Melakukan taksasi tatanan kehidupan setelah WFH
Anda semuanya, sidang pembaca, kiranya pernah alami, saat sedang work from home (WFH) bersama bos. Tetiba anak bungsu melintas depan layar komputer dan ikut nimbrung ngobrol. Saat sedang serius-seriusnya rapat daring, tetangga sebelah dar der dor suara palu menghentak dinding.
Dari semuanya itu, semoga saja jangan sampai kejadian bawahan Anda kelihatan kolega di seberang layar Zoom, misalnya. Atasan memang rapih berkemeja, namun bawahan masih tetap bersarung dan bahkan celana pendek bercorak polkadot!
Seluruh kejadian ini, di mata penulis, kelak akan terakumulasi dalam sebuah tatanan baru sekiranya WFH sudah berakhir --kita berdoa harap ini bisa segera terealisasi. Kita akan berhadapan dengan sebuah realitas baru.
Sebelum membahas tatanan tersebut, postulat jadul dari Guru Besar Geografi Universitas California, Jared Diamond, layak diapungkan. Dalam buku yang jadi magnum opus-nya, Guns, Germ, dan Steel (1997), disebutkan sejarah umat manusia modern tak bisa lepas dari tiga hal.
Yaitu senjata, kuman, dan baja. Makhluk tak kelihatan bernama Covid-19 sejatinya saat ini telah mampu membentuk tatanan dan realitas baru, terutama dalam proses digitalisasi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia umumnya.
Ini mengingatkan wabah Black Death abad 14 di Eropa. Saat itu, 200 juta orang meninggal dunia disebabkan virus renik bernama Xenopsylla Cheopis, yang selepas itu kemudian mendorong Bangsa Eropa menjadi bangsa penjajah ke penjuru dunia. Setelah itu, posisi mereka pun jadi lebih unggul dari bangsa lain.
Terbukti sampai saat ini, kala seluruh dunia mengutuk penjajahan, malah konsep persemakmuran dari Inggris dan Portugal tetap berlaku pada negara lainnya. Dan, negara yang "dijajahnya" pun relatif nyaman-nyaman saja.
Untuk itulah, dalam hemat penulis, setelah periode WFH ini tuntas (semoga segera tuntas, Ya Allah), boleh jadi situasi dalam kehidupan kita takkan pernah sama lagi seperti sebelumnya! Bersiaplah pada beberapa tatanan baru yang bisa memengaruhi banyak hal dalam proses kehidupan kemanusiaan kita ke depannya.
Pertama, keterlibatan sekaligus risiko masyarakat Indonesia pada layanan Internet akan terus meninggi tanpa kendali kuat otoritatif di dalamnya. Riset We Are Social akhir Februari 2020 menyebutkan, pengguna Internet Indonesia pada 2020 diperkirakan mencapai 175,4 juta atau naik 17% dari 2019.
Atau, ini setara 64% jumlah penduduk Indonesia. Sudah lebih separuh penduduk Indonesia terakses dunia maya. Statistik ini sangat menarik karena mengikuti posisi sebelumnya ketika telepon seluler tak lagi menjadi alat prestise simbol sosial di Indonesia sekitar mulai 2005; Internet hari ini adalah layanan standar pada semua starata sosial-ekonomi masyarakat.
We Are Social juga menyebutkan, masyarakat Indonesia menggunakan internet pada 2019 per hari sekitar 8 jam, yang mana 3 jam 26 menit dihabiskan untuk bermedia sosial. Selain itu, selama berselancar, pengguna banyak mengakses online video, menonton vlog, mendengarkan streaming musik dan radio, hingga Podcast.
Keterlibatan tinggi ini terlihat dari indikator makin antusiasnya masyarakat Indonesia menjadi konten kreator. Tak mau lagi sebatas penonton, terutama pada aplikasi TIK berbasis audio visual. Jamak kita temukan saat ini anak kecil bercita-cita menjadi gamer profesional hingga Youtuber.
Namun itu tadi, secara bersamaan, risiko keamanan pun akan muncul tinggi dan perlu diwaspadai terutama dari serangan siber serta kampanye disinformasi dan berita palsu imbas rendahnya literasi digital masyarakat.
Temuan firma kemananan TIK, Kaspersky, baru-baru ini membuka tabir pelaku kejahatan siber di Asia Tenggara yang dilakukan kelompok-kelompok Advanced Persistent Threats (APT) dengan kegiatan utama cyber espionage canggih.
APT, kata Kasperksy, meluncurkan alat serangan baru, termasuk memata-matai malware ponsel demi mencapai tujuannya, yaitu mencuri informasi dari individu, organisasi, pemerintah, hingga militer di wilayah Asia Tenggara. Seluruh serangan ini, terutama kampanye disinformasi dan berita palsu, tak kunjung mereda di sekitar kita.Seluruh risiko ini pun relatif sulit diatur oleh otoritas terkait, seolah dunia maya adalah tanah tanpa tuan yang tak mudah dikendalikan.
Selain risiko teknis TIK, ada juga ancaman risiko pada sisi perilaku sosial. Tak bisa kita pungkiri, bahwa keterlibatan dan risiko tinggi atas TIK sebelumnya pun telah pula membuat banyak masyarakat Indonesia sudah abai lingkungan bahkan dirinya sendiri! Tak berbilang mereka yang kecanduan game online, hingga akhirnya terkoneksi realitas virtual dan bahkan gila sendiri.
Kedua, tingkat kecanduan kita pada teknologi daring kian bertambah seiring dengan belum terdapatnya solusi atas kemacetan kota di Indonesia yang bahkan sekarang meluas tak hanya di Pulau Jawa. Momen WFH dengan nyata memberikan banyak opsi teknologi informasi komunikasi (TIK) yang sebelumnya tidak familiar dan atau sebelumnya sesekali digunakan.
Aplikasi semacam Zoom dan Google Meet kini menjadi keseharian bahkan untuk anak di bangku sekolah dasar. Aplikasi pembelajaran seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper benar-benar bisa diandalkan selama kuota data masih tertera nominalnya.
Sudah pasti, WhatsApp (WA) makin terasa manfaat dan kehandalannya, apalagi masyarakat tak keluar duit berlangganan. Bagi level korporasi, yang sebelumnya sudah terbiasa gunakan layanan di atas, banyak yang kemudian meningkatkan level langganannya karena terkait operasional bisnis yang vital. Misalnya adopsi solusi unified communications yang selain menggabungkan fungsi tradisional seperti telepon, mobile VoIP, pesan, dan konferensi, juga lebih terjamin keamanannya.
Di sisi lain, sekira pandemi ini sudah mereda dan aktivitas kembali normal, rasanya kemacetan kronis kota-kota tadi akan kembali menerpa kita. Pusing. Karenanya, masyarakat dan korporasi yang sudah merasakan kehandalan opsi TIK daring, akan lebih bergantung bahkan kecanduan daripada mereka harus habis waktu dan tenaga terjebak kemacetan.
Maka dari itu, menghadapi tatanan dan realitas baru setelah WFH ini, maka seluruh elemen harus memastikan bahwa TIK tetap dalam koridornya sebagai alat berbagi informasi dan akses informasi tanpa hambatan.
Jangan sampai internet malah melenceng dari janji awal kemaslahatannya, yakni membuat masyarakat Indonesia yang sebelumnya sudah cenderung antisosial, malah kian mager (malas gerak) setelah adanya WFH.
Akhir kata, sains-teknologi harus selalu jadi sarana signifikan dalam mengakselerasi kualitas hidup kita menuju masyarakat madani. Bukan malah jadi pendukung selera-gaya hidup serba pragmatis yang lantas mengerucutkan jiwa individualis masyarakat Indonesia secara massif. Aduh!