar terhadap perkembangan riset dan inovasi nasional. Pada dasarnya, upaya yang harus dilakukan untuk mengindari tumpang tindih ataupun ‘penyeimbang’ posisi BRIN yang cenderung tampil tanpa pesaing, paling tidak dalam jangka pendek dapat menyemarakkan diskursus kebijakan risnov nasional.

Selanjutnya, ada empat agenda penting riset dan inovasi nasional yang harus dilakukan Kemendikti Saintek, yaitu: (i) meletakkan kembali dasar-dasar tata kelola riset yang transparan, kolaboratif, dan berintegritas di tingkat pelaksana riset; (ii) memposisikan BRIN sebagai salah satu pelaksana riset dan memberikan arah dan tetap menjaga jarak yang pantas/layak/etis dengan politik praktis sebagai upaya memperkuat independensi ilmiah dan etika; (3) membangun kembali tata kelola dan ekosistem riset yang selaras dengan semangat baik tersurat maupun tersirat dalam UU No 11/2019; dan (4) kebijakan perubahan fungsi BRIN dari solo agent dan menjadi pelaksana (implementor) diharapkan sebagai upaya untuk lebih memperbaiki ekosistem riset dan tata kelolanya serta menghemat keuangan negara dengan hilangnya unit organisasi para deputi dan juga kepala-kepala organisasi riset (OR) yang ada.

Marjinalisasi ekosistem riset

Secara harfiah, kata marginalisasi berasal dari kata marginal yang berarti berhubungan dengan tepi, pinggir, dan batas. Pengertian marginalisasi adalah suatu proses yang menjadikan kelompok tertentu berada pada posisi terpinggirkan dan tidak berdaya (Rosari, 2023). Jadi marginalisasi riset dapat diartikan sebagai proses yang menjadikan kegiatan riset berada pada posisi terpimggirkan dan tidak memiliki daya apapun. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembentukan BRIN yang menafikan UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) Pasal 48, dimana keberadaan BRIN sebagai institusi penunjang dalam pelaksanaan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (Litbangjirap).

Mengadopsi dari kehidupan masyarakat marginal dan kemudian diterapkan pada persoalan riset, maka terdapat tiga dimensi penting untuk memahami marginalisasi yang dikemukan oleh Alfitri dari Universitas Sriwijaya, yaitu dimensi ekonomi, dimensi politik, dan dimensi kemudahan fisik (Rosari, 2023). Ketiga dimensi tersebut akan diuraikan secara detail di bawah ini.

Dimensi ekonomi dalam kegiatan riset dapat diukur dari berapa besar alokasi anggaran riset dari pemerintah. Kehadiran BRIN juga tidak membuat anggaran riset semakin meningkat, namun malah menurun dari Anggaran BRIN terus menurun setiap tahunnya, dari Rp12 triliun pada 2021 menjadi kurang dari Rp5,8 triliun pada 2024. Penyusutan anggaran ini diklaim sebagai bentuk efisiensi pasca peleburan infrastruktur riset dari berbagai instansi (Noer, 2024). Padahal pada saat sebelum peleburan Lembaga litbang di K/L memiliki dana riset sebesar Rp27 triliun setiap tahunnya. Hal ini yang menjadi pertanyaan Presiden Jokowi dengan anggaran yang besar, jangan sampai laporan riset cuma ditaruh di lemari saja (Prasetia, 2023).

Kepala BRIN menyatakan bahwa anggaran penelitian BRIN pada tahun ini sekitar Rp6,4 triliun. Namun sekitar 65% atau Rp4,5 triliun digunakan untuk kegiatan operasional seperti menggaji pekerja, perawatan kendaraan, perawatan gedung, dan lain-lain. Sedangkan sekitar 35% nya atau sekitar Rp2,2 triliun yang digunakan untuk keperluan teknis penelitian seperti pendanaan penelitian dan inovasi serta penyediaan infrastruktur (BRIN, 2023). Jadi sesuatu yang absurd, dimana anggaran riset sebelum bergabung dengan BRIN sebesar Rp27 triliun dan setelah bergabung dengan BRIN menjadi Rp5,8 triliun di tahun 2024 (21,5%) atau seperlima dari total anggaran awalnya.  Jadi sudah dapat dibayangkan bagaimana kualitas hasil riset BRIN akan mumpuni dan terjadi inovasi berkelas, jika dana riset hanya berkisar 50-250 juta per judul kegiatan riset dengan ketentuan hasil riset harus dapat dipublikasikan pada jurnal internasional bereputusasi tanpa diberikan APC.  Berbeda dengan di Kemendikbudristek yang memberikan insentif bagi para Dosen yang telah berhasil mempublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi sebesar Rp20 juta hingga Rp25 juta per publikasi.

Dimensi politik dalam kegiatan riset dapat diukur dari penunjukkan ketua dewan pengarah yang berasal dari partai politik. Hal ini dianggap dan dipersepsikan bahwa BRIN sedang menjadi alat dan tumpangan politik, sehingga wajar kalau ada yang beranggapan kelahiran BRIN bernuansa politisasi dari sebuah partai yang berkuasa saat itu. Politisasi BRIN ini sama sebangun dengan keberadaan lembaga riset CSIR, India (Noer, 2024).

Arah politisasi BRIN dan juga back up politik yang semakin kuat diindikasikan dengan tidak bergemingnya pimpinan nasional menyikapi rapor merah BRIN yang dilayangkan ke banyak lembaga negara.  Political back up membuat gaya kempimpinan personalnya semakin kuat dan cenderung personafikasi individu sebagai ‘institusi’ (one man show). Kondisi dan situasi seperti ini tentu merugikan dan melemahkan serta memarginalkan ekosistem riset dan inovasi nasional (Swasty, 2022). Fakta terakhir ketika beberapa anggota Komisi VII menyarankan kepada Presiden agar Kepala BRIN diganti dan juga agar BPK melakukan audit keuangan BRIN (Yahya, 2023; Tempo Co, 2023), tetapi tetap saja seruan tersebut hanya tinggal seruan dan dianggap sebagai angin lalu yang bertiup sepoi-sepoi.

Dimensi kemudahan fisik dalam kegiatan riset dapat diukur dari ada sekelompok periset yang sulit mengakses fasilitas riset seperti laboratorium dan rumah kaca serta alat dan perlengkapan riset yang mendukungnya. Ada beberapa peneliti harus menunggu dan antri untuk mendapatkan akses ke laboratorium dan menurut informasi ada juga peneliti yang harus menyewa sebuah rumah agar hasil risetnya dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang direncanakannya(PPI, 2023). Sebenarnya bukan hanya akses ke fasilitas riset saja yang sulit, tetapi juga terhadap CWS, beberapa CWS ditutup tanpa alasan yang jelas seperti CWS di Kebun Raya Bogor (KRB). Padahal dengan adanya CWS di KRB, banyak para peneliti memanfaatkan Lokasi KRB sebagai tempat olah raga jalan kaki sehat (JKS) dan jogging sebelum bekerja, sehingga menjadikan diri mereka sehat dan bugar agar bisa meningkatkan produktivitasnya sebagai periset. Sejak ditutup CWS KRB, para periset harus membayar sesuai tiket masuk, sehinnga mereka melakukan JKS di luar KRB yang penuh polusi asap kendaraan dan banyak juga yang berhenti melakukan olahraga untuk kebugaran tubuhnya. Sehingga tampak telah terjadi pergeseran dari fungsi riset menjadi tujuan ‘komersial’ yang bukan saja mengancam pengembangan pengetahuan, namun juga melemahkan sisi edukasi atas keberadaan KRB.

Marginalisasi ekosistem riset bisa diukur melalui perjalanan BRIN dalam kurun waktu 3 tahun. BRIN telah banyak merealisasikan program dan target capaiannya, namun banyak pula kekurangan dan kelemahannya. Menurut Noer (2024) keberadaan BRIN yang diresmikan pada 2021 lalu lebih banyak memunculkan kontroversi dan polemik dibandingkan dengan penguatan proses riset dan inovasi. BRIN sebagai lembaga riset yang tersentralisasi melalui penggabungan lembaga litbang dari seluruh K/L telah terjebak dalam birokratisasi dan politisasi yang menghambat proses riset dan inovasi itu sendiri.

Jadi wajar sekali, jika Tempo  (17/11/2024) menggambarkan nasib ekosistem riset nasional sebagai “Tarik Ulur Nasib Badan Riset”, dimana pemerintahan Prabowo telah menetapkan kedudukan  BRIN menjadi tidak menentu. Di satu sisi agenda perombakan badan riset terganjal kepentingan politik. Di sisi lain, hal ini mengindikasikan  betapa malangnya nasib riset dan inovasi di Indonesia. Suatu negara  yang akan bertransformasi menjadi “knowledge based economy”, namun tersandera oleh  ‘apatisme dan kengkuhan para politisinya’.  

Posisi BRIN yang secara politis sangat kuat terbukti dengan tidak ada kekuatan pemerintah lama dan yang baru untuk merubah pola kerja dan manajemen riset di BRIN, walaupun pemerintah baru sudah membentuk Kemendikti Saintek. Langkah selanjutnya yang ditunggu adalah pemerintah c.q. Kemendikti Saintek memposisikan BRIN hanya sebagai pelaksana riset seperti Badan Litbang di K/L atau seperti LIPI dahulu, agar BRIN sekarang ini tidak difungsikan sebagai solo agent untuk para perisetnya, sehingga hal ini akan memperpendek jarak komunikasi dan informasi antara BRIN dengan para perumus kebijakan di K/L.

Upaya membangun ekosistem riset yang mumpuni ke depan

Sebenarnya marginalisasi riset dan teknologi (ristek) terjadi selama 10 tahun terakhir ketika pemerintah  mengabaikan peran riset teknologi dalam penguatan ekonomi nasional. Hal ini ditegaskan oleh seorang peneliti MITI (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia) dan diharapkan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden Prabowo untuk mengembalikan kejayaan ekonomi nasional yang ditopang oleh penguatan bidang ristek yang selama ini diabaikan (Machmudi, 2024).

Setelah mengkaji terkait kebermanfaatan dan tumpangtindih tupoksi dan wewenang dengan BRIN serta pencegahan marginalisasi dan politisasi riset, maka ada 12 (dua belas) agenda pokok yang perlu menjadi perhatian bagi Pimpinan Kemendikti Saintek (2024-2029) agar pelaksanaan tupoksinya lebih optimal, terarah, efektif dan efisien dalam membangun ekosistem riset yang mumpuni ke depannya, yaitu:

1. Kemendikti Saintek harus dapat berperan dan berpartsipasi aktif dalam rapat kabinet, memastikan kebijakan berbasis riset menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan strategis nasional.

2. Kemendikti Saintek dapat memperjuangan alokasi anggaran untuk riset dan inovasi ditingkatkan secara signifikan untuk mendukung penelitian yang lebih inovatif, multi-disiplin, dan aplikatif, baik di sektor publik maupun swasta.

3. Kemendikti Saintek dapat memunculkan dialog kebijakan dan mampu berfungsi sebagai jembatan antara dunia riset dan K/L lainnya, serta memastikan hasil riset dapat diintegrasikan dengan kebijakan sektoral di berbagai bidang seperti pertanian, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan.

4. Kemendikti Saintek harus mendorong kolaborasi internasional secara proaktif di bidang riset dan inovasi, baik dengan lembaga riset, universitas, maupun sektor industri global untuk mengakselerasi kemajuan teknologi di Indonesia.

5. Kemendikti Saintek mulai berfokus pada peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang riset dan inovasi, melalui program pendidikan lanjutan, pelatihan, dan pengembangan karir yang berkelanjutan bagi peneliti dan inovator muda.

6. Kemendikti Saintek dapat mendorong penggunaan teknologi mutakhir dalam riset terapan seperti kecerdasan buatan, big data, dan teknologi nano dalam riset terapan, guna memecahkan masalah-masalah besar bangsa seperti ketahanan pangan, energi terbarukan, dan perubahan iklim.

