Pandangan ulama tentang pengaturan waktu
Salah satu kesalahan terbesar sebuah bangsa adalah melupakan orang-orang terdahulu apalagi yang berjasa bagi negara dan masyarakat luas. Sebagaimana pesan yang kerap diingatkan Bung Karno: “jasmerah” alias jangan lupakan sejarah. Melupakan pahlawan ataupun tokoh yang berkontribusi terhadap republik sama halnya melupakan sejarah itu sendiri.
Saya menulis catatan ringkas ini untuk mengenang guru, dan juga tokoh ulama yang mungkin jarang diketahui publik, yaitu KH.Muhammad Kholilullah (1913-1997).
KH. Muhammad Kholilullah merupakan tokoh ulama termasyur yang kharismatik, tidak suka menonjolkan diri (tawadhu), tetapi memiliki segudang ilmu dan “perkakas” yang mumpuni dalam hidupnya. Ia pejuang intelektual muslim dibuktikan dari karyanya bertajuk “Isyarah Huruf Hijaiyah” (1985-1986) yang pernah ditulisnya, dan juga ikut melawan kolonial Belanda lewat peristiwa Bojongkokosan, Sukabumi pada 1945 dengan cara dakwah maupun pertempuran fisik, termasuk turut serta dalam membendung pergerakan PKI pada1965.
Kepiawaian KH. Muhammad Kholilullah, atau yang biasa disapa Apa Lili secara akademis keislaman terlihat dari metodenya mengkaji secara mendalam huruf-huruf Hijaiyah yang bukan sekedar teori-teori belaka melainkan ternyata secara praktis berfungsi memberikan petunjuk menjalani kehidupan secara baik menurut Islam.
Isyarah huruf “dho”
Bayangkan dengan hanya isyarah huruf ض (dho), ia berhasil menafsirkannya secara komprehensif. Bagi Apa Lili, huruf “dho” bukan hanya sekedar kata. Tetapi tersimpan makna yang dalam. Ia memaknai dho sebagai dhobthul awqaat (ضَبْتُ ٱلأَوْقاَتِ) atau yang diartikan “pengaturan waktu”.
Dari kata “dho” di sini kita bisa menarik kesimpulan sementara bahwa menjalani kehidupan ada tata caranya, kapan harus bekerja, ibadah dan istirahat. Karena sejatinya manusia bukanlah mesin, yang sanggup dipaksa bekerja habis-habisan tanpa henti di mana rohaniah juga perlu diperhatikan dan diberi makan.
Pandangan Apa Lili tersebut sejalan dengan anjuran Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin yang membagi 24 jam untuk dipergunakan ke dalam beberapa fase. Ia menjelasakan delapan jam pertama, ada baiknya digunakan untuk bekerja. Ini sesuai dengan jam kerja di sini yang minimal para pekerja diwajibkan bekerja delapan jam.
Masih menurut Al-Ghazali, delapan jam kedua dirasa baik untuk dipakai untuk istirahat. Karena secara medis memang, waktu pagi tidak dianjurkan dipergunakan untuk tidur di samping tidak cukup baik bagi kesehatan. Untuk tidur, juga tidak disarankan setelah ashar atau sore, maupun maghrib. Setelah isya atau di atas pukul tujuh malam dianggap baik untuk memulai istirahat. Namun, tentu istirahat terlalu berlebihan tentunya tidak baik bagi kesehatan.
Sedangkan, delapan jam ketiga atau terakhir dianggap waktu yang pas untuk beribadah. Bagi umat Islam, dianjurkan untuk menunaikan shalat tahajud atau memperbanyak zikir kepada Tuhan. Sebab sebagaimana sempat disinggung di atas, ruhaniah juga perlu diperhatikan agar qolbu (hati) tidak kering sehingga dapat berpengaruh positif dalam membuat kinerja otak bisa lebih jernih dalam berpikir.
Dari sini, terlihat jelas bahwa Apa Lili punya pembendaharaan akademis yang luas dalam mengkaji sesuatu. Caranya menafsirkan “dho” dengan istilah “dhobthul awqaat” (pengaturan waktu) tampaknya bersumber dari panggilan teologis yang tidak ditemukan di dalam teks-teks sarjana keislaman. Tetapi ia tidak berhenti di situ, ia memetik inspirasi dari pandangan pemikir muslim lainnya seperti dari Imam Al-Ghazali saat menjelaskan mengenai waktu.
