close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Muhammad Sufyan Abdurrahman
icon caption
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolom
Rabu, 27 Januari 2021 09:15

Negeri digital yang tak berdaulat

Digital lifestyle ini pula yang membuat warga negeri ini tak lagi identik pemburu premium bagus, tetapi gratisan (freemium).
swipe

Publikasi Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung, menuliskan generasi milenial dan generasi Z di tanah air mendengarkan musik rerata 18 jam per minggu, dengan musik layanan digital mencapai kisaran satu jam per hari. Bahkan, kenaikan penggunaan karaoke di layanan musik digital naik 30%, dengan memutar lebih dari 3.000 lagu karaoke, yang terjadi sejak awal pandemi Maret lalu.

Sebuah layanan ojek daring pada 20 Desember merilis data, yang setelah kita baca, sudah sahih mereka tak lagi sebatas sebuah aplikasi digital. Super apps di dalamnya telah mendigitalisasi 3 juta warung kelontongan, 7.000 titik pasar tradisional, serta 6 juta mitra usaha mikro (naik 1 juta dari 2019) berkat lebih dari 40 solusi digital dalam genggaman. Solusi atas habitual mager/males gerak yang kian mudah ditemukan.

Maka itu, netizen (internet citizen) maupun citizen se-Indonesia demikian nyaring protes manakala sebuah layanan mesin pencari down akibat sistem otentikasi pada 15 Desember lalu. Sekalipun tumbangnya hanya 45 menit, juga pada saat bersamaan tidak ada iuran langganan bulanan, namun kehidupan digital/digital lifestyle sudah demikian lekat di masyarakat.

Digital lifestyle ini pula yang membuat warga negeri ini tak lagi identik pemburu premium bagus, tetapi gratisan (freemium). Corona membuat masyarakat rela berlangganan demi konten berbayar (premium). Hingga pucuk dicinta ulam pun tiba, mulai 1 November lalu 36 perusahaan digital global memungut pajak pertambahan nilai (PPN) 10% kepada masyarakat, mereka antara lain Alibaba, Microsoft, UCweb, dan Alibaba Cloud, dan tak ada resistensi publik.

Merujuk fenomena sosio-tekno tersebut, sedikitnya terdapat dua pemikiran penulis. 

Pertama, contoh perkembangan pesat tersebut sejatinya tetap menempatkan bangsa kita sebagai pasar pengguna sasaran konsumerisme yang empuk.

Sebermula, ada asa menggantung dengan munculnya beberapa super apps buatan anak bangsa. Tetapi kemudian banyak saham mereka terdelusi seiring masuknya investor kakap asing. Sudah bukan satu-dua cerita, tadinya founder sebuah startup sukses, akhirnya menjadi pegawai di sana seiring tergerusnya saham sebagaimana dialami founder e-commerce terbesar Indonesia.

Investor asing ini umumnya sekedar leluasa berusaha di tanah air tanpa memberi nilai tambah lokal yang benefisial. Itu karena penambahan injeksi modal luar tidak diatur maksimal 49% atau takkan pernah menjadi pemegang saham mayoritas.

Berhubung umumnya perusahaan super apps ini go private, maka kepemilikan mayoritas diduga sejak lama sudah bukan lagi dominan merah putih. Dengan kata lain, capital flight yang terjadi sejak lama di operator seluler besar kemungkinan kini terulang!

Kedua, kedaulatan data digital juga masih jauh asap dari panggang. Sebab, seberapa banyakkah industri bisnis digital lifestyle yang sudah menggunakan pusat data di tanah air? Seberapa taatkah terutama pelaku industri TIK global pada regulasi data center? 

Kita tak bisa menutup mata, dan ini sudah berlangsung lama bahkan kerap jadi polemik, bahwa banyak dari mereka, terutama perusahaan over the top/OTT semacam media sosial dan e-commerce yang mayoritas milik asing tadi belum benar-benar menggunakan data center kita.

Kewajiban PP No 82 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik faktanya banyak diabaikan, sehingga efek berantainya terhadap ekonomi negara belum kuat. Tak berlebihan jika kebangkitan sektor TIK di Indonesia masih sebatas permukaan.

Solusi problem

Karenanya, regulator terkait semestinya menjangkau ranah ini bukan hanya dari sisi penetrasi tetapi juga aktif pada pengaturan sekaligus pengawasan secara ketat agar mayoritas saham dari unicorn dan penggunaan data center tetap dalam cakupan NKRI. Masalahnya kemudian adalah regulator terkait yang independen yakni BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) mulai 2021 termasuk lembaga negara yang dibubarkan.

Dengan aplikasi dan fungsi TIK yang masuk seluruh ruang pribadi maupun ruang publik, seluruh kementerian terkait seyogyanya bersikap pro aktif dengan menerawang, memprediksi, untuk kemudian mengatur dengan baik dan adil pada semua kontestasi.

Penulis mendesak regulator mencermati betul hak kedaulatan NKRI dan net neutrality di dalamnya dengan menentukan jelas spesifikasi data off shore (pusat data di luar negeri) melalui pertimbangan utama kerahasiaan negara dan industri.

Jika prinsip dasar ini tidak dilakukan, maka problem digital mutakhir ini akan banyak kita sekedar padamkan (fire fighter) tapi baranya terus memuai. 

Jadilah regulator dengan pendekatan third way dari ilmuwan Anthony Giddens. Konsep ini menitiktekankan penguasan peta masalah secara baik dan benar yakni pihak terkait konflik dipetakan, dampak terprediksi jauh-jauh hari, serta pengambilan keputusan di pucuk pimpinan tertinggi agar subtansi masalah tidak terlanjur meluas.

Posisi regulator ini juga harus ajeg sedari awal, bukan sekedar menentukan sikap setelah terdesak keadaan. Maka, selalu bersikap visioner guna kemudian menentukan titik poros keadilan yang menyeimbangkan benefit nasional dan peran global.

Tingkok bisa jadi contoh baik hal ini. 

Sikap ajeg visioner membuat mereka berani memblokir Google dkk di negerinya, lalu mewajibkan Baidu, Alibaba, dan seterusnya. Hasilnya? Mereka bukan hanya raksasa perdagangan konvensional, tapi kini juga raksasa daring dunia! 

img
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan