Pentingnya startup mengelola dana perusahaan sedini mungkin
Bagi generasi baby boomers atau mereka yang lahir di rentan tahun lebih dari1960 pasti kerap merasakan gap antara terbatasnya akses teknologi, informasi dan komunikasi dalam menunjang kebutuhan aktivitas sehari-hari.
Kehadiran berbagai perusahaan rintisan berbasis aplikasi dan digital yang digawangi oleh kelompok kaum milenial mampu menjembatani gap keterbatasan akses tersebut. Startup alias perusahaan rintisan memang sedang menjadi tren di berbagai negara termasuk Indonesia.
Kisah sukses yang datang dari berbagai tokoh milenial perintisnya seperti Mark Zuckerberg, Evan Spiegel, Jan Koum, David Karp menjadi salah satu pemicunya. Pun para perintis tiga startup “unicorn” di Indonesia, William Tanuwijaya, Nadiem Makarim, dan Ferry Unardi yang sukses menyandang gelar CEO dengan valuasi perusahaan rintisannya mencapai di atas $1 miliar. Fenomena ini lantas menjadi momok kesuksesan yang sangat menggiurkan bagi banyak milenial yang kini beramai-ramai ingin mendirikan startup dan menjadi sukses di usia muda.
Namun, perlu dicatat, membangun perusahaan rintisan tentu bukanlah perkara yang mudah. Milenial sebagai generasi yang mendominasi dalam pembagian kue bisnis rintisan ini memiliki karakter yang unik. Mereka seringkali terlalu fokus dan berorientasi pada inovasi untuk membangun produk dan pasar sehingga tak jarang melupakan urusan finansial. Padahal penganggaran merupakan salah satu elemen yang penting dilakukan sejak awal startup berdiri dan pengelolaan finansial yang baik akan berdampak pada keberlanjutan bisnis startup.
Hal yang banyak dilakukan guna menyelamatkan eksistensi startup adalah dengan menarik simpati para investor atau venture capitalist. Kisah sukses para startup “unicorn” di Indonesia sangat berpengaruh untuk menghidupkan ekosistem startup Indonesia yang melibatkan peranan investor baik lokal maupun asing. Hasil riset Google Indonesia dan AT Kearney pada 2017 menyebutkan investasi startup di Indonesia sudah mencapai Rp40 triliun dan angka pada Januari-Agustus 2017 tumbuh 68 kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Amerika tercatat masih mendominasi besaran investasi startup dengan adanya kiblat startup global, Silicon Valley yang mencetak nama perusahaan teknologi tersohor seperti Google dan Apple. Namun, Asia menjadi wilayah yang menduduki porsi terbesar kedua dalam angka investasi startup dengan total $225 miliar. Hal ini tentunya membawa angin segar bagi para pelaku startup di Indonesia, terlebih Indonesia merupakan wilayah dengan pertumbuhan valuasi paling tinggi.
Hasil riset Google Indonesia dan AT Kearney juga merilis hingga saat ini porsi layanan startup masih didominasi oleh dua industri utama yaitu e-commerce mencapai hingga 58% dan transportasi mencapai 38%. Namun demikian, jumlah aliran modal dari investor bagi startup-startup kategori lain nilainya kian meningkat. Sebagai contoh, investasi besar di kategori lain dalam beberapa tahun ke belakang yang biasanya di angka $500 juta, kini sudah bisa menembus angka $1 miliar untuk sekali investasi.
Pertumbuhan pengguna serta perkembangan teknologi dan internet di Indonesia merupakan salah satu alasan investor asing tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Tingginya minat para venture capitalist dalam membelanjakan investasi bagi startup diprediksi akan menjadi tren dengan nilai investasi yang semakin tak terbayangkan. Lantas, banjir modal yang dihadapi para startup Indonesia ini menjadi tantangan yang cukup krusial dalam strategi pengembangan sebuah perusahaan rintisan. Pasalnya, faktor pengelolaan finansial menjadi kunci dalam kesuksesan perusahaan.
Itulah sebabnya ada baiknya para pelaku startup di Indonesia semakin pintar dan jeli dalam mengelola finansial perusahaan mereka. Pelaku startup dituntut untuk semakin siap mampu mengelola dana perusahaan sesuai dengan skala prioritas demi memastikan startup memiliki kemampuan finansial yang berkelanjutan sejak dini, tak terkecuali bagi baby startup yang masih memiliki akses permodalan terbatas.
Berikut beberapa hal yang patut diperhatikan startup dalam proses fase pendanaan,
1. Jangan terpaku pada persentase kepemilikan
Memiliki persentase terbesar kepemilikan perusahaan tentu menjadi cita-cita sebagian besar para founder startup. Namun, sebagai perusahaan rintisan pasti memerlukan dukungan pihak luar untuk mengembangkan bisnisnya. Kehadiran investor yang tepat dapat menjadi peluang besar bagi startup untuk memaksimalkan keberlanjutan bisnisnya, termasuk ekspansi pasar, memperkuat human resources, memperluas jaringan, dan lainnya. Cobalah untuk tidak selalu menjadikan persentase kepemilikan perusahaan sebagai prioritas dalam mengembangkan bisnis, karena pada akhirnya, memiliki 20% dari perusahaan senilai $100 juta, akan lebih baik dari 60% dari perusahaan senilai $10.
2. Matangkan tolok ukur
Layaknya pada perusahaan umumnya, startup juga membutuhkan waktu untuk mengembangkan bisnis dan memiliki target pertumbuhan. Tolok ukur yang realistis akan membatu startup menjadi bernilai di mata investor. Tolok ukur yang dimiliki startup akan menjadi panduan bagi investor dalam menilai pencapaian dan kemajuan startup. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang matang dalam menentukan tolok ukur, sebab jika terlalu tinggi, startup akan kesulitan untuk mencapainya dan jika terlalu rendah, pencapaiannya tidak akan bernilai lebih di mata investor
3. Pahami keterlibatan investor
Ketika ingin menentukan komitmen dengan investor tertentu, menjadi sebuah tantangan bagi startup. Startup dituntut untuk dapat memahami terlebih dahulu sejauh apa keterlibatan investor dalam bisnisnya kelak. Dalam investasi, terdapat beberapa pendekatan yang sering digunakan oleh para investor. Ada investor yang mengadopsi filosofi investasi tranche (tranche adalah kata Prancis yang berarti bagian atau potongan).
Investor tersebut menginvestasikan jumlah tertentu dan merilis dana tersebut secara bertahap karena perusahaan telah mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya. Pendekatan ini membuat investor tersebut secara aktif terlibat dalam setiap investasi dan berdedikasi untuk membantu para founder startup mencapai tujuan mereka.
Beberapa investor juga ada yang mengadopsi metode one-and-done, dimana mereka menginvestasikan semua uang di muka. Meskipun metode pertama tampak lebih menarik, namun jenis struktur dana biasanya datang dengan nilai valuasi yang lebih ramping dan parameter yang lebih ketat dalam hal pengembalian moda dan pembagian keuntungan.
Peran lembaga pengelola dana perusahaan atau biasa disebut wealth management juga dinilai dapat menjadi salah satu solusi dalam mengelola serta memaksimalkan keuangan dan permodalan bagi startup secara efisien, terutama bagi mereka para founder startup yang berasal dari latar belakang IT atau engineer yang masih asing dalam hal pengelolaan keuangan.