Sengketa pilpres dan pentingnya sense of chaos
Situasi sosial-politik pascapenetapan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bereskalasi ke arah yang mengkhawatirkan. Penolakan kubu oposisi atas hasil rekapitulasi suara pilpres berbuntut pada aksi protes jalanan yang berujung ricuh. Bentrok massa dan aparat keamanan tak terhindarkan.
Tercatat setidaknya sembilan orang meregang nyawa dalam kerusuhan yang terjadi 21-22 Mei lalu. Jakarta pun ditetapkan dalam status siaga satu. Di kanal media sosial, video-video pendek berisi rekaman kerusuhan dan korban yang bersimbah darah lalu lalang di lini masa. Dan, seperti sudah dapat diduga, hal itu berhasil membangkitkan naluri paling purba dari manusia; takut dan cemas.
Situasi sosial-politik beberapa hari belakangan ini barangkali mendekati apa yang disebut oleh James Gleick sebagai chaos. Gleick memaknai chaos sebagai suatu kondisi sosial-politik yang diwarnai oleh serangkaian turbulensi, keacakan dan tentunya kekacauan.
Terjadinya chaos dalam beberapa hari tersebut, boleh dibilang merupakan puncak dari segala sengkarut pertarungan politik maha-brutal yang terjadi selama kurun waktu lima tahun belakangan. Periode 2014 hingga 2019 barangkali adalah periode paling kelam dalam sejarah demokrasi Indonesia pascareformasi. Pada periode itulah, praktik demokrasi kita mengalami kemunduran sampai ke titik paling bawah.
Selama lima tahun terakhir, demokrasi kita ditelikung oleh praktik-praktik lancung seperti ujaran kebencian, sebaran berita palsu, dan eksploitasi sentimen identitas. Hampir saban hari, ruang-ruang publik dipenuhi sesak oleh debat dan tengkar politik yang jauh dari kata mencerahkan.
Semua itu, tanpa disadari telah mengendap dan menjadi semacam bom waktu yang mampu meledak kapan pun. Dan, akhirnya bom itu pun meledak, mewujud ke dalam kondisi chaos.
Penggunaan terminologi chaos untuk menggambarkan realitas sosial-politik yang mengemuka hari-hari terakhir ini, tentu bukan dimaksudkan untuk kian menambah panas suasana. Sebaliknya, kita justru harus menumbuhkan semacam sense of chaos untuk membangun kesadaran bahwa ada bahaya besar yang tengah mengancam eksistensi bangsa ini.
Seturut pandangan Micheal Serres dalam Genesis (1995), chaos idealnya tidak melulu dipandang sebagai hal negatif. Jika chaos selalu dipandang sebagai hal negatif, maka ia tidak akan pernah ditangkap sebagai sebuah peluang terjadinya dialektika kultural. Serres berpandangan, dalam iklim demokrasi yang bertumpu pada kebebasan individual, batas antara keberaturan dan kekacauan sangatlah tipis. Ini artinya, potensi terjadinya chaos akan terus membayangi perjalanan demokrasi sebuah bangsa. Di sinilah letak pentingnya kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengelola sense of chaos-nya.
Hal senada bisa kita nukil dari pidato Bung Karno yang mengangankan negara Indonesia tidak seperti negara Astina yang selalu damai, adem-ayem, tanpa gejolak sedikit pun. Indonesia, dalam imajinasi Soekarno harus tumbuh menjadi negara yang tangguh karena kuat dihantam berbagai macam gejolak; hancur lebur, lalu bangkit kembali, hancur lagi, bangkit lagi. Atau dalam ujaran Tan Malaka, kita akan terbentur, terbentur, lalu terbentuk.
Ujian kebangsaan
Oleh karena itulah, persoalan terkait sengketa hasil pilpres yang diwarnai kerusuhan dan berpotensi menimbulkan chaos yang lebih besar ini, idealnya ditempatkan sebagai ujian kebangsaan kita.
