Penanganan bus wisata yang belum juga tuntas
Pada prinsipnya, ada empat faktor yang menimbulkan kecelakaan di jalan raya, yaitu faktor manusia, kondisi sarana, kondisi prasarana dan keadaan lingkungan. Tetapi untuk kecelakaan angkutan umum di Indonesia harus dilihat juga faktor manajemen pengelolaannya.
Sejak terjadi kecelakaan bus wisata beruntun tahun lalu di Kawasan Puncak, belum banyak perubahan yang berarti dalam hal keinginan untuk menuntaskan persoalan bus wisata. Masih beroperasi armada bus wisata yang belum di kir, misalnya bus wisata yang mengalami kecelakaan di Jalan Raya Cikidang di Kampung Bantarserang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (8/9) yang memakan korban 21 orang tewas. Bus masuk jurang sedalam 30 meter di ruas jalan dengan lebar 8 meter penuh tikungan dan tanjakan curam.
Keberadaan PO Bus Wisata di daerah juga masih luput dari pengawasan dan pembinaan berkala dari Ditjen Perhubungan Darat. Seperti halnya moda transportasi lain (pesawat udara, kereta, kapal laut) secara berkala dilakukan pemeriksaan dan pengawasan rutin.
Di daerah hampir di setiap provinsi memiliki Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) sebagai kepanjangan wewenang Ditjenhubdat di daerah. Sekarang sudah ada 25 BPTD. BPTD dapat didelegasikan untuk melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap keberadaan PO Bus Wisata, PO Bus Umum dan perusahaan angkutan barang.
Itulah sebabnya publik jangan mudah tergiur dengan tawaran paket wisata murah oleh event organizer (EO). Publik harus cermat, bukan murahnya saja yang dipilih, melainkan kendaraan yang digunakan apakah juga memenuhi syarat keselamatan. Khusus untuk bus wisata dapat dilihat di website Kementerian Perhubungan.
Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, EO yang biasanya dipilih sebagai penyelenggara kegiatan oleh pihak pemberi kegiatan, juga dapat dikenakan sanksi. Karena memilih kendaraan umum yang sudah kadaluarsa uji laik kendaraan (kir) untuk mengangkut penumpang. Operator yang mengabaikan kewajibannya melakukan kir kendaraannya setiap enam bulan sekali, tentunya juga harus diberikan sanksi.
Pengemudi tidak bisa serta merta disalahkan. Apalagi pengemudi tidak mendapatkan gaji tetap bulanan. Manajemen perusahaan bus juga harus bertanggungjawab jika ditemukan pengelolaan yang salah.
Sudah ada SPM Angkutan Umum, yakni, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 10 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan. Namun dalam realisasinya belum dilakukan pemeriksaan secara rutin terhadap perusahaan angkutan umum yang masih beroperasi.
Inspektur keselamatan baru tahap bimbingan teknis untuk disiapkan selanjutnya melakukan secara berkala pemeriksaan dan pengawasan perusahaan bus dan perusahaan angkutan barang.
Ada masalah UU Pemda
Diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menempatkan perhubungan bukan sebagai urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketentraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat dan sosial). Akan tetapi sebagai urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar.
Hal ini berdampak pada keberlangsungan organisasi dan besaran alokasi anggaranyang diterima Dinas Perhubungan. Jarang sekali ada pemda yang mau mengalokasikan di atas 3% dari APBDnya buat kegiatan di Dishub, kecuali Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot. Surakarta.
Anggaran yang minim menyebabkan belanja untuk kebutuhan rambu dan marka jalan-jalan wewenang pemda saja tidak mencukupi. Apalagi harus mendikusikan persoalan keselamatan. Tidak heran jika di daerah, Dishub diidentikkan dengan dinas sumber PAD bukan sebagai pelayanan publik.
Belum lagi bicara kompetensi Kadishub yang juga masih menjadi persoalan di daerah. Selama tidak ada perubahan mendasar terhadap UU Pemda tersebut, rasanya sulit untuk mengurangi angka kecelakaan. Ada korelasi antara UU Pemda dengan cara menurunkan angka kecelakaan di daerah.
Anggaran minim
Di tataran Kemenhub juga demikian. Anggaran untuk Ditjenhubdat masih minim dibandingkan dengan Ditjen yang lain. Pada 2018 Ditjen Perhubungan Darat hanya Rp 4,58 triliun, sedangkan Ditjen Perkeretaapian Rp 17,29 triliun, Ditjen Perhubungan Laut Rp 11,6 triliun dan Ditjen Perhubungan Udara Rp 9,14 triliun. Padahal urusan Ditjen Perbungan Darat seluruh Indonesia. Mobilisasi orang dan barang banyak dilakukan di darat ketimbang moda lain.
Untuk menurunkan angka kecelakaan dan menaikkan angka keselamatan diperlukan anggaran yang memadai. Anggaran yang minim tidak bisa berharap banyak untuk mengurangi angka kecelakaan di Indonesia. Tidak sekedar kampanye keselamatan, akan tetapi perlu pengawasan rutin terhadap operator angkutan umum, penyiapan inspektur keselamatan, pendidikan berlalu lintas sejak dini. Menambah anggaran Ditjen Perhubungan Darat khususnya keselamatan mutlak dilakukan
Perlu koordinasi
Untuk mengurangi kecelakaan, Kemenhub harus bekerjasama dengan kementerian dan lembaga yang lain. Kerjasama untuk menuntaskan agar kecelakaan serupa tidak berulang. Minimal ada kerjasama antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian. Data base bus wisata yang sudah dibangun Ditjenhubdat harus disosialisasikan segera ke seluruh stake holder.
Jika perlu belajar dengan Malaysia yang sudah memiliki MIROS (Malaysian Institute of Road Safety Research), yaitu, institusi setingkat eselon 1 di bawah Kementerian Transportasi, mempunyai wewenang cukup besar dalam hal memberikan rekomendasi yang menyangkut keselamatan lalu lintas. Instansi di luar Kementerian Transportasi wajib melaksanakan rekomendasi dari MIROS itu.
Tidak seperti halnya rekomendasi yang dihasilkan KNKT tergantung dari pimpinan masing-masing instansi yang diberi rekomendasi. Mau dilaksanakan atau diabaikan, tidak ada sanksi yang diberikan. Akibatnya, angka kecelakaan lalu lintas tidak pernah turun. Konyolnya lagi terjadi di lokasi yang sama berulang-ulang.
Aktivitas pariwisata di Indonesia sedang meningkat, harus pula diiringi penyediaan fasilitas transportasi wisata yang berkeselamatan. Penanganan bus wisata harus tuntas supaya tidak terulang kejadian kecelakaan lalu lintas.