Mitigasi dan pelembagaan penanggulangan bencana
Merujuk pada Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia. Disebabkan oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Demikian definisi bencana yang disebutkan dalam Undang-undang tersebut.
Adapun jenis bencana yang termuat di dalam UU tersebut, di antaranya adalah bencana alam dan bencana non alam. Namun pada kesempatan ini, lebih memfokuskan pada definisi dan bahasan seputar bencana alam. Yang mana tepatnya pada hari Jumat, tanggal 28 September 2018 lalu, gempa dan tsunami tengah melanda wilayah dan musibah kemanusiaan di Sulawesi Tengah, tepatnya di Palu, Sigi dan Donggala.
Definisi bencana alam menurut UU 24/ 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa dan serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Adapun peristiwa gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah berdasar pada UU tersebut merupakan bencana alam.
Mitigasi dan penanggulangan bencana
Pengertian mitigasi menurut UU 24/ 2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Adapun tahapan dalam penanggulangan bencana terdiri atas:
1. Mitigasi, definisinya seperti disebut di atas. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman hutan bakau (untuk mereduksi dampak
tsunami), reboisasi hutan, serta memberikan penyuluhan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang berdomisili di wilayah rawan gempa. Serta mekanisme early warning systems yang efektif.
2. Kesiapsiagaan seluruh komponen bangsa (masyarakat dan pemerintah) dalam merespons kejadian saat bencana. Tujuannya adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan umum (publik), infrastruktur dan lain-lain, termanifestasi dalam upaya mengurangi tingkat risiko dan pengelolaan sumber daya masyarakat.
3. Respons merupakan upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan oleh bencana. Tahap ini berlangsung saat setelah terjadi bencana (tahapan tanggap darurat bencana). Langkah ini dilakukan adalah dalam rangka fokus
pada pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat bencana.
4. Pemulihan (recovery), yaitu suatu upaya pemulihan kondisi masyarakat paska terjadinya musibah bencana. Adapun upaya-upaya pemulihan berupa pembangunan tempat tinggal sementara bagi korban, serta membangun kembali infratruktur publik yang rusak dalam rangka memulihkan perekonomian dan interaksi sosial masyarakat.
Terbentuknya BRR Aceh-Nias dan BPLS
Rangkaian peristiwa bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias dan semburan lumpur Sidoarjo (Jatim) menjadi catatan sejarah peristiwa kebencanaan di Indonesia.
Gempa dan tsunami Aceh-Nias yang terjadi pada penghujung 2004 lalu telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa ratusan ribu manusia, kerusakan lingkungan dan ekosistem serta triliunan rupiah kerugian harta benda. Pemerintahan SBY yang baru saja berusia dua bulan saat itu sudah diuji dengan adanya musibah tersebut.
Tentu hal ini merupakan ujian yang tidak ringan di saat Pemerintahan SBY tengah berkonsolidasi menyusun rencana program pembangunan kabinetnya. Kenyataan ini harus dihadapi oleh pemerintah saat itu. Proses tanggap darurat, dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Dengan membentuk unit/ satuan kerja dan sistem kendali yang berjalan efektif, proses tanggap darurat bencana berkategori berhasil, yang berujung pada penetapan sebagai bencana nasional untuk Aceh dan Nias (Sumut).
Respons selanjutnya yang dilakukan pemerintah kala itu adalah dengan membuat suatu sistem dan pelembagaan penanganan kebencanaan dengan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Badan ini didirikan pada 16 April 2005, berdasarkan pada Perpu Nomor 2 Tahun 2005. Selanjutnya ditindaklanjuti Presiden SBY dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2005 Tentang Struktur Organisasi dan Mekanisme BRR. Yang mana dalam Perpres tersebut diatur dan dibentuk struktur organisasi yang profesional dan efektif untuk menjalankan tupoksi masing-masing organnya. Dalam Perpres tersebut juga diatur tentang kewajiban dan hak tiap-tiap organ BRR.
Badan ini dikelola secara profesional dan efektif di bawah kendali Kuntoro Mangkusubroto. Sedangkan Dewan Pengarah terdiri atas 17 personel yang dikomandoi Menteri Koordinator, dan terdiri atas 6 Kementerian Teknis, pelibatan unsur pemerintah daerah, akademisi dan tokoh masyarakat. BRR Aceh-Nias ini bertugas selama hampir 4 tahun. Pada 17 April 2009 Presiden SBY membubarkan badan ini.
Sejauh yang diketahui, BRR ini mendapat penilaian positif dan apresiasi dunia internasional atas kinerjanya dalam merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh-Nias paska bencana tsunami melanda wilayah tersebut.
Peristiwa bencana luapan lumpur Sidoarjo, di Kecamatan Porong terjadi pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas ini telah menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian dan perindustrian 3 kecamatan di
Sidoarjo. Kompleksitas masalah pun akhirnya meluas pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sejak terjadinya peristiwa luapan lumpur Sidoarjo, pemerintah merespon cepat dengan membentuk Tim Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (TPLS) yang dipimpin oleh Basuki Hadimuljono (sekarang Menteri PUPR).
Tim ini prioritas bertugas tanggap darurat merespons akibat-akibat yang ditimbulkan oleh luapan lumpur. TPLS bersifat adhoc (sementara) dalam menjalankan tugas selalu berkoordinasi dengan departemen/ kementerian
teknis terkait. Dalam perjalanannya, akhirnya Presiden SBY membentuk badan otonom yang disebut Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.
Badan ini terbentuk dikarenakan kompleksitas masalah dan pendanaan (APBN) yang tidak sedikit tiap tahunnya. BPLS ini kemudian dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2017, dengan dasar hukum Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2017.
Dari dua contoh badan atau lembaga penanggulangan bencana yakni BRR dan BPLS yang dibentuk Pemerintahan SBY, sejatinya dapat dijadikan acuan dan role model pemerintahan sekarang dalam menanggulangi bencana alam yang tengah terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Pengalaman keberhasilan pemerintah sebelumnya, tentunya bukan suatu hal yang 'tabu' untuk dijalankan atau dicontoh oleh pemerintah saat ini guna efektifitas dalam penanggulangan bencana alam.
Tentu pula proses mitigasi, perencanaan program dan anggaran penanggulangan bencana, koordinasi dan sinkronisasi antar instansi (kementerian/ lembaga) harus tetap menjadi concern pemerintah, khususnya penyelamatan korban bencana yang selamat.
Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi perbuatan atau tindakan yang tak 'elok' seperti penjarahan barang-barang di tengah bencana yang terjadi, yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian-kerugian lainnya.