Pengentasan kemiskinan berjalan lamban
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan memang sudah mengalami penurunan. Namun pergerakannya dari tahun ke tahun sangat lamban. Kelambanan dalam mengatasi kemiskinan terlihat dari data BPS 2010 ke 2017.
Kemiskinan pada Tahun 2010 tercatat 13,33% atau 31.02 juta jiwa. Pada September 2011 tercatat 12,36% atau 30,01 juta jiwa. Pada September 2013 tercatat 11,46% atau 28,6 juta jiwa. Pada September 2014, 10,96% atau 27,73 juta jiwa.
Pada Maret 2017, BPS mencatat kemiskinan Indonesia adalah 10,64% atau sekitar 27,7 juta jiwa. Pada September 2017 mencapai 26,58 juta orang atau 10,12% dari jumlah penduduk.
Kalau merujuk pada survei Oxfam, kondisinya semakin mengenaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 2000 sampai 2016 melesat sekitar 5%. Tapi kondisi itu tidak sebanding dengan penurunan tingkat kemiskinan yang terlihat sangat lambat. Dengan menggunakan kategori orang miskin dari Bank Dunia, sebanyak 93 juta penduduk Indonesia saat ini masih hidup dalam garis kemiskinan.
Padahal pemerintah, terutama masa pemerintahan Jokowi telah mengeluarkankan ratusan triliun untuk pengentasan kemiskinan. Untuk tahun 2018 ini, pemerintahan Jokowi, akan menggelontorkan Rp292 triliun untuk program penanggulangan kemiskinan.
Faktor penyebab
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, hambatan terbesar pelaksanaan program pengentasan kemiskinan adalah belum adanya koordinasi antara Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Masing-masing K/L enggan bekerja sama.
Selain itu, ada soal lain yang juga mendasar yang luput ditangani secara baik, khususnya oleh pemerintahan Jokowi. Selama ini kemiskinan berasal dari sektor bahan makanan, perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Kemudian disusul oleh harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik.
Lalu aspek yang juga paling berpengaruh adalah kemampuan pemerintah dalam melakukan pengendalian harga kebutuhan pokok. Kinerja pemerintah dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok seperti beras, cabai, bawang, minyak goreng dan bahan pangan lainnya akan mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengatasi angka kemiskinan.
Gambaran tersebut menunjukkan, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan belum terintegrasi dengan baik, termasuk di masa pemerintahan Jokowi. Keadaan ini merupakan dampak dari lemahnya kepemimpinan dalam mengarahkan kebijakan, lembaga dan program untuk tujuan pengentasan kemiskinan di pemerintahan Jokowi.
Selain itu, pemerintahan Jokowi tidak belajar dari kegagalan pengentasan kemiskinan yang sudah berjalan sebelumnya. Bahkan cenderung mengulangi kesalahan yang sama. Kebijakan bantuan sosial, yang sudah dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya, masih diadopsi oleh Jokowi. Padahal berbagai program bantuan sosial tersebut tidak berpengaruh banyak dalam mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Presiden selaku kepala pemerintahan, seharusnya bisa mengupayakan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan berjalan secara terintegrasi. Bahkan bisa memaksa K/L melalui politik anggaran yang diarahkan secara efektif untuk mengatasi kemiskinan. Namun semua ini tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Tahun ini, pemerintahan Jokowi, mengalokasikan anggaran penanggulangan kemiskinan terdiri dari subsidi Rp161 triliun. Kemudian Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga Rp 17,3 triliun, dan Program Indonesia Pintar Rp10,8 triliun. Kemudian alokasi dana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk masyarakat miskin Rp25,5 triliun, bantuan pangan Rp13,5 triliun, program bidik misi Rp 4,1 triliun, dan dana desa Rp 60 triliun.
Alokasi anggaran pemerintahan Jokowi untuk pengentasan kemiskinan itu kelihatan tersebar dan parsial. Dampaknya tentu tidak bisa diharapkan untuk mengakselerasi pengentasan kemiskinan yang masih berjalan lambat. Sementara dana yang dialokasikan untuk tujuan pengentasan kemiskinan jumlahnya sangat besar, Rp292 triliun.
Sepertinya alokasi tersebut tidak membawa pengaruh besar pada penduduk miskin Indonesia. Kalaupun ada, pengaruhnya akan kecil dan tidak bertahan lama. Fluktuasi kemiskinan masih akan terjadi dengan kecenderungan meningkatnya jumlah orang miskin.
Dengan kondisi tersebut, program pengentasan kemiskinan di masa pemerintahan Jokowi bisa dikatakan tidak berhasil. Kegagalan itu merepresentasikan ketidakmampuan dalam menggerakkan K/L di pemerintahan. Kemudian gagal memanfaatkan dana yang besar untuk tujuan pengentasan kemiskinan. Kegagalan yang paling rentan adalah menjaga stabilitas bahan pangan yang dampaknya cukup berpengaruh pada kemiskinan.
Evaluasi kebijakan
Dengan anggaran pengentasan kemiskinan sebesar Rp292 triliun, dari 27,77 juta orang miskin, setiap orang mendapat alokasi sekira Rp10,5 juta. Nominal yang cukup untuk membuat pengentasan kemiskinan bisa berdampak pada penguatan perekonomian nasional.
Presiden Jokowi, sebagai kepala pemerintahan, harus mengevaluasi kebijakan dan program pengentasan kemiskinan. Setiap K/L diharuskan untuk mengintegrasikan program pengentasan kemiskinan dengan target penguatan ekonomi nasional.
Dengan evaluasi tersebut kebijakan pengentasan kemiskinan bisa terintegrasi dengan penguatan perekonomian nasional. Bukan hanya sekedar alokasi anggaran yang manfaatnya tidak begitu berarti bagi pengentasan kemiskinan. Keberhasilan pengentasan kemiskinan harus bisa berdampak jangka panjang dan sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat.