Pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga -5%, menjelang berakhirnya kuartal III-2020 beberapa indikator sebenarnya menunjukkan perbaikan. Sektor transportasi yang turun paling tajam pada kuartal kedua, mulai meningkat, meski, tentu saja, masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu.
Meski sangat awal, data BPS pada Juni 2020 menunjukkan terjadinya peningkatan penumpang kereta api dan penerbangan domestik masing-masing 69% dan 543% secara month to month (mtm).
Indikasi ini sejalan dengan konsumsi barang tahan lama termasuk motor, yang mulai rebound. Pada Juli, penjualan motor naik 74% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun demikian dengan masih tingginya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia, proses pemulihan ekonomi diprediksi akan berjalan lambat.
Pada kuartal III nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan masih akan berada pada level negatif, sehingga secara teknikal Indonesia akan masuk kategori negara yang terkena resesi.
Kemudian dalam merespons lambatnya proses pemulihan ekonomi tersebut, pemerintah dan DPR mewacanakan untuk mengeluarkan Perppu Reformasi Keuangan. Salah satu tujuan utama Perppu ini agar BI dan OJK lebih responsif dalam mendukung proses pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah.
Namun argumen ini juga tidak tepat, proses pemulihan ekonomi yang lambat bukanlah sepenuhnya kesalahan otoritas keuangan. Sebaliknya, sepanjang pandemi Covid-19 otoritas keuangan telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19.
Bank Indonesia misalnya telah Untuk mendukung stabilitas suku bunga, BI juga menurunkan policy rate BI seven day repo rate (BI7DRR) sebesar 0,75% menjadi 4%. Sekarang GWM menjadi 2% untuk bank konvensional dan 0,5% untuk bank syariah.
Dalam rangka menjadi likuiditas penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) naik menjadi 6% bagi bank konvensional dan 4,5% bagi bank syariah. BI juga telah membuka pintu untuk berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah dalam menanggung ongkos pembiayaan pemulihan ekonomi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menjalankan perannya dalam mengawasi sistem keuangan di tengah pandemi. Pada kasus penyelamatan Bank Bukopin misalnya. Ketika Bank Bukopin mengalami masalah kesulitan likuiditas, OJK memberikan kesempatan yang sama bagi dua pemegang saham utama terbesar yaitu Bosowa dan Kookmin Bank dalam menyuntikan setoran modal baru.
Pada akhirnya, suntikan modal baru dari Kookmin menunjukkan permasalahan bank Bukopin bisa terselesaikan dan menambah prospek positif Bank Bukopin. Lebih jauh, apa yang dilakukan OJK sebagai upaya preventif terjadinya resiko yang lebih besar dalam sistem perbankan nasional.
Tanpa adanya Perppu ini pun, pengawasan sistem keuangan sudah dijalankan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Undang-Undang No 9 tahun 2016 yang mengatur tata cara penyelamatan sistem keuangan.
Sementara pemindahan wewenang pengawasan perbankan kembali ke BI juga belum didasari pada alasan yang kuat, jika memang alasan adalah mendorong proses pemulihan ekonomi, maka alasan ini tidak tepat mengingat OJK telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi. Melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2002 OJK memberikan stimulus bagi perbankan di tengah pandemi seperti sekarang.
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah dan pihak terkait?
Dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan Perppu Reformasi Sistem Keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan Perppu ini. Di sisi lain, alih-alih menyalahkan otoritas tertentu evaluasi komprehensif perlu dilakukan pemerintah dalam mendorong proses pemulihan ekonomi nasional.
Perlu diingat selain sektor keuangan, tanggung jawab pemulihan ekonomi juga berada pada pundak pemerintah dalam bentuk anggaran belanja pemerintah dan juga anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Terakhir yang tidak kalah penting, pemerintah harus tetap fokus untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. Sebab, perkembangan kasus baru akan mempengaruhi kepercayaan konsumen, khususnya kelas menengah atas yang menjadi penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga.
Peningkatan dan penyebaran kasus baru juga akan menghentikan tren optimisme pelaku usaha yang mulai muncul. Langkah lain, program bansos yang cukup besar perlu dipercepat realisasinya untuk menjaga kebutuhan kelompok bawah. (disarikan dari rilis)