close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Selasa, 26 Maret 2019 19:54

Stunting dalam kontestasi pilpres

Sayangnya, publik tidak mendapatkan pemaparan platform, agenda setting dan strategi konkret untuk menekan angka stunting.
swipe

Stunting, yang dalam bahasa Jawa disebut kuntet (kerdil), sempat jadi ajang laga ide antara Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno dalam debat cawapres, 17 Maret lalu. Sayangnya, publik tidak  mendapatkan pemaparan platform, agenda setting dan strategi konkret untuk menekan angka stunting. Sebaliknya, keduanya lebih senang unjuk seni berpidato dan bermain retorika. Bukan beradu gagasan. Publik pantas kecewa karena tidak mendapatkan pendalaman yang memadai yang bakal jadi rujukan memilih. 

Ditilik dari sisi isu, stunting amat ideal mendapatkan pendalaman karena tiga hal. Pertama, stunting adalah salah satu dari dua isu kesehatan terpopuler di Google Trends. Salah dua yang lain adalah isu Jaminan Kesehatan Nasional, lebih spesifik soal BPJS Kesehatan. Kedua, dari sisi tata kelola, kantor Sekretariat Wakil Presiden memegang komando kolaborasi 23 kementerian/lembaga dalam hal pencegahan stunting. Ketiga, solusi stunting memerlukan detail kebijakan yang pelik dan tidak instan (Meilissa, 2019).  

Dari sisi penguasaan materi, Ma’ruf patut mendapatkan apresiasi. Ia menerangkan periode kritis pertumbuhan anak terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), sejak anak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Ketika pada periode emas ini anak tidak mendapatkan asupan gizi memadai, apalagi jika berlangsung lama, stunting bakal terjadi.

Karena itu, Ma’ruf mempertanyakan efektivitas program Sedekah Putih yang ditawarkan Sandi. Program Sedekah Putih, sebagai bagian dari visi Indonesia Emas, mengundang masyarakat luas untuk menyumbang susu, kacang hijau dan sumber protein lainnya. Bagi dia, program pemberian susu setelah anak berusia dua tahun langkah menyesatkan.  

Pemerintah, menurut Ma’ruf, mestinya melanjutkan program pemberian bantuan pangan bergizi, sanitasi dan air bersih serta edukasi kesehatan remaja. Paduan program ini dinilai sukses menekan angka prevalensi stunting nasional, dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Meskipun menurun, tapi angka stunting masih besar, jauh di atas standar WHO: 20%. Padahal, anggaran guna menekan stunting tidak kecil. Investasi pemerintah pusat, daerah dan desa hanya untuk program nutrisi mencapai Rp51,9 triliun (2017).

Mengapa ini terjadi? Salah satunya karena di level nasional, isu stunting dan gizi buruk telah lama menghilang dalam pembangunan. Para pemimpin negeri ini berbangga pertumbuhan ekonomi bisa dipacu tinggi, dan inflasi ditekan rendah. Akan tetapi, itu semua tak berbanding lurus dengan perbaikan gizi di masyarakat. Insiden gizi buruk selalu berulang.

Potret kesehatan masyarakat terang benderang tergambar dari Riset Kesehatan Dasar 2018: stunting turun dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Status gizi buruk dan gizi kurang juga turun, dari 19,6% (2013) menjadi 17,7% (2018). Di sisi lain, perbaikan pendapatan memungkinkan warga mengonsumsi kalori dan lemak melebihi kebutuhan tubuh. Tak hanya kegemukan, bahkan mereka mengalami obesitas. Proporsi obesitas pada orang dewasa naik dari 14,8% (2013) menjadi 21,8% (2018).

Stunting dan gizi buruk memang multikompleks. Namun, faktor utamanya adalah kemiskinan. Saat inflasi tinggi, harga pangan terasa mahal. Warga miskin yang 70% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan, seperti kesehatan atau beralih ke pangan inferior, guna mengamankan isi perut.

Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi berdampak panjang, bukan hanya pada kesehatan tapi juga produktivitas dan kualitas SDM. Anak balita, ibu hamil dan lansia adalah tiga serangkai yang paling rentan kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan terganggu. Anak tumbuh pendek, kecerdasannya rendah dan rentan menderita penyakit degeneratif saat mereka dewasa. 

Kemiskinan dan gizi kurang seperti lingkaran setan tak berujung. Karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhan terganggu, IQ-nya pun jongkok. Outputnya, produktivitas rendah, sakit-sakitan dan terjerat dalam kubangan kemiskinan.

Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh tahun pada 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul. Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika gizi kurang. 

Krisis gizi, tanpa kita sadari, mendorong lahirnya bencana sosial dan budaya yang amat serius. Bagaimana mungkin ”bangsa kurang gizi” bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Bagaimana mungkin “bangsa kurang gizi” bisa kreatif dan mengemban tampuk kepemimpinan yang membawa negeri ini ke posisi terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia.

Peradaban bangsa dibangun melalui kebudayaan secara intens, kontinyu dan konsisten. Sebagai proses belajar yang tak pernah usai, kebudayaan butuh dukungan banyak faktor, salah satu yang penting adalah kecukupan gizi para pelakunya. Sejarah membuktikan, bangsa yang mampu menghasilkan peradaban tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yang sehat. Badan dan jiwa yang sehat dibangun dari kecukupan gizi.

Sepinya isu stunting dan gizi buruk dalam ajang debat di kontestasi pilpres bisa dipahami. Waktu yang pendek untuk membahas isu yang bejibun jadi faktor pembatas. Namun, stunting dan gizi buruk harus menjadi isu utama saat kandidat terpilih dan memulai kerja-kerja teknokratik. Mereka wajib memastikan anak balita, ibu hamil dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup.

Negara harus hadir sebagai garansi terpenuhinya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti amanah UU No 18/2012 tentang Pangan. Ini dilakukan lewat beragam aksi: revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program tambahan makanan anak sekolah, subsidi pangan dan stabilisasi harga pangan, dan penganekaragaman pangan berbasiskan pangan lokal.

Lalu, harus dipastikan kesenjangan penyediaan layanan gizi dan pembelajaran dini untuk mengatasi krisis stunting yang masih lebar bisa ditekan, terutama akses keluarga di 1.000 hari pertama kehidupan pada layanan dasar. Fakta menunjukkan, konvergensi delapan layanan dasar yang disediakan pemerintah (kesehatan, gizi, sanitasi, air bersih, pendidikan, pertanian dan jaminan sosial) masih minim: kurang 0,1% anak usia 2 tahun bisa mengakses semua layanan secara simultan. Temuan ini menegaskan tiga hal: lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga; minimnya kapasitas perencanaan, penganggaran dan monitoring-evaluasi; ketidakmampuan mengawal ketepatan dan kualitas layanan dasar; dan minimnya upaya peningkatan demand masyarakat.  

Terakhir, Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024 (Stranas) yang mengamanatkan intervensi terpadu untuk menyasar kelompok prioritas di lokasi prioritas harus menjadi panduan dalam bekerja. Ma’ruf berjanji menurunkan prevalensi stunting sebesar 10% dalam 5 tahun kepemimpinannya bersama Jokowi. Ini sesuai dengan skenario optimistis dari Stranas.

Sementara Sandi tidak menjanjikan angka pasti. Laga adu ide dan program konkret menurunkan stunting memang tidak terjadi di debat cawapres. Kini keputusan sepenuhnya ada di tangan pemilih: mana yang lebih dipercaya?

img
Khudori
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan