Mempertanyakan egalitarianisme hukum di Indonesia
*Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
Sebagai akademisi, saya merasa terusik saat sebagian besar pakar dan akademisi yang konon cerdas cendikiawan banyak berdiam. Saat banyak hal yang kurang berkenan dengan hati nurani rakyat dibiarkan terus bergulir, sehingga memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada 21 Mei 2018 kemarin, sebagaian aktivis 98 memperingati 20 tahun Reformasi di Gedung Juang 45 Menteng Jakarta sekaligus mendengarkan orasi Rizal Ramli nyapres. Saat itu, kami bertemu dan bernostalgia dengan aktivis mahasiswa 1998. Saya sebagai dosen ikut menjadi bagian kecil pelaku yang menggerakkan mahasiswa turun ke jalan di Bandung-Jakarta.
Pada peringatan 20 tahun reformasi itu, mereka bertanya pada saya. Dulu saat 1998, bapak sangat keras menyuarakan perubahan, kenapa sekarang tidak terdengar suaranya. Padahal banyak hal tentang kebijakan pemerintah yang perlu dikritisi. Misalnya kasus teroris, pembubaran HTI, kriminalisasi ulama, kemiskinan, pengangguran, naiknya harga BBM, rilis Kemenag 200 penceramah, tenaga kerja asing (TKA), dan berbagai macam permasalahan lainnya.
Tentu pertanyaan ini sangat mengusik, sehingga saya terpancing berkomentar tentang beberapa hal. Misalnya kasus dosen USU Medan, Himma Dewiyana Lubis yang terancam dipecat dan didakwa dengan hukuman lima tahun penjara karena posting di facebook yang menyatakan kasus teroris dan bom di Surabaya adalah pengalihan isu.
Himma ditetapkan melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian dan permusuhan individu/kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini, Himma ditangkap dan sempat pingsan dalam perkara diduga adanya pelanggaran tindak pidana ujaran kebencian.
Pasal tersebut menyebutkan setiap orang dengan sengaja menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Mengenai hal itu, aktivis 98 mengatakan kepada saya tentang berbagai hal. Salah satunya misalnya, dulu saat SBY menjadi Presiden, Pramono Anung sebagai Sekjen PDIP pernah menyatakan isu terorisme mungkin pengalihan isu dan menjadi hal yang mungkin bisa dilakukan siapapun, termasuk yang berkuasa. Videonya viral. Tetapi SBY tidak menangkapnya.
Saat ultah PDIP ke-44, Megawati Seokarno Putri mengatakan, "tidak usah memercayai akhirat karena itu hanya ramalan". Juga Sukmawati Seokarno Putri yang membaca puisi yang dibacakan saat acara "29 Tahun Anne Avantie Berkarya" di Indonesia Fashion Week 2018. Isinya menistakan hijab dan azan saat membandingkanya dengan konde dan kidung. Dari beberapa daerah melaporkannya ke polisi, tetapi sampai sekarang tidak ada kabarnya.
Apalagi kalau dibandingkan dengan kasus penodaan Pancasila oleh Habib Rizieq Shihab, yang walaupun tidak terbukti kasusnya berlarut, bahkan sekarang sudah SP3. Atau kasus yang lain, Dekan ITS, Daniel M Rosyid yang terancam dipecat hanya sekadar berpendapat tentang HTI. Lalu guru besar dari UNDIP Suteki terancam dipecat hanya karena menjadi saksi ahli saat sidang HTI, atau banyak kasus lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu yang sungguh menyesakkan dada saya.
Tetapi masyarakat, media, aparat sangat apatis untuk memberikan kritikan dan saran pada kepolisian dan pihak terkait, bahwa ini akan menjadi masalah besar jika dibiarkan.
Saya kenal betul Joko Widodo orang baik. Tetapi saya menyangsikan orang-orang ring terdekat dan para pejabat yang terlalu 'baper' dengan semua isu yang ada. Termasuk #2019GantiPresiden dan lagu #2019GantiPresiden. Menurut banyak sumber, justru tindakan beberapa menteri dan pejabat tersebut menurunkan tren elektabilitas Jokowi di masyarakat.
Rangkaian di atas terlihat tidak ada asas persamaan di hadapan hukum. Padahal asas di mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan yang sama (proses hukum). Hukum juga menimbulkan persoalan penting dan kompleks tentang kesetaraan, kewajaran, dan keadilan. Kepercayaan pada persamaan di hadapan hukum disebut egalitarianisme hukum.
Harus diingat dalam Pasal 7 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.
Maka dengan demikian, setiap orang harus diperlakukan sama di bawah hukum. Tanpa memandang ras, gender, kebangsaan, warna kulit, etnis, agama, difabel, atau karakteristik lain, tanpa hak istimewa, diskriminasi, atau bias. Konstitusi Indonesia juga dengan tegas memberikan jaminan adanya persamaan kedudukan. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) dimana warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Oleh karena itu, segenap pejabat era Jokowi harus lebih hati-hati dalam bertindak, terutama para menteri tertentu, Kapolri dan para dirjen agar bisa menjaga keutuhan bangsa jangan mempersulit rakyat dan memperkeruh keadaan, jangan membuat rakyat lari dari pemimpinannya.
Ada kiranya semua pihak berfikir arif, mendukung sampai selesai pemerintah Jokowi hingga 2019. Masalah mau diganti atau tidak, tinggal kita sama-sama melihat dan perhatikan kinerjanya sesuai dengan janji atau tidak. Tidak perlu gaduh, jika sesuai lanjutkan, jika tidak sesuai janji, tinggal mencari presiden baru.
Ingat (QS Al-Isra: 34) yang mengingatkan untuk memenuhi janji, karena sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya. Saat jabatan menjadi mesin uang dan jadi Illah (Tuhan)-nya manusia, maka bangsa ini terus dalam ambang bahaya. "Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 28).
Oleh karena itu, mari segenap anak bangsa saling membebaskan kesalahan, saling memaafkan dan saling menasihati dalam kebaikan di bulan Ramadan ini. Insya Allah Indonesia kelak rakyatnya cerdas dan akan menjadi negara kuat.
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A'raf : 199).