7. Kemendikti Saintek dapat membangun dan mengembangkan ekosistem riset yang mendorong kolaborasi multipihak antara akademisi, pemerintah, industri, komunitas, dan media (penthahelix), di mana setiap pihak memiliki peran yang jelas dalam mendukung inovasi yang berkelanjutan. Kolaborasi lintas sektor ini akan mempercepat transfer teknologi dan hasil riset yang berdampak nyata pada masyarakat seperti yang pernah diwujudkan oleh Lembaga Eijkman sebelum dibubarkan.

8. Kemendikti Saintek dapat menerapkan pendekatan inovasi berbasis masalah (problem-based innovation) untuk memecahkan masalah-masalah strategis yang dihadapi Indonesia seperti ketahanan pangan, kesehatan, energi terbarukan, perubahan iklim, serta digitalisasi sektor industri. Riset harus berorientasi pada solusi nyata yang bisa langsung diterapkan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa dan bukan pada target pencapaian jumlah publikasi di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi.

9. Kemendikti Saintek perlu membangun dan mengembangkan jaringan dan pusat-pusat inkubator dan akselerator inovasi di seluruh Indonesia untuk mendukung pengembangan start-up teknologi, penelitian terapan, dan produk-produk inovatif. Ekosistem ini juga harus menyediakan akses kepada pendanaan, mentoring, dan networking yang dibutuhkan oleh peneliti dan pengusaha muda.

10. Kemendikti Saintek dapat menguatkan sistem pendanaan riset berbasis kompetisi dan kolaborasi, baik dari pemerintah maupun swasta, yang mendorong penelitian dengan dampak besar dan inovasi teknologi tinggi. Model pendanaan ini harus mengintegrasikan keberlanjutan hasil riset dengan kebutuhan industri serta masyarakat.

11. Kemendikti Saintek dapat memanfaatkan data terbuka (open data) dan platform digital untuk kolaborasi riset dan membangun infrastrukturnya yang memungkinkan para peneliti, inovator, dan pembuat kebijakan mengakses, berbagi, dan memanfaatkan data dengan lebih efisien. Sistem ini akan mempercepat proses riset dan inovasi melalui peningkatan keterbukaan dan kolaborasi.

12. Keberadaan BRIN, walaupun diamanatkan dalam UU No. 11/2019 perlu upaya re-orientasi, BRIN perlu diposisikan sebagai badan pelaksana riset iptek dan inovasi nasional dan sekaligus juga pengelola pendanaannya sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah federal Australia dengan menetapkan agenda riset nasional dan memberikan dukungan keuangan yang stabil melalui lembaga seperti Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) (Noer, 2024).

13. Meskipun keberadaan BRIN sudah diakomodir, tetapi dapat saja Kemendikti Saintek membentuk badan-badan khusus dengan tema riset yang spesifik yang menjadi prioritas presiden baru, misalnya ketahanan pangan, energi dan ketersediaan air serta pengentasan kemiskinan. Hal ini terjadi di Australia meskipun mebentuk CSIRO (mewadahi hampir seluruh bidang riset), negeri kangguru ini juga memiliki badan riset lain seperti Australian Nuclear Science and Technology Organization (ANSTO) yang berfokus pada riset nuklir (Noer, 2024).

Pemerintahan Prabowo dan Gibran, dengan menghadirkan Kemendikti Saintek, diharapkan mampu mencari terobosan baru dalam bidang riset, iptek dan inovasi yang masih menghadapi kendala dalam jumlah anggaran ristek dan inovasi yang rendah, pengelolaan keuangan yang terlalu kaku dan birokratis sehingga banyak partner atau lembaga riset dan inovasi dalam dan luar negeri enggan untuk menjadi mitra BRIN dengan posisi sebagai sole agent. Kemendikti Saintek agar dapat membuka dialog kebijakan secara terbuka dengan K/L lainnya untuk menyusun desian kebijakan yang dibutuhkan dan sekaligus menjadi input dalam menyusun grand design riset dan inovasinya.

Hal lain adalah hasil-hasil risetnya agar dapat langsung dikomunikasikan kepada presiden dalam rapat kabinet yang membahas persoalan pembangunan nasional saat ini dan mencari solusi jitunya baik melalui perumusan kebijakan berbasis iptek maupun penemuan iptek tepat guna untuk implementasi teknis K/L yang lainnya.

img
Subarudi
Kolomnis
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan