NU berubah: Kenapa dan ke arah mana?
‘Kopi perjalanan’ namanya. Saya tahu itu pasti marketing gimmick. Tetapi toh saya tetap penasaran melihat nama itu di menu sebuah café di rest area Tol Soker (Solo-Kertosono). Karena itu saya tanya pada si barista.
“Kopi perjalanan itu apa Mbak?”
“Kopi pake gula aren,” dia menjawab cepat sambil sibuk menyiapkan kopi.
Ohhh… gula aren. Saya bukan penggemar kopi pake gula. Gimmick itu tak mempan buat saya.
“Americano saja Mbak, satu.” Saya memesan kopi sambil menyodorkan sebuah tumbler. Kalau pakai gelas plastik dari mereka, kopi itu tak akan bertahan lama dalam temperatur yang tepat saat di dalam mobil. Dia akan segera dingin.
“Ok.”
“Tanpa gula ya.” Saya cuma memastikan.
“Ya tanpa gula lah,” tiba-tiba seseorang menimpali di belakang saya. “Tetaplah pada selera yang lurus dan murni.”
Saya pun menoleh –aslinya agak tersinggung ada orang yang menimpali pembicaraan. Tetapi saya segera tertawa melihat bahwa yang komen adalah aktivis ‘NU kultural’ (as opposed to ‘NU struktural’) yang rupanya sedang dalam perjalanan dari arah Surabaya juga.
“Loh, mau ke mana?” saya bertanya.
“Ke Semarang. Rombongan. Itu sudah mau jalan.” Dia menunjuk sebuah mobil Innova. “Cuma karena melihat Mas Gaffar, saya langsung lompat ke sini dulu.”
“Tak pesenin kopi sekalian?”
“Enggak usah. Lanjut aja Mas Gaffar mengopinya. Tetap kopi hitam tanpa gula kan?”
“Always. Istiqamah.”
“Iya, jangan kayak PBNU yang gojak gajek berubah haluan secara politik.” Dia menjawab sambil mengakak, mengajak salaman, lalu bergegas ke arah rombongannya…
Saya ikut mengakak tetapi gemas dalam hati, sebab topik ini seharusnya dibahas lebih lanjut. Tetapi dia malah kacir. Saya pun sibuk berpikir sambil melanjutkan perjalanan, apalagi langit tiba-tiba menumpahkan air dan kegelapan tak lama kemudian. NU berubah haluan secara politik, benarkah?
Tentu saja benar. Sebuah lembaga civil society, NU tak berada dalam ruang hampa. Dia adalah bagian dari jalinan relasi-relasi politik yang sangat dinamis. Lembaga seperti NU harus adaptif agar dia tetap relevan. Sebuah institusi civil society tak mungkin melakukan kunci setang dan mau berjalan lurus tanpa memutar kemudi ke kiri dan ke kanan. Mereka bisa menabrak dan tak lagi bisa bergerak.
Jadi NU pasti berubah dan harus berubah. Itu satu.
Kedua, seperti banyak lembaga, NU punya banyak dimensi dan faksi. Ada keragaman di situ. NU tidak tunggal. Banyak kalangan yang berusaha menampilkan kesan bahwa NU itu tunggal, yakni berisi kalangan Islam yang soft dan moderat. Tetapi itu tidak benar. NU punya ragam. Ada kalangan NU yang mengizinkan adopsi kebiasaan-kebiasaan lokal dalam praktik keberagamaan, ala Sunan Kalijogo. Tetapi ada juga kalangan NU yang lebih puritan dan mendukung keberagamaan yang tak banyak kontaminasi, sebuah sikap teologis yang bersanad ke Sunan Giri, misalnya.
Karena itu, yang disebut sebagai ‘NU’ bisa saja menunjukkan langgam yang berbeda antara satu konteks dengan konteks yang lain; antara satu saat dengan saat yang lain. Yang mungkin tampak sebagai ‘perubahan’ bisa jadi cuma soal highlight, wajah mana yang sedang dimunculkan oleh komunitas NU.
Nah, perihal komunitas ini juga perlu dibahas soal dimensi-dimensi di NU. Seperti kerap ditekankan oleh pengurusnya sendiri, NU itu punya dua dimensi, yakni dimensi komunitas kultural atau yang biasa disebut jemaah, dan ada dimensi keorganisasian/struktural atau biasa disebut jam’iyah. Dua dimensi ini sebenarnya ada di lembaga civil society mana pun. Tetapi di NU pembilahan itu jauh lebih tegas. Perilaku jam’iyah belum tentu sepenuhnya bisa dikendalikan oleh jemaah dan sebaliknya.
Itulah sebabnya bisa ada aktivis NU nonpengurus yang memberikan penilaian bahwa PBNU “gojak gajek berubah haluan secara politik.” Yang dia tidak katakan adalah bahwa pengurus cabang NU bisa lebih gojak gajek lagi, mirip partai politik yang gonta-ganti mitra koalisi dalam menghadapi pilkada.
Jadi kalau NU struktural berubah-ubah preferensi politik elektoralnya, sebenarnya itu adalah perubahan yang agak rutin di jam’iyah. Ada faktor sejarah yang turut menyumbang pada obsesi jam’iyah pada politik electoral.
NU berdiri pada 1926, tanpa tujuan electoral tentu saja. Benih politik representasi mulai dipelihara sejak NU menjadi bagian dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937. Kelak, MIAI akan menjadi fondasi didirikannya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1943. Setelah proklamasi, terbentuk partai politik Masyumi dengan personalia dan organisasi pendukung yang serupa dengan Masyumi 1943. NU ada di situ sampai 1952. Dari 1952 hingga 1973, NU adalah partai politik yang berdiri sendiri, hingga digabungkan ke PPP oleh penguasa Orde Baru. Sejarah NU sebagai parpol atau bagian dari parpol berakhir pada 1984 ketika Gus Dur lewat keputusan kembali ke Khittah 1926, yang dimotori oleh Gus Dur dan KH Ahmad Shiddiq.
Jangan kuatirkan detail data sejarah itu. Mari saya tegaskan argumen utamanya saja. Selama masa kira-kira 37 tahun, NU mematangkan diri dalam kiprah electoral dan representasi, entah sebagai parpol atau bagian dari parpol. Masa panjang itu meninggalkan jejak syahwat electoral dan representasi yang sangat besar dalam watak politik NU.
Salah satu karakternya adalah pragmatisme electoral, serupa dengan parpol. Pragmatisme itulah yang menyebabkan NU struktural selalu tampak berubah-ubah secara politik. Dukungan electoral NU sangat dipengaruhi oleh kesepakatan dan konsesi dengan aktor-aktor electoral.
Tetapi mengatakan bahwa perubahan sikap electoral adalah hal rutin di NU bukan berarti mengatakan bahwa NU tak perlu berubah secara substantif. Menurut saya, NU memerlukan perubahan mendasar untuk turut membuat demokrasi Indonesia menjadi lebih baik. Perubahan mendasar yang harus dilakukan oleh NU serupa dengan perubahan mendasar yang seharusnya dilakukan oleh lembaga-lembaga civil society lainnya.
Perubahan itu adalah mentransformasi diri dari pengawal kepentingan politisi dalam pemilu, menjadi inspirator yang lebih baik bagi masyarakat untuk mengawasi para politisi.
Ini perubahan yang sangat penting. Indonesia tak kekurangan politisi handal. Kita juga tak kekurangan cukong-cukong kaya yang siap memodali para politisi. Parpol-parpol kita juga berbenah terus secara organisatoris. KPU kita aktif mengajak pemilih datang ke TPS, dengan target voters turn-out (VTO) yang sangat tinggi.
Yang masih jauh panggang dari api adalah masyarakat yang bersepakat untuk mengawasi politisi pascapemilu. Sebagian besar masyarakat kita masih memposisikan diri sebagai voters semata. Hingga lewat masa pencoblosan, banyak orang masih sibuk dengan pembelaan atau pencelaan atas politisi. Rakyat sibuk bertikai, politisi asyik berbagi konsesi. Tak ada pengawasan yang substantif dari masyarakat.
Kondisi ini harus diubah. Rakyat kita harus lebih berperan sebagai demos ketimbang voters. Sebagai demos, rakyat akan mengawasi siapa pun yang telah diberinya mandat kekuasaan–bukan malah sibuk membelanya.
Kondisi ini bisa dipercepat, antara lain dengan berubahnya peran lembaga civil society seperti NU. Jadi ke mana NU harus berubah? Ke arah untuk menjadi inspirator demos yang kuat.