close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ribut Lupiyanto
icon caption
Ribut Lupiyanto
Kolom
Senin, 21 Oktober 2019 20:52

Narasi perdamaian Jokowi-Ma'ruf

Perdamaian yang abadi merupakan cita-cita sekaligus amanat konstitusi.
swipe

Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2014. Tantangan pembangunan bangsa langsung dihadapi dan membutuhkan solusi. Rakyat membebankan banyak harapan ke pundak keduanya. Salah satu tantangan tersebut adalah revitalisasi kehidupan berbangsa yang damai.

Indonesia secara umum berada pada kondisi berkedamaian. Namun riak-riak kecil masih muncul berupa konflik sosial di beberapa tempat. Tantangan perwujudan perdamaian semakin kompleks seiring perkembangan zaman. Keberagaman dan singgungan menjadi keniscayaan. Arus globalisasi tidak mungkin terhindarkan. Terorisme dan radikalisme manjadi momok yang menakutkan.

Konflik berkepanjangan masih melanda banyak negara. Bahkan konon semakin subur seiring kompetisi geoekonomi menguasai lokasi strategis serta geopolitik demi lancarnya tata niaga persenjataan. Spirit perdamaian penting terus digelorakan dalam kancah peradaban global.

Dinamika kebhinekaan
Perdamaian yang abadi merupakan cita-cita sekaligus amanat konstitusi. "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia...”. Demikian bunyi potongan pembukaan UUD 1945.

Ribuan etnis, bahasa, golongan, dan kelompok hidup di Indonesia. Hal ini menjadi potensi sekaligus tantangan bagi khasanah nusantara. Manajemen yang baik akan menguatkan kebangsaan dan berpotensi mengantarkan Indonesia menjadi pemimpin peradaban global.

Faktanya konflik masih menghantui perjalanan bangsa ini. Periode terbanyak adalah 1997-2004, dimana terjadi 3.600 kali konflik dengan jumlah korban 10.000 orang lebih. Data 2014 menunjukan permasalahan konflik yang bersumber oleh poleksosbud berjumlah 68 kasus, perseteruan sara satu kasus, dan sengketa SDA/Lahan 14 kasus. 

Andreas (2017) memaparkan bahwa konflik horizontal lebih dipengaruhi oleh politik penguasa ketimbang faktor etnis atau sara. Berkaitan dengan penyebab sumber konflik disampaikan sedikitnya karena empat hal. Pertama, perbedaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yaitu, pengaturan lahan, hutan, mineral, pasar dan distribusi, bank, kesempatan berkuasa, pengangguran, kemiskinan dan perlindungan politik. Kedua, pengaturan perluasan batas-batas budaya seperti bahasa, pemukiman, simbol publik, upacara publik, pakaian, kesenian, etika dan kebiasaan-kebiasaan daerah. Ketiga, pertentangan ideologi, politik dan agama dimana agama muncul dalam bentuk ideologi atau politik, budaya atau kelompok etnis, atau akses untuk memonopoli ekonomi. Keempat, ketidakberesan penyelenggaraan negara seperti anti demokrasi, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), ketidakadilan, penguasaan alat produksi oleh elit, pelanggaran HAM, tindakan ekstra judicial, privilege (keistimewaan, perlakuan spesial) bagi kaum elite, dan impunitas.

Faktor ketimpangan juga dapat memicu konflik sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka gini ratio pada 2019 mengalami penurunan. Tercatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio sebesar 0,382 di Maret 2019. Angka itu mengalami penurunan 0,002 poin bila dibandingkan dengan gini ratio pada September 2018 yang sebesar 0,384. Meskipun menurun, namun tetap berpotensi menimbulkan konflik.

Narasi perdamaian

Kerawanan konflik menuntut adanya upaya penanganan yang komprehensif dan  sistematis. Penanganan Konflik Sosial menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.

Salah satu konsekuensi yang harus dipenuhi dalam penanganan konflik dan perwujudan perdamaian adalah kerja sama atau sinergi lintas lini. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam fasilitasi dan koordinasi. Banyak institusi telah berdiri dan memiliki tupoksi terkait penanganan konflik, terorisme, dan redikadalisme. Antara lain kementerian sosial, kepolisian, TNI, Densus 88, BNPT, dan lainnya.

Langkah mencapai perdamaian tidak cukup menyelesaikan hilir masalah, namun mesti menyentuh hulu atau akarnya. Dengan demikian butuh kerja sama seluruh institusi, dimana pemerintah mesti memberikan jaminan yang dapat dirasakan semua lapisan.

Kontribusi kerja sama membutuhkan sektor publik. Antara lain ada ormas, lembaga adat atau budaya, LSM, dan  lainnya. Kelompok-kelompok ini yang memiliki basis massa dan berpengaruh terhadap mereka. Elite masing-masing kelompok penting dirangkul dan intens diajak bersinergi. Jalur musyawarah penting diprioritaskan setiap muncul bibit masalah.

Peta jalan yang komprehensif dan sistematis penting dimiliki dan konsisten dijalankan dalam upaya mewujudkan perdamaian abadi. Indonesia mesti berani dan percaya diri tampil terdepan dalam persaturan global. Potensi keberagaman dan pengalaman dalam negeri terkait resolusi konflik dapat ditularkan dan menjadi model percontohan menuju perdamaian dunia.

Narasi menuju Indonesia dan peradaban dunia yang damai mesti menjadi asa dan misi semua pihak. Spirit perdamaian bangsa ini mesti terus dikuatkan. Susah payah pejuang dan pahlawan mencapai kemerdekaan. Tanggung jawab kita adalah mempertahankan dan mengisinya dengan iklim kedamaian dan kemajuan yang membanggakan. Di tangan pemerintahan Jokowi-Makruf, harapan kedamaian dibebankan.

img
Ribut Lupiyanto
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan