Industri sektor properti memiliki keterkaitan dengan 170 usaha lainnya. Lihat saja, ketika ada orang yang membeli rumah. Pasti mereka akan mengupayakan membeli perabotan, saniter maupun alat pembersih baru. Tidak heran kalau industri sektor properti kerap menjadi salah satu indikasi dari membaiknya perekonomian suatu negara.
Perkembangan industri properti juga memiliki kaitan erat dengan sektor perbankan. Dimana sekitar 90% dari masyarakat yang membeli properti mempergunakan jasa perbankan. Tidak heran kalau kenaikan suku bunga acuan akan mempengaruhi kemampuan masyarakat membiayai cicilan pembelian rumah atau membeli properti.
Itulah sebabnya, relaksasi yang dilakukan Bank Indonesia terhadap sektor properti menjadi hal yang penting untuk meningkatkan industri ini. Pemberlakuan uang muka 0% terhadap rumah pertama dan 10-20% terhadap rumah kedua yang akan diterapkan Bank Indonesia pada Agustus diharapkan bisa mengerek industri properti. Apalagi mereka yang membeli sektor properti bukan hanya pengguna, tetapi juga investor.
Tetapi tentunya kebijakan relaksasi juga harus diiringi dengan hal lainnya. Khususnya pada bidang perpajakan dan perizinan. Perpajakan misalnya, dalam prosesnya ada indikasi overlapping ke arah hukum yang membuat proses pembangunan proyek properti menjadi terhambat. Hal nyaris serupa juga dialami pengembang pada saat mengurus perizinan.
Tidak heran kalau proses proyek properti yang seharusnya bisa dilakukan dalam dua tahun bisa molor menjadi lebih dari itu. Itu jelas membuat industri sektor ini menjadi kurang kondusif. Padahal dalam kondisi seperti sekarang, semua sumber daya harus digerakkan dengan cepat agar pertumbuhan ekonomi berjalan seperti yang diharapkan.
Di sisi lain, kebijakan pengenaan DP 0% juga berpotensi disalahgunakan oknum pengembang nonanggota REI untuk memperoleh keuntungan sesaat. Oleh karena itu, ada baiknya masyarakat tidak mudah tergiur adanya tawaran membeli properti dengan DP 0%. Ada baiknya, terlebih dahulu meneliti latar belakang pengembang tersebut.
Kebijakan relaksasi tentunya menjadi angin segar bagi pelaku industri properti. Khususnya, pascadikeluarkannya kebijakan mengenai tingkat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, serta terjadinya tren pelemahan daya beli masyarakat. Tetapi, ada baiknya Bank Indonesia tidak terus menaikkan tingkat suku bunga acuan terus-menerus.
Apalagi ada kecenderungan, selama The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan, Bank Indonesia berpotensi melakukan hal yang sama. Ditambah, jika nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS terus melemah.
Pertanyaannya, sampai kapan hal itu terus terjadi?
Kalau itu terus dilakukan, efektifitas kebijakan relaksasi menjadi berkurang. Apalagi kenaikan suku bunga acuan berpotensi memukul perkembangan industri properti, bahkan seluruh industri di tanah air.
Industri properti di sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura sudah terpukul akibat kebijakan The Fed menaikkan suku bunga acuan. Indonesia mungkin juga akan merasakan pukulan yang sama. Namun, kemungkinan tidak dalam waktu dekat. Oleh karena itu, perlu ada antisipasi lebih nyata dari pemerintah ataupun Bank Indonesia.
Salah satunya, mungkin Pemerintah, Bank Dunia dan IMF bersama-sama meminta kepada Amerika Serikat untuk tidak terus menaikkan suku bunga acuannya. Jika dilakukan bersama-sama, tentunya akan memiliki posisi tawar yang jauh lebih baik, bila dibandingkan dilakukan sendiri-sendiri.
Seluruh dunia harus meyakinkan Amerika Serikat kalau kebijakan menaikkan suku bunga acuannya berpotensi menimbulkan krisis global. Seperti yang pernah terjadi pada 2008, dimana perekonomian di banyak negara mengalami pelemahan akibat kondisi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat.
Jika berhasil dilakukan, tentunya akan menyelamatkan perekonomian dunia. Mengingat pada saat ini, perekonomian dunia sudah semakin terbuka. Perdagangan internasional dilakukan oleh satu negara dengan negara lainnya dengan bebas sesuai kepentingan masing-masing.