Serius menangani sampah plastik
Wacana mengenai solusi permasalahan sampah plastik di Indonesia kembali mengemuka beberapa waktu lalu. Sampah plastik dibahas pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat. Munas menyepakati dan merekomendasikan kepada pemerintah bahwa haram hukumnya membuang sampah sembarangan. Ini tentu menjadi dorongan agar kita serius menangani permasalahan sampah plastik di negara ini.
Seperti diketahui Indonesia menurut penelitian Jambeck JR dkk dalam jurnalnya berjudul “Plastic waste inputs from land into the ocean” tahun 2015 merupakan negara kedua yang paling banyak menghasilkan sampah plastik setelah negara China. Fakta lain juga menunjukkan bahwa jumlah sampah plastik menurut ScienceMag dari 1950-2015 cenderung selalu mengalami peningkatan.
Sampah plastik di Indonesia berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan badan pusat statistik (BPS), mencapai 64 juta ton/pertahun. Kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 miliar lembar pertahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Sampah-sampah plastik ini merupakan akumulasi sampah dari seluruh wilayah Indonesia yang memang sangat luas.
Dari pemantauan Statistik Lingkungan Hidup pada 2010-2016, ditemukan bahwa kota-kota Indonesia pada umumnya mengalami kenaikan produksi sampah. Pulau Jawa sebagai penyumbang terbesar karena kepadatan penduduknya. Menurut BPS, pada 2016, urutan tertinggi produksi sampah berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Wilayah lain di luar pulau Jawa yang produksinya tinggi adalah Kota Mamuju dan Kota Makassar.
Diakui atau tidak, munculnya sampah plastik merupakan persoalan gaya hidup. Hampir setiap aktivitas kehidupan manusia akan berpotensi untuk menghasilkan sampah plastik. Mulai kegiatan konsumsi di skala rumah tangga dan publik hingga aktivitas administrasi kerja di lembaga dan perusahaan. Bahkan proses alami lingkungan di sekitar kita juga tak luput dari memproduksi sampah.
Berbicara masalah sampah plastik memang tidak akan ada habisnya. Sebab setiap rumah tangga atau keluarga pada dasarnya juga produsen sampah plastik. Setiap hari mereka memproduksi sampah plastik dan jika tidak ditangani secara baik akan menimbulkan masalah. Antara lain, masalah lingkungan dan kesehatan yang akan berpengaruh bagi kehidupan manusia.
Sampah plastik berbahaya bagi kelestarian lingkungan sekitar. Tanah-tanah yang sudah tercemar sampah membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk mengurainya. Karena sifatnya yang susah diurai, sampah-sampah plastik tentunya dapat menurunkan kesuburan tanah.
Selain itu, sampah plastik yang menumpuk di selokan-selokan di samping dapat mencemari perairan dan menyebabkan banjir. Tak hanya itu, pembakaran sampah plastik juga menghasilkan dioksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pembakaran sampah plastik akan menghasilkan gas karbokdioksa yang bisa membuat lapisan ozon menipis.
Tanggung jawab bersama
Jadi, sudah saatnya kita berpikir dan bertindak mengatasi masalah sampah plastik. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama demi kesehatan manusia serta kelestarian bumi. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk dijadikan solusi dalam mengatasi permasalahan sampah di Indonesia.
Bea Johnson dari www.zerowastehome.com memopulerkan istilah 5R, yaitu: refuse, reduce, reuse, recycle, rot. Cuma yang paling sering dikenal hanya 3R : reduce, reuse, recycle saja. Padahal harusnya langkah pertama itu adalah refuse, menolak hal-hal yang berpotensi menghasilkan sampah. Baru jika tidak mungkin ditolak selanjutnya masuk ke tahap R selanjutnya.
Upaya menolak bahan-bahan yang berpotensi untuk menjadi sampah inilah yang sekarang populer dengan gerakan zerowaste. Gerakan zerowaste ini bukan sekadar wacana yang ditawarkan untuk menekan timbulnya sampah. Tapi benar-benar menjadi gerakan yang masif.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai banyak komponen untuk memasifkan gerakan zerowaste ini. Guru, siswa, orang tua dan masyarakat adalah stakeholder yang berinteraksi langsung dengan sekolah. Jadi, guru bisa mendesain pembelajaran yang menekan penggunaan sampah plastik.
Guru bisa membuat proyek yang melibatkan keluarga dengan tantangan sehari, seminggu, bahkan sebulan mengurangi bahan yang akan menjadi sampah. Setiap keluarga diminta melaporkan kegiatan melalui media sosial. Memperlihatkan berapa kilogram berat sampah plastik yang dihasilkan setiap harinya. Tantangan ini pasti akan membuat setiap keluarga tertarik.
Begitu juga merembet untuk kegiatan lainnya. Study tour, berkemah, eksperimen, semua didesain untuk mengurangi sampah. Sebagai peneguhan, sekolah bisa menguatkan gerakan sosial ini diikat dalam tata tertib atau aturan yang mengikat.
Upaya lain dengan mereduksi jumlah sampah yang dihasilkan dengan cara membatasi penggunaan plastik dan atau menekankan pentingnya daur ulang. Solusi ini dapat dikatakan sudah mulai dilakukan dan direspons pemerintah dengan dikeluarkannya PP No 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yakni pengurangan sampah plastik 30% pada 2025.
Lalu, menjaga agar sampah plastik di darat agar tidak ke laut. Selama ini untuk mereduksi sampah plastik masyarakat umumnya membuang sampah ke perairan laut. Sampah plastik yang berakhir di lautan sangat berpotensi mencemari dan memberikan dampak yang serius bagi ekosistem laut. Seperti peristiwa matinya seekor paus di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara akibat menelan sampah plastik seberat 5,9 kilogram.
Akhir kata, tanpa adanya komitmen dari semua pihak permasalahan sampah plastik di Indonesia hanya akan berhenti pada wilayah wacana dan minim aksi. Dibutuhkan kotribusi nyata dari masing-masing kita untuk serius mengatasi masalah sampah plastik. Ini semata-mata demi menjaga dan merawat kelestarian bumi.