Pilkada era next normal
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diteken Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020.
Perppu tersebut merespons kondisi pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang merebak di masa persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Dengan Perppu tersebut pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada September 2020, mundur menjadi Rabu, 9 Desember 2020. Perpanjangan masa persiapan seyogianya dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan baik, dan tidak ada perpanjangan kembali hingga 2021.
Hal mengkhawatirkan jika KPU tidak siap dan gagal melaksanakan Pilkada pada 2020, dua hal bisa saja mengemuka. Pertama, potensi realokasi anggaran pilkada ke peruntukan penanganan pandemik Covid19, di mana pembagian anggaran tersebut sejak awal telah ditetapkan masing-masing. Jika terjadi realokasi, maka akan sulit melakukan pengawasan penyalahgunaan kekuasaan atas politik anggaran tersebut.
Konsekuensi pertama ini cenderung menguntungkan kontestan pilkada dari kubu petahana. Keleluasaan mengatur dan mendistribusikan anggaran realokasi dalam bentuk penanganan, cenderung rawan terjadi penyelewengan. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang melarang penyertaan identitas kontestasn pilkada, di seluruh proses penanganan, –terutama yang berkaitan dengan bantuan sosial— agar tidak memunculkan motif kampanye terselubung.
Kedua, proses regenerasi politik terhambat. Padahal, pilkada merupakan momentum evaluasi pembangunan daerah, publik memiliki hak atas kepastian kepemimpinan sesuai waktunya. Kepemimpinan kepala daerah hasil pilkada berbeda dengan kepemimpinan administratif yang dipilih berdasarkan penunjukan. Untuk itu, pilkada menjadi momentum penting bagi publik untuk memilih pemimpin yang paling diinginkan.
Untuk itu, pelaksanaan pilkada semestinya dapat tetap dilakukan meskipun dalam kondisi pandemi. Tentu dengan syarat pelaksanaannya, yakni pemenuhan protokol kesehatan sesuai dengan rekomendasi para ahli dan stakeholder relevan. Terlebih, konteks hari ini tentu berbeda dengan era konvensional yang segala sesuatu masih memerlukan interaksi tata muka. KPU harus adaptatif, tidak dapat hanya mengandalkan cara-cara konvensional sementara kondisi berubah.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diteken Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020.
Perppu tersebut merespons kondisi pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang merebak di masa persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Dengan Perppu tersebut pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada September 2020, mundur menjadi Rabu, 9 Desember 2020. Perpanjangan masa persiapan seyogianya dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan baik, dan tidak ada perpanjangan kembali hingga 2021.
Hal mengkhawatirkan jika KPU tidak siap dan gagal melaksanakan Pilkada pada 2020, dua hal bisa saja mengemuka. Pertama, potensi realokasi anggaran pilkada ke peruntukan penanganan pandemik Covid19, di mana pembagian anggaran tersebut sejak awal telah ditetapkan masing-masing. Jika terjadi realokasi, maka akan sulit melakukan pengawasan penyalahgunaan kekuasaan atas politik anggaran tersebut.
Konsekuensi pertama ini cenderung menguntungkan kontestan pilkada dari kubu petahana. Keleluasaan mengatur dan mendistribusikan anggaran realokasi dalam bentuk penanganan, cenderung rawan terjadi penyelewengan. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang melarang penyertaan identitas kontestasn pilkada, di seluruh proses penanganan, –terutama yang berkaitan dengan bantuan sosial— agar tidak memunculkan motif kampanye terselubung.
Kedua, proses regenerasi politik terhambat. Padahal, pilkada merupakan momentum evaluasi pembangunan daerah, publik memiliki hak atas kepastian kepemimpinan sesuai waktunya. Kepemimpinan kepala daerah hasil pilkada berbeda dengan kepemimpinan administratif yang dipilih berdasarkan penunjukan. Untuk itu, pilkada menjadi momentum penting bagi publik untuk memilih pemimpin yang paling diinginkan.
Untuk itu, pelaksanaan pilkada semestinya dapat tetap dilakukan meskipun dalam kondisi pandemi. Tentu dengan syarat pelaksanaannya, yakni pemenuhan protokol kesehatan sesuai dengan rekomendasi para ahli dan stakeholder relevan. Terlebih, konteks hari ini tentu berbeda dengan era konvensional yang segala sesuatu masih memerlukan interaksi tata muka. KPU harus adaptatif, tidak dapat hanya mengandalkan cara-cara konvensional sementara kondisi berubah.
Benchmarking
Tidak dapat dihindari jika pandemi Covid-19 berimbas pada banyak bidang, termasuk penundaan Pilkada Serentak 2020. Kementerian Dalam Negeri cukup bijak mengambil keputusan dengan menunda hari pelaksanaan yang tetap di tahun 2020. Dengan kebijakan tersebut, KPU memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan kondisi.
