Nilai sportif dan relijiusitas bola
Banyak orang sangat menyukai menyaksikan maupun ikut bermain sepak bola. Tak terkecuali pada ajang akbar Piala Dunia (PD) Bola 2022 di Qatar kali ini, perhatian ratusan juta mata orang tertuju ke sini. Dari sisi ketatanegaraan, Qatar berbentuk monarki konstitusional yang saat ini dipimpin oleh Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad bin Khalifa Al Tsani. Negara ini terletak di Jazirah Arab Arab, Asia Barat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Saudi Arabia dan bagian geografi lainnya berbatasan dengan Teluk Persia.
Bukan kebetulan Qatar yang ditunjuk FIFA jadi tuan rumah PD Bola 2022, tampak mengerahkan kemampuan sebaik mungkin. Buat membangun 8 stadion baru yang megah-futuristik negara kecil berpenduduk sekitar 3 juta jiwa ini merogoh kocek sebesar 155 triliun. Sedangkan total biaya penyelenggaraan PD Bola Qatar disebut-sebut menyentuh 3500 triliun rupiah atau setara dua kali APBN Indonesia. Padahal secara geopolitik, negara pemilik media beken Al-Jazeeraa ini tengah dikucilkan oleh sesama negara Timur Tengah karena dituduh terlalu dekat dengan negara para Mullah, Republik Islam Iran.
Sejak opening ceremony PD, Qatar mampu memberi simpati dunia. Misalnya adegan dialog penyandang difabel tanpa kaki, Ghanim Al Muftah dengan aktor Hollywood Morgan Freeman yang diselingi melantunkan firmanNya: Manusia terbagi menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar bisa saling mengenal--tentu saja termasuk berkompetisi sportif di lapangan hijau bola. Para penduduk Qatar dari anak-anak hingga dewasa, tampak membagi-bagi makanan khas negaranya di jalanan buat para tamu selama hajatan PD 2022 secara mengesankan. Qatar mampu menyuguhkan suasana Islami sejuk serta pertunjukan PD Bola 2022 yang fenomenal dan penuh kejutan bersejarah.
Mengapa permainan bola digemari dari anak-anak, orang dewasa hingga orang-orang lansia laki maupun perempuan? Kita bisa menyelami dari sejumlah sudut pandang. Seperti galibnya pertandingan olahraga, esensi permainan bola juga berporos pada sportifitas tanpa kompromi. Khusus bola, aturan off-side adalah yang paling populer. Keharusan berbagi bola via dribbling, passing, speed berlari dan determinasi assist sangat dituntut kesepuluh pemain, selain menuntut kemampuan antisipasi serta daya refleks sang kiper selaku benteng terakhir. Kartu kuning buat pelanggaran sedang, lalu kartu merah buat pelanggaran akumulasi dan berat serta berujung pengusiran pemain. Khusus pelanggaran para area kotak garis di sekitar titik penalti, biasanya menghasilkan tendangan penalti.
Sistem permainan sepakbola sepertinya tampak sederhana, karena mereka 'hanya' harus mengerti mengapa, kapan dan bagaimana serta siapa saja yang mesti bertahan maupun menyerang. Namun demikian, berangkat dari hal ini saja akan menghasilkan kombinasi strategi permainan menarik. Ada strategi kick and rush yang diwarnai umpan panjang, menyerang, dan duel udara pemain--ini pola khas di Liga Inggris. Ada pola catenaccio (dari bahasa Italia berarti kunci atau gerendel) yang berintikan strategi bertahan dan populer pada dekade 60-an. Lalu kita mengenal juga model tiki-taka (dari bahasa Spanyol, dibaca tiqui-taca) dengan ciri khas umpan-umpan pendek dan pergerakan dinamis. Model ini dikenal di dasawarsa 2000, Piala Dunia 2010 dan Euro 2012.
Oh, ya, jangan lupa dengan strategi total football (dari bahasa Belanda totaalvoetbaal) yang berintikan pada kemampuan bertukar posisi, menyerang dan menekan lawan maupun bertahan. Pola ini 'ditemukan' Rinus Michels. Kemudian belakangan ini, orang mengenal pula taktik gegenpressing atau counter pressing yang esensinya berujud dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya oleh sejumlah pemain sekaligus. Pola ini diperkenalkan oleh mantan pelatih Borussia Dortmund, Jurgen Klopp yang kini melatih Liverpool.
Subtansi lain dari permainan bola yang bermula di Inggris pada 1866, sesungguhnya mengandung pula nilai-nilai relijiusitas yang keren. Misalnya, memerlukan daya berjuang alias ikhtiar keras yang terus-menerus dari menit ke menit. Kerja keras akan berbuah "pahala" bernama goal. Sejumlah pelanggaran "dosa" tiap pemain sedang dan berat pasti dihukum. Seluruh pemain tanpa kecuali, wajib tunduk kepada "tuhan" alias sang wasit pengadil di lapangan hijau. Tak peduli pemain bintang, haram hukumnya bila dia merasa hebat, sombong dan egois selama 90 menit waktu bermain normal maupun saat harus adu penalti.
Jejak relijiusitas bola di lapangan, akhir-akhir ini berimbas bagi sejumlah pemain bintang hingga kiprah pemain di tengah masyarakat. Buktinya, walau bergaji per musim atau per tahun di liga profesional puluhan hingga ratusan miliar rupiah, pemain bintang seperti Sadio Mane asal Senegal, Mo Salah dari Mesir dan Christiano Ronaldo asal Portugal tetap dikenal berjiwa dermawan terutama yang dipersembahkan kepada para warga dan kampung halamannya. Sementara sebagian pemain bintang lainnya mempertontonkan gaya hidup hedon dengan ada yang mengoleksi mobil super mewah dan boleh jadi pula mampu membeli pesawat jet pribadi.
Nilai sportifitas maupun relijiusitas dalam sepak bola untunglah masih jelas terlihat pada PD Bola 2022 di Qatar. Misalnya, negara-negara yang langganan juara, difavoritkan dan langganan finalis seperti Brasil, Jerman, Belanda, Spanyol serta Portugal harus tunduk dan angkat koper lebih awal. Para pemain sekelas Neymar, Ronaldo mesti ikhlas menangis tersedu. Termasuk pemain muda rising star pun harus masih bersabar, seperti antara lain Martineli, Rodrigo (Brasil), Musiala (Jerman), Pedri dan Gavi (Spanyol), Gakpo (Belanda), Joao Felix dan Rafael Leao (Portugal). Di sisi lain, isu yang sempat merecoki sportifitas, yakni tak lain rencana beberapa tim negara memakai armband One Love buat kampanye LGBT. Untunglah pihak FIFA dan Qatar bersikap tegas melarangnya. Tim Jerman menjadi korban 'karma' isu tersebut, karena pada sesi foto terlihat mereka menutup mulut di lapangan sebagai kode protes. Di deretan para penonton, mereka membalas sindiran melakukan kode serupa buat skuad Panzer.
Ekspresi selebrasi pasca gol tercipta sebagai simbol relijiusitas--dengan bersujud di rumput--ditunjukkan oleh para pemain Saudi Arabia, Iran, Tunisia serta Maroko. Terkait hal ini, khusus Maroko satu-satunya wakil Afrika yang mayoritas muslim dan mampu menembus empat besar tinggal dua langkah ke puncak final, beberapa pemainnya memeluk-cium sang ibunda di ujung tribun maupun di lapangan seusai laga pertandingan.