close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suroto
icon caption
Suroto
Kolom
Minggu, 09 Oktober 2022 11:45

Perusahaan sebagai organisasi politik

Oligarki atau Plutogarki di republik ini memang sudah sangat buruk.
swipe

Pandangan awam, organisasi politik selama ini selalu diidentikkan dengan partai politik. Padahal partai politik adalah hanya salah satunya. Selain organisasi masyarakat ( Ormas), lembaga swadaya masyarakat ( LSM), salah satu dan yang justru memiliki pengaruh yang sangat kuat adalah perusahaan.

Pengaruh perusahaan dan terutama korporat kapitalis saat ini bahkan telah mampu mengkooptasi negara maupun pemerintah. Mereka mampu membuat regulasi dan kebijakan negara seperti yang mereka kehendaki. Diarahkan demi semata mata kepentingan bagi pengerukan keuntungan pribadi dan kelompoknya.  

Orang awam secara terbuka sering mengatakan, seorang kandidat Presiden, Gubernur, Bupati, anggota parlemen dan lain lain itu bisa terpilih karena mereka didukung oleh seorang " bohir", pemilik perusahaan besar atau konglomerat. 

Kita tidak dapat menutup mata bahwa kenyataan lapangan membuktikan bagaimana perusahaan multinasional ataupun nasional itu memiliki pengaruh yang sangat kuat di dalam menentukan kebijakan negara. 

Organisasi politik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai organisasi yang melibatkan diri dan membuat daya dukung dalam proses politik, apakah itu melakukan aktifitas advokasi, lobi, kampanye yang  bertujuan untuk mencapai tujuan politik untuk keuntungan anggotanya, baik secara imaterial maupun material. Perusahaan perusahaan konglomerasi kapitalis di Indonesia baik secara terbuka maupun tertutup telah melakukan aktifitas ini. 

Dalam konteks politik, perusahaan di negara kapitalis pusat seperti sebut saja Amerika Serikat memiliki perbedaan yang mendasar dengan model perusahaan di negara penganut paham kapitalis pinggiran seperti misalnya Indonesia. Di negara kapitalis pusat, dikarenakan basis kewirausahaannya didasari perkembanganya oleh semangat reka cipta ( inventing), maka  mereka berkembang dan berusaha mempengaruhi  kebijakan negara. 

Berbeda dengan di negara Indonesia, sebagaimana ditulis oleh Kunio Yoshihara, para pengusaha atau perusahaan di Indonesia itu diciptakan untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan. Sehingga menurutnya para kapitalis di Indonesia masuk dalam ketegori sebagai kapitalis palsu ( ersatz capitalism).  

Pada jaman Orde Baru, dulu orang menyebut para kapitalis  yang saat ini telah berkuasa dan menjadi elit politik dan elit kaya di republik ini, dikatakan sebagai " pengusaha jaket kuning". Sebab mereka menjadi kaya karena kebijakan pemerintah yang dikonotasikan dengan warna kuning atau mungkin warna dari Partai Golkar yang di masa Orde Baru menjadi partai pemerintah. 

Para elit politik yang menjadi elit kaya yang berkuasa saat ini, sebut saja sebagai kelompok oligarki, adalah para pengusaha yang tidak hanya telah mencuri keuntungan dari kekuasaan. Mereka itu telah merusak tatanan sosial dan ekonomi nasional karena menyediakan diri menjadi agen para kapitalis pusat. Mereka membawa masuk kepentingan asing dalam sistem birokrasi dan megeras bersama sisa sisa feodalisme yang belum selesai sampai hari ini. 

Kekuasaan Perusahaan

Memang, kekuasaan dalam rezim penganut demokrasi liberal ala Anglo Amerika seperti Indonesia, dimana pemahaman demokrasinya hanya sebatas pengertian hak politik minus hak ekonomi, maka sulit diharapkan akan lahir kepemimpinan yang benar benar visioner dan demokratis atau rakyat menjadi benar benar menjadi berdaulat. Sebab hukumnya sudah pasti, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu hanya lahirkan rezim anti demokrasi atau kuasa menjadi jatuh ke tangan plutogarki, yaitu kuasa di tangan hasil kawin mawin para oligarki atau elit politik dan elit kaya atau plutokrat.  