Dalam catatan The International Institute for Democracy and Election Assistance (IIDEA), hingga Mei 2020 setidaknya ada 49 negara dan wilayah yang menunda pelaksanaan pemilihan, baik pemilihan skala nasional maupun daerah. Meskipun demikian, menunda pilkada bukanlah hal bijak, terlebih pilkada merupakan momentum regenerasi politik yang seyogyanya tetap digelar dengan segala konsekuensinya.
Adakah negara yang dapat dijadikan pembelajaran (benchamrking)? Tentu ada. Pertama, Australia berhasil melaksanakan pemungutan suara Local Government Quadrennial untuk memilih Wali Kota dan 77 anggota dewan Queensland. Dalam kronologis pandemik, sehari sebelum pemungutan pada 27 Maret 2020, tercatat ada 62 kasus baru Covid-19 yang terkonfirmasi di Queensland, dan hingga tanggal pemungutan suara terdapat 555 kasus Covid-19 terkonfirmasi.
Kedua, pemungutan suara parlemen untuk Korea Selatan, sehari sebelum pemungutan suara pada 14 April 2020, kasus terkonfirmasi Covid-19 di Korea Selatan mencapai 10.564, termasuk di dalamnya data meninggal dunia sebanyak 222. Kondisi ini menjadi gambaran, jika pilkada masih sangat mungkin dilaksanakan dengan kondisi di tengah pandemi. Baik Australia maupun Korea Selatan, tidak mengabarkan adanya penambahan kasus signifikan sejak digelarnya pemilihan.
KPU harus memahami mengapa pilkada menjadi ritual politik yang harus tepat waktu. Hal ini karena dari proses Pilkada itulah nasib warga negara dipertaruhkan, juga karena berkaitan dengan performa pembangunan, sekaligus kepemimpinan politik di daerah.
The next normal
Sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, KPU mendapat sorotan sangat tajam, terutama terkait platform hitungan teknologi informasi Situng, yang bahkan hingga hari ini tidak memiliki kesimpulan.
Membaca kondisi itu, sebenarnya mudah menerka jika KPU memang tidak memiliki kapasitas beradaptasi dengan teknologi informasi. Itulah sebabnya, begitu menghadapai pandemi, KPU dengan mudah berdalih untuk menunda tahapan-tahapan pilkada karena tidak memiliki cara alternative dalam bekerja.
Kini, pemerintah membuka wacana memasuki era baru, para elit menyebut dengan the new normal. Istilah ini terdengar asing, selain baru bagi implementasi kehidupan sosial, juga karena konsep the new normal belum memiliki pedoman yang jelas dan sistematis, baik dalam tataran sosiostruktural maupun infrastruktural.
Sosiostruktural merujuk pada kesiapan individu menjalani kehidupan dengan protokol baru, pengurangan interaksi tatap muka, mandiri, dan tidak terikat pada hal-hal fisik lainnya, dan itu untuk semua katifitas. Sementara infrastruktural berkaitan dengan ketersediaan fasilitas yang memungkinkan individu-individu hidup dalam jejaring sosial. Sebut saja ketersediaan teknologi informasi yang menjadi salah satu penopangnya.
Semestinya, yang diwacanakan pemerintah adalah the next normal, yaitu kehidupan manusia yang beralih dari era masyarakat konvensional menuju masyarakat informasi (information society), dalam publikasi McKinsey (2020) the next normal merupakan tahapan kondisi dunia yang sudah dimulai sejak 1990an, sejalan dengan pemikiran Manuel Castells (1991) dalam tulisannya berjudul The Rise of Network Society, manusia masa depan adalah mereka yang ramah teknologi.
Dengan asumsi itu, adaptasi the next normal bukanlah baru hari ini ketika berhadapan dengan Covid-19, melainkan telah lama deprogram untuk menghadapi dunia yang serba cepat tanpa batas interaksional. Demikian halnya KPU hari ini, semestinya mereka sudah maemasuki dunia Castells, dunia yang tidak memerlukan tatap muka, kalaupun tatap muka diperlukan, itu hanya akan ada dalam tradisi-tradisi sosial, bukan dalam pelaksanaan pilkada.
Sementara ini, karena insfrastruktur teknologi KPU yang belum memungkinkan adanya pilkada berbasis teknologi informasi. Maka cukup dengan mematuhi protokol kesehatan yang direkomendasikan, tanpa ada kerumunan, tanpa ada kampanye terbuka. Dengan demikian, pilkada tetap berjalan, dan warga negara mendapat haknya.