Perlukan revisi UU ITE bagi humas?
Wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus bergulir, manakala praktisi hubungan masyarakat (humas) terutama di pemerintahan sebenarnya terus alami dua situasi yang terjadi menahun. Karena sudah demikian eksisting, maka muncul pertanyaan: Seberapa penting revisi UU tersebut bagi unsur kehumasan?
Pertama, humas melalui berbagai saluran komunikasi, terutama di media sosial, pada beberapa tahun terakhir sudah “kenyang” mengalami berbagai kritik, saran, keluhan, pertanyaan, dan terutama komplain dengan cara jauh dari santun.
Warga internet (internet netizen), yang kemudian kerap disebut Netizen +62, sudah sering kita temukan tiada lagi keadaban sebagai Bangsa Timur saat menuliskan opininya secara online -hal yang takkan seberani itu jika dilakukan secara luring (offline).
Afirmasi kondisi tersebut kemudian ditunjukkan hasil survei tahunan Microsoft pada 25 Februari kepada 16.000 responden. Bertajuk Digital Civility Index, Netizen +62 menjadi warga paling tidak tidak beradab se-Asia Tenggara saat berinteraksi di dunia maya.
Didominasi oleh polah laku berita bohong dan penipuan (47%), ujaran kebencian (27%), dan diskriminasi (13%), kesantunan di dunia maya kita tertinggal jauh dari Singapura, Taiwan, dan Australia dan hanya lebih baik dari Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan.
Merujuk data yang dihimpun periode 2015-2020, sekalipun banyak dirisak dan peroleh perlakuan kasar dari warga internet, hanya satu-dua kejadian saja praktisi humas di Indonesia melaporkan akun media sosial hingga kemudian diproses pidana.
Contohnya seperti yang dilakukan sebuah BUMN kepada @triomacan karena menyebarkan utas berita fitnah nirdata di Twitter pada 2015 lalu. Selebihnya, sekalipun caci maki diterima, terutama di kolom komentar media sosial akun resmi, humas pemerintahan tetap menjaga sikap dan mayoritas menjawab kata dengan kata, serta membalas data dengan data. Perbedaan pikiran tak membuat “sumbu” cepat meledak untuk gampang melapor ke polisi.
Kedua, keamanan laman dan data digital institusi pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebetulnya tidak kokoh. Padahal, laman adalah etalase utama kinerja humas ketika digitalisasi kian menyeruak dalam kehidupan masyarakat.
Data terbaru menunjukkan adanya tindak retas oleh remaja 16 tahun per 19 Februari lalu pada basis data daring milik Kejaksaan Agung, yang menjual nama, alamat email, hingga riwayat perkara para jaksa yang valid sebesar 500 megabit seharga Rp400.000!
Sebelumnya, hacker pada 2019 juga berhasil membajak laman Kementerian Dalam Negeri hingga merubah tampilan homepage-nya. Tahun lalu, akun @underthebreach juga menawarkan data 2,3 juta DPT (daftar pemilih tetap) yang diklaim hasil retasan dari laman KPU.
Survei Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung menunjukkan, merujuk parameter TER (Threat Exposure Rate), Indonesia adalah yang terawan diserang cyber attack sebesar 23,54% diikuti Tiongkok 21,26%, Thailand (20,78%), Filiphina (19,81%), dst.
Kondisi kedua
Dengan demikian, dalam hemat penulis, yang justru lebih mendesak untuk praktisi kehumasan lakukan saat ini adalah memitigasi resiko serangan siber pada saluran komunikasi digital miliknya terutama yang sistemnya dibangun dan dikelola sendiri seperti laman dan pusat data digital. Revisi UU ITE bukan berarti tidak penting, namun sejauh ini kiranya lebih utama meneruskan pendekatan yang sudah dilakukan selama ini yang terbukti tidak memperdalam segregasi sosial bangsa ini.
Mitigasi resiko pada etalase saluran komunikasi publik humas adalah kolaborasi dengan lembaga pemerintah yang bertugas pada bidang itu yakni Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), khususnya perluasan penerapan ISO 27001 tentang Sistem Manajemen Keamanan Informasi.
Interaksi divisi/departemen humas pemerintahan dengan BSSN ditujukan guna menelisik dan mencari celah keamanan laman oleh pihak independen namun masih sesama unsur pemerintahan, sehingga konfidensial dan tindak lanjut perbaikan masih bisa dijaga bersama.
Simultan, praktisi humas pun yang awam teknis programming sewajarnya meningkatkan koordinasi dengan divisi teknologi informasi di instasinya agar keduanya bersama membangun spesifikasi yang sesuai standar global ISO 27001.
Ketentuan akan perangkat keras, perangkat lunak, perlakuan terhadap komputer dan server, hingga kebijakan penerapan terus diperbaiki bersama sehingga kolaborasi dengan BSSN bisa lebih efektif dikerjakan.
Revisi UU ITE kiranya lebih memadai bagi kalangan kehumasan sekira sifatnya lebih pada wacana penerapan keadilan restoratif, bukan menuntut perubahan pada penekanan pasal tertentu agar tak lagi orang kritis/komplain ke humas pemerintahan.
Keadilan restoratif mendorong sekiranya ada kasus yang benar-benar tak bisa ditolerir humas pemerintahan, maka penyelesaian tindak pidana melibatkan pelaku dan kalangan humas sebagai korban guna bersama mencari penyelesaian adil dengan mengedepankan pemulihan kembali keadaan semula. Hukum bukanlah sarana pembalasan sebagaimana sudah banyak dipertontonkan para pendengung dan kelompok segresi politik selama ini, sengkarut pecinta dan pembenci fanatis terus terjadi di negeri ini. Enough is enough!
Humas selayaknya menjadi suri tauladan manakala konflik terjadi. Bagaimanapun, profesi humas adalah pekerjaan yang justru menuntut dirinya mau dan mampu berelasi secara baik dan berkesinambungan kepada seluruh pemangku-nya