Kekuasaan demikian lahir karena  demokrasi politik yang dimenangkan dalam kontestasi berkat sokongan para bohir akhirnya posisikan negara menjadi sub ordinat terhadap kepentingan korporasi atau konglomerasi kapitalis. Kekuatanya lalu tak hanya mengkooptasi negara namun juga masyarakat. Kepentingan masyarakat banyak ( bonum commune) lenyap karena dikalahkan oleh kekuatan uang, modal finansial. 

Kekuasaan presiden misalnya, tidak mutlak dalam pemerintahan. Ini terbukti dalam banyak kasus masalah besar yang menyangkut mafia kartel pangan misalnya, sulit untuk diatasi. Hukumnya dalam tentukan kebijakan adalah selalu apa yang baik untuk perusahaan besar atau konglomerat adalah dianggap yang baik juga untuk masyarakat. 

Oligarki atau Plutogarki di republik ini memang sudah sangat buruk. Bukan hanya telah menjadikan kualitas regulasi dan kebijakan kita rusak dimana mana, namun juga telah menyebabkan kesenjangan nyata secara sosial ekonomi. Dalam banyak kasus bahkan ketika masyarakat telah memenangkan kasus di pengadilan atas sengketa dengan  perusahaan kapitalis juga tetap saja diterabas. Sebut saja misalnya Kasus Tambang Di Kendeng, Sangihe, dan lain lain. 

Menurut Laporan Suissie Credit Institute, lembaga riset internasional yang merilis secara rutin masalah kesenjangan kepemilikan kekayaan, Indonesia sudah masuk dalam kategori yang sangat buruk. Menurut laporan mereka ( 2021), tingkat rasio gini kekayaannya ada dalam angka 0, 77. 

Angka kesenjangan tersebut diikuti dengan penjelasan yang mengagetkan karena jika dibandingkan dengan rata rata dunia tingkat kedalamanya sangat jauh sekali. Orang dewasa Indonesia itu 83 persennya kekayaanya di hanya di bawah 150 juta rupiah. Sementara rata rata dunia hanya 58 persen. Sementara mereka yang kekayaanya di atas 1.5 milyar rupiah itu hanya 1.1 persen. Sementara rata rata dunia itu sudah 10.6 persen. Terlalu senjang dan dalam sekali tingkat kedalaman kesenjanganya. 

Perusahaan perusahaan korporat kapitalis itu telah sangat berkuasa. Mereka menjadi terlalu kuat dan bahkan telah menundukkan kekuasaan negara yang diatur dengan konstitusi yang syah. 

Kikis Plutogarki

Hari ini, isu untuk melakukan perlawanan terhadap oligarki memang menyeruak di tanah air. Bahkan untuk menghindarkan inusiasi atau tuduhan jahat terhadap mereka, para oligarki itu juga turut berpidatol secara lantang untuk lakukan perlawanan terhadap oligarki. 

Namun melihat aksi aksi kampanye di lapangan yang terjadi, sepertinya oligarki ini tidak mendapatkan perlawanan serius. Ini terbukti kampanye terus berjalan, namun kejahatan korporasi secara vulgar tetap terjadi dimana mana. 

Sebagaimana kita pahami, sumber masalah dari kuasa oligarki itu adalah perusahaan. Melalui instrumen perusahaan lalu oligarki itu menjadi sangat kuat. Untuk itu jalan satu satunya yang sangat penting adalah mengintervensinya melalui regulasi perusahaan. Hal penting itu adalah demokratisasi perusahaan. 

Beberapa poin penting untuk ini adalah perlunya dilakukan tuntutan secara besar besaran perlunya dilakukan demokratisasi perusahaan. Seperti misalnya pembagian saham untuk buruh dari perusahaan ( employee share ownership plan / ESOP,  pembatasan rasio gaji dari jabatan tertinggi dan terendah di perusahaan, demokratisasi BUMN dengan alihkan kepemilikan sahamnya langsung kepada rakyat, dan banyak lagi. Tanpa ini semua maka, jangan pernah mimpi oligarki akan dapat kita keluarkan dari mimpi buruk kita, sebab jantung dari kekuatan politik mereka adalah konlomerasi perusahaan perusahaan kapitalis mereka. 

Jakarta, 8 Oktober 2022

SUROTO
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES)

img
Suroto
Kolomnis
img
R. Nida Sopiah
Kolomnis
img
Suroto
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan