Mengapa perang AS-Iran tidak terjadi?
Dunia sempat ketar-ketir ketika AS membunuh Mayor Jenderal Qassem Soleimani yang ditanggapi Iran dengan aksi balasan ke sejumlah situs militer AS di Irak. Banyak pihak meramalkan Perang Dunia III jika kedua negara benar-benar berperang.
Kenyataannya, kedua negara tidak jadi berperang meskipun serangan roket Iran masih berlangsung secara sporadis. Yang lebih mengejutkan, AS tidak terpancing untuk membalas dengan operasi militer secara masif. Dalam pidatonya, Presiden AS Donald Trump justru mengatakan akan menerapkan sanksi ekonomi alih-alih memilih opsi militer kepada Iran.
Pertanyaannya kemudian, mengapa perang antara kedua pihak tidak terjadi? Dari perspektif analisis kebijakan luar negeri, de-eskalasi konflik kedua belah pihak bisa dijelaskan menggunakan tiga sudut pandang, yaitu faktor personal Donald Trump, faktor domestik, dan faktor geopolitik internasional.
Pertama, perang AS-Iran tidak terjadi dikarenakan faktor kepribadian Donald Trump yang sulit ditebak. Reputasi Trump yang cenderung ofensif dan tak berpikir panjang dalam mengeluarkan pernyataan seringkali menjebak opini masyarakat dunia bahwa dia adalah pemimpin megalomaniak yang bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih buruk.
Seperti komentar diplomat China, Chen Wen baru-baru ini yang mengatakan Donald Trump membuat dunia menjadi lebih berbahaya. Dunia juga melihat bagaimana Trump berselisih paham dengan pemimpin Korea Utara Kim Jon-un di media sosial Twitter yang membuat hubungan kedua negara memanas dan memunculkan skenario perang nuklir.
Namun, terlepas dari sifat dan temperamen Trump yang kontroversial, ia adalah pemimpin negara adikuasa yang rasional. Dalam kebijakan luar negeri, Trump lebih memprioritaskan pada keamanan nasional ketimbang memperluas kekuasaan AS atau kebijakan ekspansionisme. Doktrin ‘America first’ bisa ditafsirkan sebagai prioritas Trump untuk lebih memperhatikan isu-isu domestik ketimbang menonjolkan agenda politik luar negeri AS.
Kedua, perang AS-Iran tidak terjadi juga dikarenakan faktor domestik yang memengaruhi kebijakan luar negeri AS. Berbeda dengan rezim Bush yunior yang cenderung didikte oleh kelompok neokonservatif, peran kelompok ini tidak terlampau menonjol di pemerintahan Trump. Pada masa Bush yunior, kelompok ini merupakan arsitek utama Perang Irak 2003. Kelompok ini cenderung menggunakan strategi ‘regime change’ atau mendongkel pemerintahan di negara lain yang dipandang mengancam kepentingan AS dan menggantinya dengan rezim boneka.
Biasanya politik luar negeri AS dikategorikan ke dalam dua kubu, yaitu kubu ‘dovish’ yang identik dengan Partai Demokrat dan kubu ‘hawkish’ yang identik dengan Partai Republik. Kubu ‘dovish’ biasanya lebih suka cara-cara diplomasi dan mengedepankan saluran-saluran multilateral. Sementara kubu ‘hawkish’ cenderung suka cara-cara militer dan unilateralis. Kelompok neokonservatif condong pada kubu ‘hawkish’ ini.
Masalahnya, corak kebijakan luar negeri Trump tidak sesuai dengan kategorisasi itu. Menurut editor majalah National Review Rich Lowry, kebijakan Trump tidak masuk kategori ‘dovish’ maupun ‘hawkish’, melainkan ‘Jacksonian’-- merujuk pada nama presiden AS ketujuh Andrew Jackson--yang cenderung membiarkan dunia seperti apa adanya, kecuali jika ada ancaman kepada AS. Dengan kata lain, AS hanya akan menggunakan pendekatan agresif untuk merespons ancaman eksternal.
Dipecatnya tokoh neokonservatif garis keras John Bolton dari dewan penasihat keamanan nasional menunjukkan ketidakharmonisan relasi Trump-Bolton. Menurut sumber informasi yang beredar, Trump tidak sepakat dengan pendekatan agresif Bolton, baik ketika mendukung invasi AS ke Irak pada 2003 maupun upaya denuklirisasi Korea Utara. Terkait isu terakhir, Trump menolak usulan Bolton yang disebut dengan ‘model Libya’, yaitu memberikan izin kepada pengawas internasional untuk menginspeksi program nuklir negara itu.
Ketiga, perang AS-Iran tidak terjadi karena pertimbangan geopolitik internasional sebagai dampak dari invasi AS ke Iran. Memulai Perang Teluk jilid 4 sama artinya mengundang intervensi negara-negara besar, terutama Rusia. AS tentu belajar dari konflik di Suriah di mana keterlibatan AS dalam upaya menggulingkan rezim Assad justru semakin menguatkan peran Rusia di negara itu. Artinya, perang dengan Iran hanya akan memicu ‘perang proksi’ (proxy war) antara AS dan Rusia.
Kedekatan hubungan antara Iran dan Rusia juga tidak bisa dianggap remeh. Rusia adalah pemasok utama alutsista Iran. Sejak 2007, kedua negara menyepakati kerjasama pengadaan peluru kendali S-300 yang mampu menembak jatuh pesawat musuh dari jarak 195 meter. Pascapemberlakuan embargo militer oleh PBB pada 2010, Rusia menghentikan sementara suplai alutsista ke Iran. Namun pada 2016, Rusia kembali menyuplai misil S-300 ke Iran justru setahun pascakerja sama nuklir atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPA) disepakati di Wina pada 2015.
Meski memungkinkan, keterlibatan Rusia dalam perang Iran jika hal itu terjadi cukup diragukan. Rusia (dan China) jelas berada di belakang Iran dengan memberikan dukungannya di DK PBB. Ketiga negara itu juga telah mengadakan latihan militer bersama di Samudera Hindia dan Teluk Oman sebelum peristiwa pembunuhan Mayor Jenderal Soleimani.
Keterlibatan Rusia kemungkinan hanya bersifat tak langsung, yaitu menyuplai persenjataan bagi Iran jika perang terjadi. Namun, skenario itu cepat-cepat diantisipasi AS dengan tidak menyerang Iran. Bagi AS, risiko yang akan ditanggung AS baik dalam hal keamanan regional Timur Tengah maupun citra AS di mata sekutu-sekutu baratnya terlalu besar jika skenario menyerang Iran benar-benar dilaksanakan.