Sengkarut perunggasan: Siapa diuntungkan?
Jalan hidup peternak unggas rakyat menemui jalan terjal. Diskusi, mediasi, turun jalan hingga aksi bagi-bagi ayam hidup dan telur pada masyarakat umum berulangkali dilakukan. Somasi ke pemerintah tak berjawab. Gugatan ke PTUN masih harus ditunggu apa hasilnya. Dengan sisa-sisa nafas lantaran pandemi Covid-19, mereka berulangkali ‘turun jalan’. Berbagai upaya peternak unggas ini, baik pedaging atau petelur, bagaikan membentur tembok tebal. ‘Bencana’ ini berurat akar dari sejarah panjang industri unggas.
Sektor peternakan, terutama perunggasan, terus tumbuh luar biasa dalam beberapa dekade ini. Pada tahap awal perkembangannya, sektor ini tumbuh mengandalkan dimensi permintaan atau daya beli konsumen (demand driven). Di dalam literatur, pembangunan subsektor peternakan yang banyak didorong permintaan atau pendapatan masyarakat disebut revolusi peternakan. Berkat pertumbuhannya yang luar biasa, sektor ini telah jadi penyedia sumber protein dengan harga terjangkau bagi kantong masyarakat umum.
Kenyataan itu bisa dibaca dari dua fakta penting ini: tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging ayam mencapai 70% (jauh lebih tinggi dari partisipasi konsumsi daging sapi: 16,8%), dan rata-rata konsumsi daging unggas 12,79 kilogram/kapita/tahun (jauh lebih besar dari rata-rata konsumsi daging sapi 1,8 kilogram/kapita/tahun). Produksi daging unggas pada 2020 mencapai 3,48 juta ton, di atas kebutuhan konsumsi 3,44 juta ton. Dari daging ayam ini saja, nilai ekonominya sudah lebih dari Rp104 triliun.
Nilai ekonomi semakin besar bila memperhitungkan nilai di industri pembibitan, pabrik pakan, budidaya, obat-obatan/vaksin, peralatan, dan pascapanen. Dari semua lini industri ini setidaknya menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja. Sejak berkembang awal era 1970-an, semua lini terus bergerak dan berekspansi mengikuti insting bisnis masing-masing. Baik peternak rakyat, mitra, usaha kecil, besar, bahkan korporasi terintegrasi. Banyak pihak masih yakin perunggasan adalah industri yang mandiri, tak memerlukan intervensi birokrasi. Sampai akhirnya terjadi bencana: pasokan berlebih alias over-supply.
Peternak rakyat angkat tangan. Bencana over-supply tidak bisa mereka selesaikan sendiri. Apalagi, di antara pelaku telah terbelah dua dengan kepentingan antagonistik: peternak rakyat versus integrator. Peternak berciri skala kecil (peliharaan kurang 5.000 ekor), rendah modal dan akses pasar, dan berteknologi sederhana. Sebaliknya, integrator bermodal kuat, pakai teknologi modern, terintegrasi secara vertikal, dan mengendalikan pasar. Integrator juga mengembangkan pola kemitraan dengan peternak, yang dapat kemudahan akses input produksi dan pasar. Situasi ini berlangsung lebih 5 tahun terakhir.
Untuk menyeimbangkan pasokan-permintaan, pemerintah menempuh cara cutting atau pemusnahan telur tertunas atau afkir dini induk ayam. Dalam beberapa kasus, cara ini menolong. Ibarat memadamkan kebakaran, api memang padam, tapi sumber api tiap saat tetap mengancam. Cara-cara reaktif, ad hoc, dan jangka pendek itu tidak menyentuh jantung atau akar masalah. Belasan kali surat edaran Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian untuk cutting, tetapi harga ayam hidup jatuh di tingkat peternak terus berulang. Anehnya, jurus usang ini masih terus dipakai dan diandalkan.
Karena itu, pada tempatnya mengkaji kritis langkah berulang yang ditempuh oleh pemerintah selama ini. Analisis kritis ini menjadi penting, karena ada indikasi terdapat pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan difasilitasi oleh kebijakan pemerintah itu. Di tengah keterpurukan peternak ayam mandiri (yang menurut kalkulasi mereka merugi lebih dari Rp2 triliun sejak 2018), perusahan yang listing di lantai bursa (Bursa Efek Indonesia) tetap menangguk untung besar. Jika benar industri perunggasan sedang lesu, terutama karena pandemi Covid-19, mestinya pukulan ini menimpa seluruh pelaku.
Sepanjang 2020, ketika sektor pertanian tumbuh 1,75%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi makro yang minus 2,07%, subsektor peternakan tumbuh negatif 0,33%. Ini karena harga daging ayam dan telur di level peternak amat rendah. Nasib peternak (mandiri) di titik nadir. Di sisi lain, integrator, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) misalnya, tetap untung. Pada 2020, JPFA membukukan penjualan Rp36,96 triliun (turun 4,9% dari 2019 sebesar Rp38,87 triliun) dan meraih laba Rp 2,48 triliun (turun 20,48% dari 2019 sebesar Rp3,12 triliun). Kuartal II-2021, JPFA membukukan penjualan Rp22,1 triliun (naik 22,3% dari periode yang sama) dan laba bersih Rp1,64 triliun (naik 426,2%).
Pendatang baru, PT Widodo Makmur Unggas Tbk (WMUU), yang listing awal tahun ini, kuartal II-2021 juga membukukan kenaikan penjualan Rp713 miliar (naik 216% dari periode yang sama) dan laba bersih Rp49 miliar (naik 271%). Keuntungan serupa diraih perusahaan benih (salah satunya jagung untuk pakan ternak) dan agrokimia, BISI. Pada 2020, BISI membukukan penjualan Rp1,8 triliun dengan laba bersih Rp275,54 miliar. Laba kuartal I-2021 Rp79,5 miliar (naik 200% dari periode yang sama). Sepanjang tahun ini, laba BISI diproyeksikan menjadi Rp400 miliar (naik 45,16%). Fakta lain yang tak kalah penting adalah perusahaan-perusahaan ini juga terus berekspansi.
Memang, kuartal I-2021 subsektor peternakan tumbuh 2,45% dan kuartal II-2021 tumbuh 7,07%. Tetapi pertumbuhan itu tak dirasakan peternak rakyat. Langkah cutting dan afkir dini memukul mereka. Karena biaya untuk pakan dan harga ayam sehari (DOC) naik. Harga pakan Rp7.800/kg, naik 19% dari tahun lalu. Di sisi lain, harga ayam hidup dan karkas di konsumen tetap mahal. Sementara tak ada jaminan harga ayam hidup di peternak stabil atau sesuai harga acuan Permendag 7/2020: Rp19.000-Rp21.000/kg. Yang terjadi, harga ayam hidup sering jatuh rendah, sementara biaya produksi Rp19.500/kg.
Kondisi asimetris ini terjadi karena langkah cutting akan menguntungkan mereka yang punya over stock. Over stock ini berupa telur yang masih di dalam pantat bibit ayam (parent stock/PS). Di sisi lain, ada pula potensi over stock dari stok populasi untuk izin ekspor ekstra benih ayam (grand parent stock/GPS). Juga alokasi impor GPS pada 2018-2020 kepada perusahaan integrator. Integrator pemilik over stock inilah yang menangguk untung besar, dengan menggerus pangsa pasar perusahaan lainnya. Situasi asimetris ini harus jadi perhatian Satgas Pangan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Apa yang bisa dibaca dari situasi ini? Fenomena di perunggasan menggambarkan apa yang dikatakan Bungaran Saragih (2020): tumbuh tanpa pembangunan. Ini ditandai empat hal. Pertama, peternak rakyat tetap gurem, tercecer, dan tidak terorganisir kala berkompetisi. Kedua, industri hilir perunggasan belum berkembang. Saat ini 90% daging ayam (produksi peternak rakyat dan integrator) dijual dalam bentuk hidup di lapak sama: pasar basah. Ketiga, hampir semua input produksi bergantung impor. Bukan hanya GPS, tetapi juga input pakan (bungkil jagung dan kedelai). Keempat, kebijakan publik yang mudah berubah dan tidak konsisten, yang justru merugikan petani atau industri.
Situasi ini perlu perhatian serius. Bahwa ekonomi bisa saja bertumbuh tetapi tidak jadi lebih baik. Bertumbuh artinya jadi lebih besar dengan nilai bisnis yang bertambah. Tetapi pertumbuhan itu tidak disertai peningkatan efisiensi, produktivitas, daya saing, kemampuan menghadapi risiko dan ketidakpastian, kemampuan mengikuti tuntutan pasar, serta tidak disertai peningkatan keberlanjutan dan fairness. Sejatinya, tumbuh tanpa pembangunan ini tak hanya pada perunggasan. Kita mengalami masalah berulang dari tahun ke tahun karena tak menyadari ‘pertumbuhan tanpa pembangunan’. Ironis!