Beberapa hari ini, di media sosial sedang viral mengenai operasi katarak, caesar dan physiotherapists yang tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan.
Prof Fachmi juga telah menyampaikan argumen yang sahih mengenai alasan BPJS Kesehatan melakukan hal itu. Selaku nakhoda kapal besar lembaga keuangan yang dalam 4,7 tahun terakhir telah menghabiskan Rp250 triliun, nampaknya alasan itu cukup masuk akal.
Meskipun keputusan BPJS Kesehatan tersebut merupakan aturan internal, tetapi ternyata menimbulkan sejumlah akibat, di antaranya, membatasi hak peserta untuk mendapatkan pelayanan fisiotherapy maksimal dua kali seminggu dan delapan kali sebulan. Tindakan operasi katarak hanya untuk visus lebih buruk dari 8/16, dan kemungkinan terjadi waktu tunggu operasi, serta membebankan biaya pelayanan bayi baru lahir sehat dari persalinan ibu sectio caesaria menjadi beban rumah sakit.
Hal itu memperjelas adanya perbedaaan sudut pandang dan kepentingan dari ketiga stake holder, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kartu Indonesia Sehat (KIS)
Ibaratnya, nakhoda kapal besar bernama BPJS Kesehatan VS Rumah Sakit. Di sisi lain, peserta berada di antara keduanya.
Di balik hal di atas, saya menduga penyebab defisit JKN lah yang menyebabkan terjadinya silang pendapat di atas. Lebih pada akibat cara melaksanakan Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang cenderung sepotong-sepotong. Contohnya seperti dalam melaksanakan "kelas standar" di Peraturan Presiden menjadi "standar" kelas 1, 2,3 yang tentunya mengandung risiko keuangan pada BPJS Kesehatan.
Kemudian ada usulan kelas standar seperti dimaksud pasal 24 UU SJSN yang menjadi hak setiap peserta. Hal itu diterjemahkan sebagai "satu ruang rawat inap untuk empat orang, dengan obat berkategori formularium nasional (fornas). Obat ini disusun berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh Komite Nasional Penyusunan Fornas.
Hal itu diyakini bisa secara efektif mengedepankan patient safety dan berintregitas. Apalagi pembiayaan mempergunakan skema tarif INA-CBGs, yaitu besaran pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan kepada fasilitas kesehatan rujukan.
Di sisi lain, pengobatan katarak dan rehab medik karena rawat jalan, ada baiknya batasannya berupa visus saja, tidak ada kuota. Kalau rehabilitas medik, rujukan berlaku untuk dua minggu, dan harus ada program fisiotherapy sesuai standar Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi (Perdosri).
Dengan rumusan baru tersebut sebagai perbaikan Perpres, maka hak manfaat peserta adalah tidak ada urun biaya selama dilakukan "kelas standar". Bagi yang mampu, dipersilahkan menggunakan kelas di atasnya dengan urun biaya terkendali dengan membayar langsung ke rumah sakit atau membeli polis asuransi.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga tidak berwenang memungut iuran, selain untuk iuran kelas standar. Dengan begitu, terbebas dari risiko individual. Selanjutnya, fornas dan tarif INA CBGs disesuaikan dengan kelas standar.
Mengingat defisit JKN diperkirakan dapat mencapai Rp16 triliun, maka ada baiknya Presiden segera melakukan tindakan cito alias melakukan sekarang. Dengan begitu, energi semua pihak tidak terbuang, dan jangan lupa Pilpres tinggal dalam hitungan hari.