close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Khudori
icon caption
Khudori
Kolom
Senin, 25 Juli 2022 12:33

Reformulasi tata niaga minyak goreng    

Diakui atau tidak, pemerintah selama ini bagaikan orang buta, meraba-raba guna menemukan jurus menjinakan sengkarut minyak goreng.
swipe

Ada dua tujuan utama kala pemerintah mereformulasi tata niaga minyak goreng: ketersediaannya melimpah dan harganya terjangkau oleh masyarakat (umum). Tata ulang dilakukan pemerintah tatkala harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan, melambung tinggi di pasar. Harga minyak goreng naik tinggi sejak September 2021.

Ini terkait kenaikan harga minyak nabati di pasar dunia, termasuk minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng di Indonesia. Sebagai gambaran, Januari 2019 harga CPO masih US$537/ton, tetapi pada Maret 2022 melambung US$1.823/ton (naik 3,4 kali). 

Sebelum beleid satu harga Rp14.000/liter untuk semua jenis minyak goreng pada 19 Januari 2022 (Permendag 3/2022), tata niaga minyak goreng adalah open trade dan open market. Karena bersifat terbuka, apa yang terjadi di pasar dunia langsung ditularkan ke pasar domestik. Ketika harga bahan baku minyak goreng melambung tinggi, harga minyak goreng otomatis juga melompat tinggi. Sepenuhnya berlaku mekanisme pasar. Tak peduli Indonesia produsen dan eksportir sawit dunia nomor wahid. Satu-satunya rem guna memastikan harga (dan pasokan) domestik adalah pajak ekspor. Rem ini tak efektif.

Pemerintah, sebagai pemegang mandat dari negara, mencoba hadir untuk rakyat agar daya beli terhadap minyak goreng terjaga. Lewat Kementerian Perdagangan, aneka jurus diracik sejak Nopember 2021. Tidak kurang belasan jurus dibuat dan dieksekusi. Mulai dari wajib pasok kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO), wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO) CPO dan olein, kebijakan satu harga, subsidi dan BLT minyak goreng, harga eceran tertinggi (HET) hingga pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Namun, semua jurus tampak masih belum cespleng.

Diakui atau tidak, pemerintah selama ini bagaikan orang buta: meraba-raba guna menemukan jurus menjinakan sengkarut minyak goreng. Tampak bagaimana masyarakat jadi kelinci percobaan kebijakan coba-coba, trial and error, dan tidak berbasis evidence. Bukannya tertangani, karut-marut justru kian meruyak. Apalagi, pada awal tata ulang dilakukan pemerintah memborong dua fungsi sekaligus: regulator dan operator. Selain rawan konflik kepentingan, kala kebijakan tak efektif pemerintah jadi sasaran hujatan. 

Di luar itu, ada dua ‘kesalahan’ pemerintah. Pertama, intervensi pasar dengan ‘melawan pasar’. Ini dilakukan dengan memaksa pelaku usaha menjual minyak goreng atau bahan bakunya jauh di bawah harga pasar, bahkan hanya separuh harga pasar. Yang terjadi kemudian adalah ‘harga pemaksaan pemerintah’. Siapa yang mau menjual rugi? Untuk memastikan intervensi pasar berjalan, ditempuh langkah kedua: intervensi nonpasar dengan melibatkan Satgas Pangan. Lewat Satgas, pemerintah berharap aneka perilaku culas bisa ditindak. Masalahnya, mengundang polisi bisa memicu ketidakpastian usaha. Pengusaha yang beriktikad baik bisa terjaring. Juga terbuka peluang pemerasan.

Dua langkah itu meniscayakan pasar gelap (black market). Karena di pasar ada dua harga dengan disparitas tinggi untuk barang yang sama. Misalnya, ketika pemerintah menetapkan CPO DMO Rp9.300/kg pada 1 Februari 2022, CPO di pasar lelang Rp18.000/kg. Kala minyak goreng dipatok dengan HET Rp11.500/liter hingga Rp14.000/liter, harga minyak goreng industri Rp18.000/liter dan di pasar dunia Rp26.000-an/liter. Selain itu, aneka racikan kebijakan pemerintah tersebut mensyaratkan dua hal: data akurat dan pengawasan ketat. Sialnya, kedua hal itu masih belum bisa dipenuhi oleh pemerintah. Ini yang jadi penjelas mengapa aneka moral hazard terjadi: oplos, selundupan, dan lainnya.

Karena itu, kala pintu ekspor minyak goreng dan bahan bakunya kembali dibuka mulai 23 Mei 2022, pertanyaannya: bisakah dua tujuan tata ulang tata niaga minyak goreng bisa diraih? Ketersediaan minyak goreng (kemasan sederhana dan premium) di pasar memang melimpah tetapi harganya tinggi. Khusus minyak goreng curah yang jadi kebijakan terakhir, ketersediaan sudah melampaui kebutuhan kala Presiden Jokowi mengumumkan mencabut setop ekspor minyak goreng dan bahan bakunya, 19 Mei 2022. Akan tetapi harga masih tinggi. Menurut Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag, 22 Juli 2022, harga minyak goreng curah Rp14.800/liter, di atas HET. 

Sebenarnya, dalam tata niaga sawit Indonesia memiliki kebijakan sapu jagat: kombinasi pajak ekspor dan pungutan ekspor (levy) dipadu dengan hilirisasi dan mandatori biodiesel. Seiring kenaikan harga CPO dan produk turunanya, pemerintah lewat Menteri Keuangan menaikkan batas atas levy. Dengan cara ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit berpeluang meraih pemasukan lebih tinggi. Lewat bea keluar, negara juga memperoleh pendapatan untuk membiayai jaring pengaman sosial. 

Untuk memastikan pasokan minyak goreng domestik dengan harga terjangkau, pemerintah bisa menaik-turunkan pajak ekspor. Dengan cara ini insentif pelaku usaha untuk memasok minyak goreng ke pasar domestik lebih tinggi ketimbang mengekspor. Pada saat yang sama, upaya stabilisasi pasokan dan harga minyak goreng domestik tidak harus bertentangan dengan hilirasi dan mandatori biodiesel. Lebih dari itu, intervensi ini merupakan langkah yang ramah pasar dan diyakini tidak akan membuat pasar kacau. Beleid setop ekspor harus dihindari karena kerugian bagi perekonomian jauh lebih besar.  

Bersamaan dengan itu, pemerintah harus mengurai masalah struktural di industri sawit. Pertama, mengintegrasikan industri minyak goreng dengan produsen CPO. Saat ini, kurang 10 dari 74 pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan kebun. Kedua, efisiensi rantai pasok. Saat ini, 45 (60,8%) pabrik minyak goreng sawit ada di Jawa (BPS, 2021). Padahal, Jawa bukan produsen sawit. Ini yang membuat margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41%. Ketiga, menyehatkan pasar. Menurut KPPU, saat ini ada 4 grup produsen raksasa minyak goreng menguasai 46,5% pasar. Mereka menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini mereka leluasa mendikte pasar. Jika tiga masalah struktural ini bisa diurai, instabilitas pasokan dan harga minyak goreng bisa diredam karena pasar sehat.

img
Khudori
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan