Tantangan Polri ke depan
Pascadiangkat dan dilantiknya Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 23 Oktober 2019, maka terjadi kekosongan jabatan Kapolri, yang kemudian segera setelah itu Wakapolri Komjen Ari Dono menjabat sementara jabatan tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, presiden mengusulkan ke DPR Komjen Idham Azis, yang masih menjabat sebagai Kabareskrim Polri. Usulan masuk ke DPR pada 23 Oktober 2019. Dan telah disetujui menjadi Kapolri oleh DPR melalui uji kepatutan dan kelayakan pada Rabu 30 September 2019, maka Komjen Idham Azis dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden pada 1 November 2019.
Babak baru kepemimpinan Polri telah dimulai, apalagi setelah ada pernyataan keras dari presiden agar penegak hukum tidak mencari-cari kesalahan dalam penegakan hukum dengan cara menggigit aparatur pelaksana pembangunan yang memerlukan kreasi dan inovatif, sehingga bisa menghambat investasi dan pembangunan. Bahkan pada kesempatan tersebut, presiden mengancam akan menggigit penegak hukum yang melakukan hal itu.
Pernyataan yang dirangkum menurut persepsi saya di atas, adalah sindiran dan tamparan keras kepada oknum penegak hukum yang hobi bermain-main soal penegakan hukum.
Rangkaian peristiwa yang menjadi catatan penting pimpinan negara di republik ini, menurut saya identik dengan yang telah menjadi catatan publik selama bertahun-tahun dan selalu berulang-ulang.
Oleh karena itu, tantangan ke depan pimpinan Polri dalam menghadapi era perubahan strategis, adalah melakukan penataan ke dalam tubuh Polri, dan masyarakat wajib memberikan masukan seluas-luasnya.
Pembenahan renstra
Kemajuan teknologi mewarnai kebijakan pemerintahan saat ini. Apalagi teknologi menjadi bagian efisiensi pelayanan yang membutuhkan kecepatan, baik dalam proses, pengambilan kebijakan, termasuk evaluasi kebijakan. Adanya pemberlakuan revolusi industri 4.0, seharusnya membuat sistem di kementerian dan lembaga pemerintah harus adaptif mengikuti perkembangan, sebagai perkembangan lingkungan strategis.
Bagi Polri perkembangan lingkungan strategis itu, hampir sebagian besar sudah berubah. Tentunya ada kelebihan dan kekurangan, namun kekurangan itu bisa dikelola dengan baik, dengan pemberdayaan sumber daya manusia dan teknologi itu sendiri.
Karena itulah mungkin sudah waktunya jika sentra pelayanan kepada masyarakat menggunakan teknologi. Begitu pula pada pelayanan bidang administrasi penyidikan, administrasi kendaraan, administrasi keuangan, dan administrasi pelayanan kepada masyarakat lainnya.
Memang tidak semua tugas kepolisian bisa dibuka di hadapan publik. Misalkan saja administrasi penyidikan oleh Satuan Reserse Polri, ada yang bisa dibuka secara umum dan tidak bisa dibuka kepada umum. Hal-hal yang bisa dibuka untuk umum, misalnya soal perkembangan penanganan perkara, minimal bagi para pihak yang terkait, atau pihak yang berkepentingan secara legal harus dapat mengakses perkembangan penyidikan itu. Dari sisi ini, harus diakui Polri banyak disorot, bahkan konon berada pada urutan tertinggi komplain masyarakat.
Terkait itu, renstra Polri memberikan kontribusi penting di arah kebijakan dan menjadi pedoman-pedoman umum kebijakan di bawahnya. Koreksi atas renstra sebelumnya mutlak harus dilakukan agar lebih adaptif dengan perkembangan sosial masyarakat.
Budaya organisasi
Perbincangan budaya organisasi kerap dijadikan tema asyik perbincangan, baik di kalangan internal kepolisian maupun di eksternal kepolisian. Kendati begitu, budaya organisasi ini masih tidak bergeming secara signifikan.
Pelayanan terhadap masyarakat, khususnya bidang reserse selalu menjadi sorotan berbagai instansi bidang pengawasan di luar Polri maupun internal Polri. Khususnya yang terkait dengan kemudahan akses para pihak atas kepentingan, pelayanan tatkala pemeriksaan, penyelesaian laporan, dan lain-lain.
Dalam pengamatan saya, penderitaan publik ini banyak dirasakan masyarakat, terutama di luar kota besar. Khususnya ketika berhadapan dengan petugas reserse di daerah, yang terbebas dari pengawasan pimpinan pusat kepolisian. Di sisi lain, keengganan media untuk mengkritisi dan mengawasi institusi karena adanya kedekatan secara emosional dan personal, membuat sarana kontrol menjadi tidak efektif.
Tidak heran jika ada perlawanan masyarakat, seperti membantah atau melawan petugas lalu lintas yang sedang berpakaian dinas. Perbuatan oknum masyarakat seperti ini melanggar hukum, karena petugas berpakaian dinas melaksanakan perintah jabatan dan atau UU, dilindungi hukum. Namun faktanya, institusi Polri tidak dapat berbuat apa-apa secara konstitusional, ketika diperlakukan seperti itu.
Itulah sebabnya budaya organisasi di Polri yang positif akan memberikan kontribusi penghormatan atas kewibawaan Polri sebagai aparatur penegak hukum. Polri harus dibayangkan sebagai Bhayangkara Negara, pelayan, pelindung, pengayom masyarakat, gagah, berani, berwibawa, tindak tanduknya menyenangkan, dan sedap dipandang.
Pasukan Bhayangkara yang mempunyai Tri Brata dan Catur Prasetya yang agung ini, akan menjadi pasukan atau aparatur ditakuti dan dihormati oleh kawan maupun lawan.
Penanganan kamtibmas terhadap kejahatan jalanan
Kejahatan jalanan adalah kejahatan fisik yang sering mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat yang akan berkarya menuju satu tempat ke tempat lain, gangguan sekecil apa pun bagi masyarakat akan sangat berarti bagi keselamatan diri. Kejahatan jalanan bisa berada di mana-mana, waktunya tidak beraturan, sasarannya tidak beraturan, pelaku juga tidak beraturan stratanya. Seperti, pemalakan di pasar terhadap sopir angkot yang lewat di depannya, pemalakan oleh remaja sampai orang tua di jalur-jalur utama atas truk-truk pembawa bahan pokok, di mana peristiwa buruk itu dilihat langsung oleh masyarakat sekitar dan polisi terdekat, akan tetapi tidak berbuat apa pun untuk mencegah atau sengaja dibiarkan.
Soal keamanan, dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dalam pasal 9 ayat (2) “Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” Dengan demikian polisi harus hadir sebagai representasi negara dengan hadir melindungi masyarakat. Polisi harus mengimplementasikan ketentuan di atas dengan mengerahkan seluruh sistemnya di jalanan bersama komponen masyarakat.
Hal itu untuk memastikan tidak ada pemalakan di jalanan, tidak ada jambret di ruang publik, tidak ada kurir narkoba di sudut kampung, tidak ada corat-coret tembok dan toko di pinggir jalan yang membuat kotor pemandangan.
Dengan amannya situasi, warga masyarakat dapat melakukan aktivitas dengan tenang, tanpa khawatir atas diri dan harta benda yang dibawa. Apalagi aktivitas itu dalam rangka pemenuhan kebutuhan hajat hidup, termasuk untuk keluarga. Resolusi Majelis Umum 35/169, yang mengesahkan Pedoman Perilaku untuk petugas Penegak Hukum, 17 Desember 1979 mengatakan “Menyadari bahwa sifat fungsi-fungsi Penegakan Hukum dalam menjaga ketertiban umum dan cara bagaimana fungsi-fungsi itu dilakukan memilki dampak langsung terhadap kualitas hidup perseorangan serta masyarakat secara keseluruhan”. Dengan ini menunjukkan rasa aman sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Radikalisme
Saat ini memang belum ada definisi yang disepakati soal radikalisme, berbagai arti disampaikan beberapa kalangan, sesuai penafsiran menurut cara pandang sendiri, namun secara umum dapat disampaikan adalah cara berpikir dan perilaku yang mengakar dan eksklusif yang tidak tunduk kepada anasir-anasir yang disepakati umum dan kemudian memaksakan cara pandang itu kepada pihak lain, bahkan dengan kekerasan dan menghalalkan semua cara, agar pahamnya diikuti.
Di Indonesia ada Pancasila yang menjadi kesepakatan nasional sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pendiri bangsa ini ada, dan sudah bertahun-tahun menjadi pegangan hidup, menjadi tradisi berabad-abad kehidupan Ke-Indonesiaan.
