Terdapat beberapa perdebatan mengenai apakah defisit transaksi berjalan itu baik atau buruk bagi suatu negara. Ghosh dan Ramakrishnan dalam artikel di majalah Finance and Development IMF tahun 2006 mengungkapkan defisit transaksi berjalan itu buruk ketika menunjukkan impor yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor karena menunjukkan masalah tingkat daya saing.
Peningkatan impor berarti meningkatkan kebutuhan valas untuk membayar transaksi sehingga akan meningkatkan harga valas tersebut. Hal ini juga yang menjadi perhatian ketika transaksi berjalan Indonesia melebar di triwulan II-2018.
Kondisi negara-negara emerging market termasuk Indonesia sedang mengalami tekanan global. Setidaknya ada beberapa hal yang menekan perekonomian negara-negara emerging market yaitu kebijakan normalisasi ekonomi Amerika Serikat yang menekan nilai tukar sehingga mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat, peningkatan harga minyak dunia, dan perang dagang. Pelebaran defisit transaksi berjalan di Indonesia karena impor yang meningkat melemahkan daya saing rupiah.
Perkembangan defisit transaksi berjalan
Defisit transaksi berjalan di Indonesia mulai berlangsung sejak 2012. Penyebab utamanya adalah penurunan kinerja transaksi perdagangan barang pada transaksi berjalan. Kinerja transaksi ekspor-impor barang merupakan tumpuan transaksi berjalan karena transaksi jasa dan transaksi pendapatan primer yang selalu mencatatkan angka negatif (defisit) sementara transaksi pendapatan sekunder nilainya relatif lebih rendah meski mempunyai kecenderungan peningkatan setiap tahunnya.
Di 2012, penurunan kinerja transaksi ekpor-impor barang disebabkan mulai terjadinya penurunan nilai ekspor yang diikuti lonjakan impor yang tinggi. Kinerja transaksi barang non-migas masih mengalami surplus meskipun mengalami penurunan, lain halnya dengan migas yang mengalami lonjakan defisit karena impor yang tinggi. Peningkatan defisit transaksi berjalan kemudian berlanjut hingga 2014 dan kemudian berangsur menurun memasuki 2015. Penurunan defisit transaksi berjalan di 2015 terjadi karena perbaikan penurunan impor terutama migas.
Peningkatan defisit transaksi berjalan mulai terjadi lagi di triwulan I-2018 yang berlanjut hingga triwulan III-2018. Peningkatan impor barang dan jasa melonjak terutama di triwulan-III yang diikuti dengan kinerja ekspor yang melambat sehingga puncaknya menyebabkan transaksi berjalan mencatatkan defisit. Secara umum perkembangan defisit transaksi berjalan di 2018 menunjukkan perkembangan yang tidak begitu baik.
Mengatasi defisit
Pemerintah sebenarnya telah melakukan serangkaian upaya untuk mengerem impor, sejak triwulan II-2018 ketika defisit transaksi berjalan menembus angka -3,02%. Upaya yang dilakukan diantaranya adalah dengan membatasi impor barang dan melakukan upaya perluasan penggunaan B20 sebagai upaya mengatasi impor minyak yang membebani neraca perdagangan. Namun upaya ini belum dapat terlihat pada nilai defisit transaksi berjalan yang justru semakin terperosok ke angka -3,37% karena baru dilaksanakan di September 2018.
Upaya perbaikan defisit transaksi berjalan perlu dibarengi dengan upaya perbaikan pada jangka panjang diantaranya dengan peningkatan daya saing dan produktivitas industri manufaktur untuk menggenjot ekspor barang non-migas karena produksi minyak mentah domestik mengalami kecenderungan penurunan terutama memasuki 2018.
Transaksi ekspor-impor barang di triwulan III-2018 menunjukkan bahwa lonjakan barang impor non-migas terjadi pada impor barang konsumsi. Impor barang konsumsi terutama disebabkan oleh peningkatan impor bahan pangan yaitu beras dan buah-buahan (dalam Laporan Neraca Pembayaran-Bank Indonesia).
Hal ini perlu menjadi perhatian ke depannya oleh Pemerintah, kita juga perlu meningkatkan produksi bahan pangan domestik yang tingkat impornya masih tinggi untuk mengurangi ketergantungan impor. Ketidakakuratan data beras menjadi salah satu penyebab tingginya impor beras. Namun perhitungan data yang lebih akurat telah dilakukan oleh BPS beberapa waktu lalu sehingga hal ini dapat menjadi acuan Pemerintah untuk melakukan perencanaan yang lebih matang dalam produksi beras dan manajemen stok beras sehingga impor beras dapat dibatasi dan dapat menekan impor barang konsumsi.