Nelayan yang rentan miskin
Nelayan tradisional sebagai kelompok masyarakat yang dominan di wilayah peisisir, memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi terhadap perubahan cuaca. Mereka rentan menjadi miskin akibat perubahan cuaca yang terjadi setiap musim.
Istilah musim panen dan musim paceklik tidak hanya dikenal di kalangan petani, tetapi juga di dikalangan nelayan. Ketika hasil tangkapan berlimpah, nelayan menjadi sejahtera, tetapi ketika tidak ada hasil tangkapan, bahkan biaya melaut lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh, maka nelayan Kembali menjadi miskin. Menurut standar kemiskinan Bank Dunia, seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya di bawah US$1,9 per hari, atau setara Rp775.200 per bulan (kurs Rp13.600).
Karakteristik nelayan
Sebagian besar nelayan di Pantura termasuk nelayan multispecies, atau nelayan yang memiliki kemampuan dan keahlian menangkap semua jenis ikan yang ada di perairan sekitarnya. Sisanya adalah nelayan single species yang hanya menggunakan satu jenis alat tangkap atau hanya spesialis menangkap satu jenis ikan saja. Artinya sebagian besar nelayan pantura menangkap ikan disesuaikan dengan musim lalu kemudian disesuaikan dengan alat tangkap yang compatible.
Ketika musim rajungan, mereka ramai-ramai menangkap rajungan, Ketika musim udang, mereka menggunakan alat tangkap atau jarring udang, Ketika musim tongkol, maka nelayan yang punya alat tangkap tongkol bersiap-siap menangkap tongkol, dan seterusnya.
Ada dua jenis kelompok nelayan yang ada di Pantura, yaitu nelayan melakukan penangkapan secara berkelompok dan nelayan yang melakukan penangkapan secara perorangan. Nelayan yang berkelompok terdiri dari dua sampai 25 orang. Nelayan yang berkelompok umumnya adalah buruh nelayan. Mereka membawa kapal milik juragan (pemilik kapal) setelah dilengkapi dengan perbekalan dan BBM. Setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Begitu juga dengan hasil tangkapan dibagi secara proporsional sesuai dengan peran dan tanggungjawab dalam setiap kegiatan penangkapan.
Nelayan perorangan umumnya adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan seorang diri dan arena penangkapannya tidak jauh dari pesisir. Alat tangkap yang digunakan juga terbatas, sehingga tidak semua jenis ikan bisa ditangkap. Umumnya mereka adalah nelayan sekaligus pemilik kapal, sehingga hasil tangkapannya juga bisa bebas dijual kemana saja mereka mau. Apalagi di lokasi nelayan tersebut tidak tersedia fasiltas Tempat Pelelangan Ikan (TPI), maka hasil tangkapan dijual ke pengepul atau toke setempat, walau harganya sedikit lebih murah dibandingkan dijual di TPI.
Beda halnya dengan nelayan berkelompok, mereka umumnya adalah pekerja yang membawa kapal milik juragan dengan system bagi hasil. Semua biaya operasional (bahan bakar dan perbekalan) ditanggung oleh pemilik kapal. Sebelum bagi hasil, pemilik kapal akan memotong biaya operasional yang sudah dikeluarkan sebelumnya, baru kemudian sisanya dibagi kepada pemilik kapal dan seluruh anak buah kapal (ABK). Jika hasil tangkapan tidak menutupi biaya operasional atau malah tidak dapat ikan satupun, maka mereka tidak diwajibkan mengganti biaya operasional.
Penurunan pendapatan
Selama cuaca masih belum bersahabat seperti saat ini, nelayan umumnya lebih memilih tinggal di rumah daripada melaut. Meskipun harga ikan saat ini secara perlahan mulai merangkak naik menuju harga normal. Dibandingkan dengan harga ikan ketika awal pandemik Corona-19 melanda, harga ikan turun hingga 40% dari harga biasanya untuk semua jenis ikan. Nelayan sempat mengeluhkan rendahnya permintaan ikan, alasannya karena konsumen takut membeli ikan, sehingga berdampak pada rendahnya harga jual ikan. Padahal sumber penularan virus korona tidak hanya dari produk perikanan.
Namun kini, setelah harga ikan mulai normal, bahkan ada yang meningkat, yang dikeluhkan nelayan justru hasil tangkapan nelayan berkurang. Penyebab utamanya menurut nelayan adalah karena cuaca tidak mendukung. Saat ini gelombang tidak menentu, sulit ditebak, sehingga menyulitkan nelayan untuk melaut. Namun bagi nelayan yang merasa sangat butuh uang, mereka nekat melaut meskipun cuaca tidak mendukung. Saat-saat gelombang tinggi sekarang ini adalah musim ikan tengiri mulai banyak, termasuk rajungan.
Menurut informasi dari nelayan sekitar, bahwa rajungan akan mulai naik ketika cuaca buruk atau obak mulai kencang. Rajungan akan lebih mudah ditangkat pakai jaring karena posisi rajungan yang mengambang. Jika pada hari biasa, rajungan ditangkap dengan bubu (perangkap ikan) karena posisi rajungan yang berada di dasar laut. Untuk mendapatkan komoditas tersebut, para nelayan mempertaruhkan nyawa demi memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
Walau tidak jarang mereka yang nekat menerjang ombak, pulang tanpa membawa hasil tangkapan. Bukannya untung, malah rugi kerena biaya yang dikeluarkan setiap kali melaut tidak sedikit. Bagi nelayan dengan kapasitas kapal dua orang atau nelayan harian, biaya BBM dan perbekalan mencapai Rp200.000 per trip. Saat-saat cuaca buruk seperti sekarang ini, asal biaya melaut tertutupi saja sudah syukur, daripada tidak dapat sama sekali. Biaya melaut terkadang ngutang BBM di pangkalan, dan perbekalan lainnya seperti rokok ngutang dulu di warung.
