Tanpa data memadai, kebijakan ekonomi kurang efektif
Jumlah yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Tambahannya belum menandakan tren penurunan. Angka terinfeksi sebanyak 3.293 orang per 9 April, masih jauh dari prakiraan puncaknya berdasar analisa banyak pihak.
Dua Lembaga atau komunitas ilmiah terpandang menyebut angka 70.000 dan 71.000 yang akan terinfeksi. Lembaga internal pemerintah sendiri sudah menyebut angka 106.000. Lembaga itu memprakirakan puncaknya justru masih bulan Juli 2020.
Dampak ekonomi pun sudah terasa. Ratusan ribu atau mungkin beberapa juta orang telah berkurang pendapatannya. Sebagian mereka telah tidak memiliki penghasilan lagi. Di antaranya: buruh atau pekerja harian, usaha mikro kecil yang bergantung wilayah wisata dan tempat hiburan, pedagang keliling dan pasar tradisional, pekerja yang butuh pergerakan fisik, dan yang lainnya.
Dampak pada dinamika pasar valuta asing dan pasar modal sempat mengkhawatirkan. Kurs rupiah dan IHSG melemah sangat siginifikan. Belakangan mereda, namun seolah menyimpan “tenaga” untuk menghantam kembali dalam waktu dekat. Otoritas tampak telah berjibaku menghadapinya, namun bisa “kelelahan” pada akhirnya.
Dampak ekonomi terbesar sebenarnya lebih karena kepanikan para pelaku ekonomi dan keuangan di seluruh dunia. Sebagian besar yang panik merupakan “pemain besar”. Beruntung, kepanikan di Indonesia sesaat ini mereda.
Dalam analisis, dampak yang langsung terasa adalah berkurangnya “daya beli” masyarakat. Dengan prakiraan kondisi pandemi masih berlangsung hingga satu dua bulan ke depan, maka dampaknya signifikan pada yang dikenal sebagai permintaan agregat. Semacam “daya beli” seluruh perkonomian nasional.
Selain konsumsi masyarakat yang langsung terpukul, karena berkurangnya penghasilan mereka, maka besaran komponen lain akan terdampak. Di antaranya: pengeluaran Investasi dan ekspor yang akan menurun. Komponen permintaan agregat masih bisa bertahan, bahkan diharap meningkat adalah konsumsi pemerintah.
Analisis bisa dilakukan pada sisi yang bersebelahan dengan permintaan agregat, yaitu sisi produksi. Akan terjadi gangguan atas produksi barang dan jasa, yang secara umum menurun. Perlahan, berbagai pabrik dan perkantoran akan mengurangi porduksinya. Bekerja di rumah tak mungkin bisa menahan laju produksi dalam struktur ekonomi Indonesia saat ini.
Turunnya produksi juga akibat sebagian produksi manufaktur Indonesia mengandalkan impor bahan baku dan bahan penolong. Impor sudah dipastikan terganggu, karena wabah Covid-19 mendera banyak negara. Alur transportasi mengalami gangguan cukup serius.
Sisi produksi barang dan jasa tersebut biasa disebut sebagai penawaran agregat. Akan turun menyusul melemahnya permintaan agregat. Jika wabah berlangsung lebih lama, maka laju penurunan keduanya menjadi lebih cepat. Terjadi dalam waktu bersamaan, dan saling mempengaruhi.
Dalam perspektif makroekonomi, akan tampak berupa merosotnya pertumbuhan ekonomi. Pemerintah telah mengemukakan skenario berat berupa prakiraan pertumbuhan ekonomi 2,3% pada tahun 2020. Disebut pula skenario sangat berat di kisaran -0,4%.
Sebenarnya tidak dapat dipastikan skenario atau batas bawah pertumbuhan ekonomi. Bergantung pada perkembangan pandemi Covid-19. Dan sekali lagi, dampak ekonomi yang menyulitkan adalah kepanikan ekonomi dan keuangan dunia. Dinamika global sejauh ini selalu berdampak cepat pada ekonomi Indonesia, terutama dalam fenomena yang buruk.