Sedangkan dalam kitab Minhaj Al-Muta’allim halaman 86, Al-Ghazali membahas secara sangat rinci mengenai pengelolaan waktu. Dalam sub bab berjudul “Ightinam Al-Waqti” (kewajiban penuntut ilmu) dikatakan:
ويجب على المتعلم: أن يكون مستفيدا فى كلّ وقت, حتّى يحصل له الفضل, وأن يكون معه فى كلّ وقت محبرة, حتّى يكتب ما سمعه من الفواعد.
Bacaan latinnya yakni: “wa yajibu alal muta'allimi : ay yakuna mustafiidan fi kulli waqtin, hatta yahmilu lahul fadhlu, wa ay yakuna ma’ahu fi kulli waqti mahburah, hatta yaktubu maa sami'ahu minal fawaaidi.”
Dan juga dalam bab yang sama tertulis:
و قيل:”أحسن العلم ما يحفظ من أفواه الرّجال , لأنهم يحفظون أحسن ما يسمعون, ويقولون أحسن ما يحفظون”
Yang bacaan latinnya sebagai berikut: “wa qiila : ahasanul ilmi maa yahfudzhu min afwaahir rijaali, liannahum yahfadzhuuna ahsana maa yasma'un, wayaquuluuna ahsana maa yahfadzun.”
Kedua kalimat tersebut terjemahan bebasnya, yaitu kewajiban bagi penuntun ilmu untuk memanfaatkan dengan baik tiap waktu, maka akan menghasilkan suatu keutamaan, dan selalu ada tempat tinta yang menemani penuntut ilmu.
Dalam hal ini ada pula pendapat lain dari ulama, bahwa sebaiknya-baiknya ilmu yang dihafal terutama bagi laki-laki karena mereka penghafal dan pengucap yang baik apa yang mereka dengar dan hafal.
Dalam melihat sesuatu, Apa Lili selalu mempertimbangkan dari berbagai aspek. Ia menempatkan teks sesuai konteksnya, dan tidak sekedar menukilkan sebuah ayat tanpa ada landasan pijakan yang berpotensi mengawang-ngawang. Penjabaran pengaturan waktu tak hanya bersandarkan patokan-patokan syariat semata tetapi juga berfungsi secara taktis di semua sendi-sendi kehidupan baik ranah kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Pesan mendasar pengaturan waktu sesungguhnya mengandung peringatan mengenai pentingnya memanfaaatkan waktu dengan bijak sebagaimana juga anjuran Nabi Muhammad SAW yang secara terang benderang menyatakan: “jangan menyia-nyiakan waktu.”
Hal ini dipertegas oleh firman Allah SWT dalam surah Al-Ashr ayat 1-3 yang berbunyi: “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran (QS. 103: 1-3).
Surat tersebut berbicara anjuran menghargai waktu dan pentingnya kedisplinan jika tak ingin menjadi umat yang merugi. Kata wal ‘ashri merupakan pesan Allah yang mengarah pada urusan waktu (ad-dahri). Menurut para ulama ahli bayan, kondisi ini untuk menerangkan bahwa manusia terpenjara dalam ruang dan waktu yang tak lain adalah kekuasaaan mutlak Allah.
Waktu pun menyimpan rahasia. Pertanyaannya rahasia apa yang terkandung di dalam waktu? Manusia berada di dalam ruang dan waktu itu. Ada kelahiran dan ada kematian. Sedangkan Allah terbebas di dalam ruang dan waktu.
Allah kekal. Sedangkan manusia sementara. Itu sebabnya disebutkan “huwal-awwalu wal-akhiru waz-zaharu wal-batin....,” (Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin...”).
Itulah sebabnya KH.Kholilullah selalu berpesan semasa hidupnya dalam tiap kesempatan di hadapan para santri-santri agar tidak menyia-nyiakan waktu termasuk menggunakan waktu untuk mencari ilmu. Sebagaimana cerita Uztadz Faiq Haedar Ali (cicit Apa Lili), yang mendapatkan wasiat Apa Lili dari cerita ayahnya (Dasep Hendra): “sing kade sep ulah pegat tholab ilmu” (awas jangan sampai putus mencari ilmu).