Bagi yang tidak berani menantang kencangnya ombak, mereka lebih memilik tidak melaut dan beralih bekerja pada sektor lain, seperti menjadi buruh bangunan, atau menggarap lahan bagi yang punya lahan, yang penting kebutuhan sehari rumah tangga sehari-hari dapat terpenuhi. Sebagian nelayan ada juga yang mengaku menikmati apapun kondisi yang sedang dihadapi. Kondisi Ini juga adalah kesempatan bagi nelayan untuk memperbaiki alat tangkap rusak dan berkumpul dengan keluarga, bertahan hidup dengan apa adanya sampai cuaca kembali normal.
Pengangguran musiman
Pergantian musim penangkapan ikan saat ini berdampak terhadap siklus fluktuasi ekonomi di kalangan masyarakat pesisir, dan akhirnya akan berdampak terhadap peningkatan jumlah pengangguran musiman. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, pengangguran musiman akan datang. Ketika cuaca di laut tidak bersahabat dengan nelayan, atau yang dikenal dengan istilah musim angin barat atau angin Timur tiba, angin utara atau angin selatan.
Musim ini diiringi dengan gelombang tinggi yang menyebabkan nelayan tidak melaut untuk sementara. Musim ini umumnya dimulai November hingga Februari, bahkan bisa maju dan bisa juga mundur, atau berlangsung selama empat sampai lima bulan. Bahkan ada yang menggunakan dengan tahun baru Cina (imlek) sebagai patokan berakhirnya cuaca buruk. Jika imlek sudah selesai, maka nelayan sudah mulai melaut dengan normal lagi. Pada musim ini, hampir semua semua tidak melaut, dan selama mereka tidak melaut nyaris mereka tidak mendapat penghasilan. Terutama bagi nelayan yang tidak memiliki pekerjaan sampingan sebagai sumber penghasilan.
Selain alasan cuaca, beberapa nelayan mengeluhkan berkurangnya hasil tangkapan pada tahun ini lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata hasil tangkapan tahun-tahun sebelumnya, apakah karena jumlah nelayan yang terus bertambah, atau memang ikan yang di laut sudah mulai berkurang.
Terlebih ketika terjadi peristiwa tumpahan minyak pada 2018, nelayan di sekitar Bekasi, Subang hingga Karawang berhenti total melaut, karena hampir seluruh permukaan laut tempat mereka biasa menangkap ikan tertutup oleh tumpahan minyak.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, beberapa nelayan yang menerima tawaran dari pihak Pertamina untuk bekerja membersihkan tumpahan minyak tersebut. Meskipun semua nelayan yang terdampak diberikan kompensasi secara bertahap. Ada yang terpaksa ikut bekerja karena tidak ada lagi sumber penghasilan yang lain. Ada juga memilih pekerjaan lain yang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
Namun kini setelah kondisi perairan kembali normal, permasalahan lain yang dihadapi nelayan lokal adalah masuknya kapal-kapal yang kapasitasnya lebih besar dangan alat tangkap lebih canggih. Tidak jarang jaring-jaring yang dipasang nelayan lokal, pun ikut tergerus oleh alat tangkap yang lebih canggih tersebut. Kondisi ini turut berdampak terhadap berkurangnya pasokan ikan di pasar akibat menurunnya produktifitas nelayan.
Kondisi ini sangat rentan bagi nelayan kecil yang tidak memiliki tabungan, karena umumnya nelayan tidak memiliki manajemen keuangan yang baik. Ketika musim panen tiba, uang bisa melimpah dan nelayan menjadi sangat konsumtif. Tetapi sebaliknya, ketika musim paceklik, nelayan mulai kesulitan, terlebih mereka yang masih memiliki alternatif pekerjaan lain, tidak hanya untuk biaya konsumsi sehari-hari, tetapi juga untuk biaya sekolah anak-anak mereka dan biaya kebutuhan lainnya.
Berbeda halnya dengan nelayan-nelayan besar atau pemilik kapal, mereka relatif aman dari segala musim karena mereka tidak hanya mengandalkan penghasilan dari hasil tangkapan ikan. Selain memiliki tabungan, mereka menginvestasikan uangnya di sector yang lain. Kecuali para anak buah kapal (ABK) dan nelayan kecil yang hanya mengandalkan pendapatannya dari hasil melaut.
Salah satu solusi paling mudah dan pragmatis untuk mengatasi masalah ekonomi nelayan adalah dengan meminjam kepada pengepul/tengkulak. Dari para pengepul, nelayan dapat meminjam uang berapapun, kapanpun pasti dilayani, dan tanpa bunga (riba). Syaratnya sangat gampang, yaitu nelayan harus menjual ikan hasil tangkapannya kepada mereka, meski harganya sedikit lebih murah dibandingkan dengan harga pasaran. Terlebih di lokasi-lokasi yang tidak ada fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI), nelayan tidak punya pilihan lain untuk menjual ikan kecuali kepada tengkulak. Masing-masing sudah sama-sama mahfum dan tidak ada yang keberatan.
*Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil observasi penulis ke kampung-kampung nelayan dari nelayan di Kepulauan Seribu hingga nelayan di Cirebon Jawa Barat (Pantura) pada pertengahan Desember 2020.