Bagaimanapun, pemerintah telah bersiap diri menghadapi beberapa skenario dampak buruk atas perekonomian. Payung hukum telah ditetapkan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomer 1 tahun 2020. Dilihat dari substansi konten, Perppu ini termasuk jenis omnibus law. Bahkan, sebagian isinya mengatur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, yang notabene independen.
Kebijakan ekonomi yang sudah dan akan dilakukan diutarakan dalam keterangan pers bersama pada 1 April. Berlanjut dalam rapat kerja Bersama komisi XI DPR pada 6 April. Otoritas ekonomi ingin memberi sinyal positif adanya konsolidasi yang makin kuat dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari: Kemekeu, BI, OJK, dan LPS.
Penulis apresiasi atas langkah dan kesiapan otoritas ekonomi. Catatan kritis mesti terus diberikan. Salah satunya adalah terkait akurasi data yang dimiliki otoritas ekonomi, terutama pemerintah, sebagai dasar kebijakannya.
Sebagai contoh, kebijakan Social Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang memberi tambahan alokasi dana sebesar Rp110 triliun. Konsepnya terutama menambah (top up) dari program yang telah ada (existing) seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan sembako (dahulu raskin/rastra), Kartu Pra Kerja, Pembebasan tarif listrik, Insentif Perumahan bagi MBR, dan program JPS Lainnya. Disebut pula ada alokasi cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar logistik, serta penyesuaian anggaran Pendidikan.
Berbagai evaluasi atas pelaksanaan JPS selama ini antara lain bermuara pada kurang tepatnya sasaran. Banyak pihak yang tidak memperoleh, padahal sangat berhak. Dan masih ada kejadian sebaliknya. Tumpang tindih sasaran program merupakan fenomena tersendiri. Jika faktor moral hazard dinihilkan, maka masalah yang mengedepan adalah data yang tidak memadai.
BPS telah secara rutin melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret dan September tiap tahun. SUSENAS menghasilkan data yang cukup rinci. Dari data itu, tingkat kemiskinan dihitung. Begitu pula informasi tentang profil rumah tangga miskin, dan indikator penting lainnya dalam hal kesejahteraan penduduk.
Bagaimanapun, SUSENAS masih merupakan survei. Sampelnya pada bulan Maret mencapai 300.000 rumah tangga, dan bulan September hanya 75.000 rumah tangga. Hasilnya cukup berguna untuk analisis dan rekomendasi bagi landasan kebijakan. Namun, untuk kebutuhan “praktis” nyaris tak bisa dipakai. Data kemiskinan misalnya, bukan by name by address. Siapa saja dan dimana saja 24,79 juta penduduk miskin itu, tak akan bisa dijawab BPS. Apalagi jika ditambahkan dengan yang hampir miskin dan rentan miskin.
Sempat dikembangkan data terpadu tentang kemiskinan yang dikoordinasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulan Kemiskinan (TNP2K). TNP2K membangun basis data berisi sekitar 25 juta rumah tangga atau hampir 100 juta penduduk kelompok berpendapatan terbawah. TNP2K dibantu oleh BPS menyelenggarakan semacam sensus kemiskinan, pada 2005 dan 2011. Data kemudian update berkelanjutan bersama pihak terkait, termasuk pemerintah daerah.
Peran TNP2K sejak era Jokowi I perlahan menjadi "terpinggirkan" dalam proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan. Update data tak berjalan lancar. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah banyak yang tidak bekerja sama secara aktif. Kini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengalami kendala serius tentang siapa saja dan persisnya berada dimana yang harus dibantu.
Perlu pula diingat kembali soal kasus korupsi kasus E-KTP. Kerugian bangsa akibat itu bukan lagi angka APBN seperti dalam persidangan, melainkan ketiadaan data penduduk yang akurat. Padahal kini amat dibutuhkan.
Kebijakan ekonomi kini benar-benar terkendala oleh ketiadaan data yang memadai. Penulis amat berharap kesadaran akan data akurat tentang rakyat Indonesia menjadi hikmah dari musibah pandemi.
Semoga pandemi segera teratasi, dan dampak ekonominya bisa dimitigasi secara baik dan cepat.