Momen Pilpres 2019 ini merupakan ujian tidak hanya bagi konsolidasi demokrasi yang susah payah dibangun sejak era reformasi, namun juga ujian bagi eksistensi sebagai sebuah bangsa.
Kita telah berhasil melewati pilpres dengan nisbi tanpa persoalan berarti. Sebagian besar pemilih bersuka-cita menyalurkan hak pilihnya pada 17 April lalu. Meski diwarnai isu politisasi agama dan ujaran kebencian, Pilpres 2019 nyatanya berjalan lancar.
Namun, pilpres masih menyisakan residu persoalan. Salah satunya ialah sengketa terkait hasil rekapitulasi suara pilpres. Kubu oposisi yang kalah dalam pilpres beranggapan Pemilu 2019 dilaksanakan dengan kecurangan yang terstruktur, masif, sistematis dan brutal.
Narasi itulah yang digaungkan kubu oposisi untuk memobilisasi massa agar turun ke jalan, melayangkan protes pada lembaga penyelenggara pemilu dan berupaya mendelegitimasi pemerintahan yang sah.
Jika berhasil melewati persoalan sengketa pemilu ini dengan menganulir konflik sosial, jalan kita ke depan akan menjadi lebih mudah. Sebaliknya, jika gagal melewati momen penting ini, maka eksistensi negara taruhannya.
Pada titik inilah pemerintah dan masyarakat memiliki tugas berat untuk mengubah negative chaos menjadi positive chaos. Lalu, bagaimana caranya kita bisa melewati momen yang berada di tengah-tengah antara kekacauan dan keberaturan ini?
Pertama, melakukan penegakan hukum terhadap aktor-aktor yang terbukti memperkeruh suasana dengan pernyataannya yang provokatif dan simpang siur. Seperti kita tahu, kerusuhan sosial di level akar rumput seperti terjadi pada 21-22 Mei lalu merupakan ekses dari pertarungan kepentingan politik di level elite.
Masyarakat bawah, dalam hal ini hanya menjadi semacam bahan bakar bagi mesin politik para elite. Elite-elite politik itulah yang menjadi parasit bagi demokrasi kita selama ini. Di satu sisi, mereka kerap mengumbar retorika mengenai demokrasi, namun di sisi lain mereka justru menggerogoti eksistensi bangsa dari dalam.
Negara, melalui aparatus hukumnya harus berani menindak siapa pun yang perilaku dan ucapannya mengancam demokrasi, baik itu dari kalangan oposisi maupun kalangan pendukung petahana. Hal yang mengemuka belakangan ini justru sebaliknya. Aparat hukum yang seharusnya berperan sebagai lembaga negara yang independen justru kerap bertindak laiknya pelayan bagi kepentingan pemerintahan petahana. Perilaku yang demikian ini tak pelak kian membuat sebagian publik anti-pati pada pemerintah.
Kedua, dan tidak kalah pentingnya ialah pemerintah perlu mengintensifkan kembali demokrasi berbasis dialogisme. Selama ini harus diakui bahwa demokrasi kita berjalan tanpa kehadiran dialog di dalamnya. Narasi-narasi politik, baik yang disampaikan oleh pemerintah maupun oposisi lebih sering disampaikan secara monolog. Kedua pihak, bertahan dengan klaim kebenarannya masing-masing.
Demokrasi bergaya monolog yang kita praktikkan terbukti menciptakan benih-benih kekacauan sosial dan potensi kekerasan di tengah masyarakat. Pihak paling sial dari kondisi itu adalah masyarakat bawah yang kadung terbelah oleh kepentingan pragmatis para elite.
Semua elemen bangsa ini perlu mengintensifkan kembali demokrasi berbasis dialogisme sebagai modal utama untuk menciptakan ruang publik yang diskursif dan egaliter, di mana masing-masing entitas diposisikan setara. Jika itu terwujud, sejatinya kita telah berhasil mengubah negative chaos itu menjadi positive chaos.