Tidak dapat dipungkiri, bahwa selama ini aparat kepolisian dalam konflik agraria lebih sering berhadap-hadapan dengan masyarakat. Nampaknya, kedudukan Polri sebagai penegak hukum di tengah hukum agraria dan pidana yang secara umum memposisikannya masyarakat pada posisi yang rentan, telah membuat institusi ini mudah vis a vis dengan masyarakat yang lemah.
Terdapat beberapa pola keterlibatan Polri dalam konflik agraria dan berhadapan dengan masyarakat. Pertama, keterlibatan di lapangan sehingga menjadi aktor kekerasan langsung konflik berupa penangkapan, penganiayaan, dan penembakan. Sepanjang 2020, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 239 konflik agraria dan keterlibatan kepolisian dengan serangkaian kekerasan langsung di dalamnya sebanyak 44 kasus.
Kedua, pemidanaan tidak sah yang berpotensi menjadi kriminalisasi. Istilah ini dipakai untuk menunjukkan bahwa aspek pemidanaan kepada masyarakat lebih ditujukan untuk meredam, menakut-nakuti untuk menghilangkan keberanian masyarakat menuntut atas perampasan tanah dan situasi ketidak adilan agraria yang dialami masyarakat.
Pada enam tahun terakhir (2015-2020), terdapat setidaknya 1.269 kasus yang dikategorikan sebagai kriminalisasi kepada masyarakat dan aktivis (KPA: 2020). Tahun lalu saja, di tengah suasana pandemi terdapat setidaknya 134 kasus kriminalisasi. Dalam kasus ini, sangkaan yang kerap dilakukan kepada masyarakat adalah pidana dengan menggunakan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan sebanyak 40 kasus, KUH-Pidana 34 kasus dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) 7 kasus, dan sisanya terkait pidana Prp No. 51/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, UU Kehutanan, UU Konservasi SDA Hayati, dan UU Minerba.
Pola ketiga adalah pemidanaan atas kejadian konflik agraria tanpa usaha lanjutan menjangkau penyidikan akar masalah letupan konflik agraria. Pada kasus semacam ini, setelah jatuh korban peristiwa konflik agraria, aspek pidana dari konflik segera ditindaklanjuti seperti perusakan, penganiayaan, dll. Namun, akar masalah utama konflik agraria seperti penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin atau hak yang berakibat pada perampasan tanah masyarakat tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Sehingga, letupan konflik agraria setiap saat masih berpotensi meledak kembali di lokasi yang sama jika mendapatkan momentumnya.
Langkah perbaikan
Dari ketiga pola ini, memperlihatkan bahwa penting dalam jangka pendek ini untuk segera memperbaiki prosedur standar kepolisian melalui Peraturan Kapolri, dan membentuk Direktorat khusus konflik agraria sehingga lebih terukur dalam menangani aksi dan proses penyelesaian konflik agraria. Perbaikan ini membutuhkan peningkatan pemahaman tentang penyebab konflik, jenis konflik, dan mutasi sosial konflik agrarian dan sekaligus memahami relasi kuasa petani, masyarakat adat dan nelayan tradisional yang sangat lemah dalam bingkai besar konflik agraria.
Selanjutnya, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman kepolisian terkait korelasi antara penyelesaian konflik agraria dengan reforma agraria. Sebagai contoh, jika tidak memahami reforma agraria, Telegram Kapolri tentang Reforma Agraria bisa berjalan dalam kerangka yang kontradiktif dengan pelaksanaan reforma agraria. Misalnya, pendekatan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan bersandarkan pada usaha menciptakan pemulihan hak-hak korban dan keadilan redistributif. Sementara, dalam kacamata konvensional, penyelesaian konflik agraria bisa saja sebatas penegakan hukum pidana.
Namun, bukan berarti pendekatan pidana diabaikan. Pendekatan pidana dalam reforma agraria mengharuskan sebuah konflik agraria dilihat dalam sebuah gambar besar yang dimulai dari proses pra-perizinan hingga situasi terbaru di lapangan konflik agraria. Gambaran besar tersebut menjadi dasar bagi pemulihan relasi sosial ekonomi dan hukum di sebuah lokasi konflik.
Selanjutnya adalah kerangka kerja kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Ini sangat penting diambil alih oleh Presiden RI. Sebab Selama ini, kerangka penyelesaian konflik agraria lebih banyak menempatkan kerja sama terbatas diantara lembaga pemerintah saja. Namun, elok jika ke depan Polri memulai melembagakan tradisi bahwa kalangan masyarakat sipil dan pihak korban sebagai pihak yang secara sejajar turut serta menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.