Negara, ya rakyat (bangsa, wilayah, pemerintah yang sah, pengakuan internasional), adanya mata uang Rupiah yang sah.
Proklamasi 17 Agustus 1945 semestinya redistribusi kekayaan negara untuk kemakmuran dan kebahagian rakyat. Proklamasi harusnya mata uang Rupiah bernilai dan bermartabat. Tanpa daulat uang sendiri, tak ada redistribusi kekayaan. Itulah ultima negara merdeka. Itulah puncak-puncak kemerdekaan suatu negara.
Apakah Presiden Prabowo Subianto mampu merealisasikan tujuan kemerdekaan Republik Indonesia? Yuk, mari kita tunggu praktik nyatanya.
Sejarah uang kita merupakan simbol perjuangan untuk rakyat, alat tukar, alat perang, identitas diri/negara, alat ukur kekayaan dan representasi persatuan bangsa dari keberagaman budaya nusantara.
Tetapi, yang terjadi kini sebaliknya. Sungguh kita dibuat malu karena Rupiah kita justru menjajah rakyat sendiri. Rupiah makin lemah, tak bertenaga, lungkrah tak bergairah.
Memang, pemerintahan lama melihat depresiasi Rupiah (kehancuran uang kita) yang dahsyat dijawab dengan program cinta Rupiah. Harapannya ada tiga: Pertama, menimbulkan rasa memiliki dan mencintai bangsa dengan mengingat para pahlawan. Kedua, bangga bahwa Rupiah pernah mendapat penghargaan sebagai uang terbaik di dunia sisi fiturnya yang aman. Ketiga adalah memahami Rupiah yang memiliki cita-cita, alat menabung, dan belanja dengan hemat dan cermat.
Tetapi nyatanya, di antara negara-negara Asean, mata uang Rupiah termasuk yang lemah. Ia terus mengalami pelemahan secara terstruktur, masif dan sistematis. Hebatnya, proses depresiasi ini tidak tak dicarikan solusinya. Dalam konteks ekonometrik, "currency depreciation" atau depresiasi mata uang adalah hancurnya nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lainnya atau terhadap standar tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Depresiasi mata uang tentu saja merupakan penjajahan baru bagi negara postkolonial dan negara dengan ekonomi yang miskin karena kepemimpinannya lemah dan kurang terarah; defisit transaksi berjalan yang terus-menerus; serta tingginya tingkat inflasi; juga "patronase lokal" yang diimani para oligarki serakah yang ganas.
Tetapi, proses ini jika dicek akan terlihat sangat terstruktur: memiliki motif, tujuan dan pola yang disusun, dirangkai, direkayasa, diatur, atau diciptakan secara rapi: tak mudah dibaca awam.
Semua dalam artian suatu desain (rancangan) disebut terstruktur ketika punya pola jelas sehingga dapat diruntut atau ditelusuri oleh para jenius.
Proses itu juga sangat sistematis karena langgamnya punya pasukan, barisan dan keteraturan yang solid, utuh, terpadu, saling terkait (menguatkan-melindungi) dari gabungan sejumlah komponen, pola, atau unsur yang saling mendukung dalam membentuk keutuhan sempurna sehingga sangat kuat dan tertradisi menjadi "kebenaran."
Proses itu disempurnakan dengan sebesar dan sekuatnya menjadi masif. Di sini artinya gerakan yang kokoh, berjumlah banyak/besar, dan super padat sehingga seluruh komponen atau unsur di dalamnya tidak keropos, berongga, rapuh dan tidak tak terbunuh.
Akibatnya tak banyak yang tahu bahwa perang dagang pasti ujung tombaknya adalah perang mata uang. Bahkan perang kedaulatan itu sesungguhnya perang mata uang. Jika mata uang suatu negara kuat, maka kuatlah kedaulatan negara tersebut dan bahkan bisa menjajah negara lain. Demikian pula sebaliknya.
Sesungguhnya, perang mata uang adalah perang ekonomi sekaligus perang dagang dunia. Fakta bahwa ini adalah perang terlihat dari persaingan negara imperial (penjajah-perampok) melemahkan nilai mata uangnya ke level terendah lalu menaikkannya pada top level.
Hal tersebut dilakukan agar produk-produk yang mereka hasilkan bisa laku dan terjual di negara lain. Dalam sejarah dunia, perang mata uang ini sudah sering terjadi sejak 100 tahun lalu.
Tentu saja, negara dengan ekonomi-industri yang kuat akan kuat uangnya sehingga mampu menegaskan kedaulatannya dan memiliki kekuatan untuk memaksakan hegemoni dan pengaruhnya. Negara kuat pasti dinahkodai oleh pemimpin yang kuat, ekonom yang jenius dan elite yang paham geo-ekopolitik dunia.
Sebaliknya, saat negara diisi oleh pemimpin lemah dan kurang terarah, semua masa depannya diserahkan ke pasar. Lalu, nilai tukar uangnya dibuat mengambang karena ditentukan oleh pasar. Padahal, bank sentral dan kementrian keuangan bisa kolaboratif merekayasa mata uangnya menjadi alat yang "mengkayakan" sekaligus "mendaulatkan" negaranya.
Melihat kedaulatan sebuah negara, bisa dilihat pada kemampuan elitenya meletakkan uangnya sebagai apa: sekedar alat tukar atau alat pendaulat. Cermati, jika ekspornya menjadi lebih mahal, dan impornya menjadi lebih murah, juga maraknya bank-bank asing yang beroperasi sampai ke kota-kota dan kabupaten-kabupaten, berarti kita kalah. Cepat ganti dengan yang lebih jenius dan patriotis. Itu saja.
Mendaulatkan Rupiah dengan demikian jadi PR besar yang harus segera diselesaikan Prabowo Subianto dan timnya. Kecepatan, ketepatan, dan konsistensinya akan membuat negara ini makin berdaulat.
Mari berpikir bersama tentang Rupiah untuk bermartabat.