Metafisika bencana dan realisme sains tanggap bencana
Setelah kita membaca buku Guns, Germs & Steel (2013) dan buku Collapse (2014) karya Jared Diamond, lalu membaca buku Sapians (2017) dan terutama buku Homo Deus (2018) karya Yuval Noah Harari, jejak langkah ilmu manusia dalam wujud sains modern, terutama selama tiga abad terakhir, sudah sampai pada penghakiman bahwa apa yang terjadi di muka bumi sebagai bukanlah kehendak kuasa murni Tuhan sebagai azab atas kemurkaannya pada manusia.
Peristiwa gunung meletus, tsunami, banjir, atau kejadian besar yang menggoncangkan alam, hanyalah peristiwa alami di bumi atau alam semesta. Semuanya terjadi sesuai dengan hukum-hukum alam semesta sebagaimana dipahami sains modern.
Betapa sangat besar perbedaan keyakinan antara manusia beriman pada abad pertengahan, dengan modern yang beriman pada sains dalam persepsi mereka terhadap kejadian dan peristiwa alam. Yang satu serba kembali pada kuasa ilahi sebagai penyebab utama (prima causa); yang modern selalu berusaha mengembalikan pada penyebab-penyebab alami.
Memang tidak mudah mengakui perubahan sangat besar nan revolusioner ini. Sampai sekarang dan pada tahun-tahun mendatang, kita masih (akan) tetap mendapati vonis teologis bahwa peristiwa alam yang membawa kerusakan adalah bencana dan azab dari Tuhan.
Semua itu adalah bentuk penghukuman dari Tuhan kepada manusia yang durhaka, penuh dosa, dan berlumur maksiat. Nalar religi mempersepsi bahwa tiap bencana alam adalah hukuman langsung dari Tuhan atas dosa-dosa yang dilakukan manusia di bumi.
Sedangkan nalar sains modern tidak mau bahkan ogah serta merta (taken for granted) membuat kesimpulan lurus bahwa dosa-dosa bisa menjadi penyebab bencana di muka bumi. Sains modern sudah meninggalkan pencarian segala sebab-sebab final/akhir (final causes) sebagai penyebab utama (prima causa). Sebagai ganti, sains modern mencari pencarian sebab-sebab material (material causes) dan sebab-sebab efisien (efficient causes).
Saat terjadi gempa, sebagai misal, pertanyaan yang diajukan sains bukan lagi “mengapa” yang bersifat metafisik tapi “bagaimana” proses terjadi gempa secara realisme. Kita pun diberi tahu bahwa gempa disebabkan oleh bergeraknya lempeng/kerak bumi.
Saat seorang pemabuk tertabrak, sains tidak menghakimi penyebabnya karena minuman itu haram dan mendapat hukuman Tuhan dengan ditertabrakkan, tapi pada zat etanol yang jadi penyebab penurunan kendali kesadaran manusia. Tak ada azab, hukuman atas dosa, dan tanpa murka Tuhan dalam paradigma saintifik modern.
Dari nalar sains modern, kita mengenal bencana alam, tapi bukan murka Tuhan, azab, hukuman berbasis dosa, dan seterusnya. Bagi sains modern, gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, dan seterusnya adalah hanya peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum-hukum alam yang ada di bumi.
Bukan peristiwa teologis ilahiah yang di luar pemahaman dan kendali manusia. Dan tiap kali terjadi korban manusia, sains modern tidak mau melihatnya sebagai hukuman Tuhan, tapi akan melihat pada hukum alam, ulah manusia yang tidak antisipatif, hasil penyelidikan ilmiah yang diabaikan, kebijakan politik-ekonomi yang mengabaikan rekomendasi saintifik, dan seterusnya.
Hampir semua negara modern yang bumi geologisnya punya potensi bencana alam sudah tidak mau memilih pendekatan moralitas-teologis dan lebih memilih pendekatan saintifik modern.
Sejauh pengamatan dan pengetahuan manusia, pendekatan yang direkomendasikan sains modern lebih berhasil meminimalisir korban nyawa manusia dan harta benda. Jepang, sebagai contoh, membuat peraturan tegas perihal konstruksi bangunan yang tahan gempa terutama untuk bangunan publik.
Pemerintah Jepang juga memberikan pelatihan antisipatif di sekolah-sekolah kepada seluruh warganya agar siap dan tahu apa yang bisa dilakukan saat terjadi gempa dan menjelang tsunami.
Indonesia punya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan tidak punya badan teologis penanggulangan bencana. Meskipun akan terjadi bencana, pemimpin Indonesia (juga masyarakat terdidik dalam sains modern) tidak akan meminta memperbaiki akhlak, berdoa, bersabar penuh keikhlasan pada rakyat Indonesia, seraya mengabaikan penyelidikan empiris dan rekomendasi saintifik sebagai bentuk strategi (rekayasa) penyelamatan dan antisipasi bencana alam.
Tentu kita masih bakal tetap bertemu orang yang begitu cerdas-fanatik membuat vonis teologis. Ini akan menjadi beban dan rintangan sosial yang harus dihadapi pemerintah Indonesia (BMKG) dalam menghadapi bencana alam. Selama ini, tampaknya masyarakat masih lebih percaya ucapan mereka daripada pengetahuan sains modern (Kompas, 28/12/2018).
Dualisme pemahaman dan pola pendidikan yang ada di Indonesia, terutama dalam/terhadap sains modern, masih akan menjadi penghalang yang berat dan tinggi. Kita masih akan mendapati rekomendasi sains yang diabaikan pada tahun-tahun mendatang.
Tentu saja yang sungguh sangat penting, seperti tiap agama yang tidak pernah memperbedakan untuk siapa ia ada, adalah bahwa tiap kali terjadi malapetaka kepada manusia, adalah sungguh luhur jika membantunya sebisa dan semampu kita. Apa pun agama atau corak pikir yang dianutnya. Itulah tindakan manusia beragama di atas muka bumi ini.