Cara pandang lain yang radikal terhadap Pancasila harus digerus habis, tidak boleh ada di bumi Indonesia. Ini bukan kebebasan memilih dan melaksanakan ibadah dan kepercayaan, namun lebih kepada soal keamanan dan melindungi keberagaman di Indonesia, radikalisme seperti dalam definisi yang saya sampaikan di atas, sangat menolak keberagaman dan pemaksaan paham kepada pihak-pihak lain, bahkan dalam melakukan kampanyenya sering memutarbalikkan fakta yang terjadi, bernarasi negatif, membius dan memabukkan orang-orang yang memiliki pemahaman sesuatu masih mengambang, khususnya soal agama, yang kesimpulannya sebagai paham paling benar, padahal sejatinya tidak.
Polri bersama pihak terkait dan juga masyarakat harus memberangus cara-cara seperti ini. Mereka yang belum terpapar dilakukan dengan pencegahan sejak awal dengan cara-cara tertentu, bagi yang sudah terpapar disadarkan terlebih dahulu sampai sadar. Pembiaran terhadap radikalisme akan memberikan kontribusi gangguan keamanan secara umum, karena radikalisme adalah bibit dari terorisme. Paham radikal harus sulit berkembang di Indonesia, karena Indonesia mempunyai Pancasila.
Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba
Membicarakan soal narkoba di Indonesia esensinya adalah membicarakan soal masa depan generasi di Republik Indonesia ini. Generasi muda dan anak-anak Indonesia tidak boleh terpapar dengan penyalahgunaan narkoba, termasuk melakukan peredaran gelap. Kejahatan narkoba merupakan kasus penting Indonesia, di antara kasus penting lainnya, seperti kasus terorisme, dan korupsi.
Polri mempunyai perangkat dan kewenangan untuk mengelola hal ini, baik bidang pencegahan oleh Bimas Polri dan jajarannya, bidang penyelidikan dan penyidikan oleh Direktorat Narkoba Bareskrim Polri. Tugas Polri soal ini dipertaruhkan untuk melaksanakan tujuan hukum, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri harus memberikan prioritas terhadap penanganannya,
Pemolisian masyarakat
Pemolisian masyarakat adalah upaya masyarakat menjadi polisi bagi diri sendiri dan lingkungan yang dimotori Polri, melalui satuan kerja Bimas. Masyarakat diminta menjadi partisipan yang baik untuk menjaga keamanan lingkungan.
Masyarakat harus bisa mendeteksi lebih awal tentang segenap kejadian di sekitarnya, sebab kejahatan itu lahir dan tumbuh di tengah masyarakat, sudah barang tentu masyarakatlah yang paling banyak tahu. Di sisi lain, masyarakat dapat mencari solusi atas persoalan kamtibmas di lingkungan, meskipun dalam lingkup yang sederhana, ketika berhadapan dengan persoalan yang dirasakan mengandung kriminal, maka Polri turun tangan.
Ini bukanlah sebuah konsep dan program yang menyerahkan persoalan kepada masyarakat, namun sebagai solusi atas rasio kecukupan jumlah polisi dengan jumlah masyarakat, atau terbatasnya jumlah anggota Polri di seluruh Indonesia, maka dilihat terdekat adalah pemolisian masyarakat, menurut kemampuan dan kearifan lokal daerah.
Polri tetap menjadi penjuru utama Kamtibmas, sebagaimana amanah UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Di mana Polri sebagai pemegang amanah salah satu fungsi pemerintahan di bidang perlindungan, pelayanan dan pengayoman masyarakat, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta bidang penegakan hukum.
Demokrasi
Perkembangan demokrasi di Indonesia juga harus menjadi perhatian kebijakan strategis Polri, demokrasi adalah hak rakyat untuk menjadikan negara ini menjadi rumah rakyat. Tetapi tentunya kebebasan dalam demokrasi harus berdasarkan konstitusi dan UU yang berlaku.
Banyak persoalan ketika kebebasan menjadi salah satu etika berdemokrasi, di situ ada perbedaan kepentingan, perbedaan politik. Untuk itu, Polri harus bisa menjadi alat perubahan sosial sesuai dengan peran dan fungsinya, sebagai amanah yang diberikan UU Kepolisian kepada Polri.
Ada batas yang tipis antara kebebasan dan pengaturan, keduanya seakan berbenturan, yang sejatinya pengaturan itu perlu, untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai warga negara. Apalagi secara demografi dan geografi, Indonesia merupakan negara besar, yang masyarakatnya multikultur dan multietnis, perlu peran negara yang kuat untuk mengatur hal tersebut.
Elemen-elemen demokratis harus dipahami segenap anggota Polri dan menjadi bagian dari cara bertindak dalam menangani persoalan di masyarakat.