Peraturan atau payung hukum tentang bagasi berbayar untuk maskapai penerbangan bertarif rendah/low-cost carrier (LCC) mengacu kepada Permenhub Nomor PM 185 tahun 2015 Pasal 22 butir C yang menyebutkan, bahwa maskapai tanpa ada embel-embel (no frills), tidak menyediakan minum dan makan. LCC juga boleh mengenakan biaya untuk pengangkutan bagasi penumpang.
Bila kita mengacu kondisi maskapai di USA, hanya maskapai Soutwest yang memberikan free bagasi. Sementara itu, maskapai-maskapai besar seperti Delta Air, US Airways, Aloha Airlines membuat policy bagasi penumpang berbayar.
Terkait dengan itu, saya akan mencoba menginformasikan beberapa istilah pada saat kita membeli tiket pada maskapai penerbangan. Khususnya, ketika membeli tiket kelas ekonomi, harga promo sampai dengan harga normal.
Bagi Anda yang sering menggunakan pesawat untuk bepergian ke suatu tempat tentunya sudah tidak asing dengan istilah "kelas" pada tiket yang dibeli. Namun bagi yang belum pernah atau pertama kali melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat, tentunya akan bertanya arti kelas pada tiket yang dibeli tersebut.
Setelah 7 Januari 2019, beberapa maskapai besar full service dan LCC mendorong tarif ke arah tarif batas atas dan menutup tarif di kelas promo sub classes X, K, N, dalam artian yang dijual kelas moderat ke atas.
Y merupakan kelas normal. Walau sebenarnya masih dalam koridor di bawah kelas tarif batas atas, namun pada kenyataan di lapangan, masyarakat harus membayar tarif pesawat lebih mahal bila dibandingkan dengan Januari 2018 silam.
Mulailah di lapangan, medsos, media heboh mengenai maskapai yang ramai-ramai menaikkan tarif. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, ada alasan sendiri mengapa maskapai menarik tarif ke arah mendekati tarif batas atas.
Salah satunya adalah pada kenyataannya hampir semua maskapai di Indonesia selama 2016 dan 2017, memiliki kinerja keuangan yang berada pada kondisi lampu merah. Agar kinerja keuangan maskapai menjadi biru, mulailah gimmick pricing policy dimainkan dengan menutup menjual tarif di kelas promo.
Arti kelas pada tiket adalah kelompok penumpang pesawat yang dibedakan atas dasar pembelian harga tiket menuju ke suatu daerah tujuan. Adanya kelas atau pengelompokan ini bertujuan untuk membedakan jenis pelayanan yang diterima penumpang pesawat, lama validasi tiket, dan penyediaan letak kursi/seat di pesawat (khusus untuk kelas Bisnis).
Semakin tinggi kelas yang diminta, maka harga tiket akan semakin mahal dan akan mendapatkan pelayanan lebih dari kelas lebih rendah. Kita sering menyebutnya sebagai kelas promo. Harga murah, super hemat.
Untuk penetapan nama kelas dan sub kelas pada tiket ditetapkan oleh maskapai penerbangan itu sendiri. Ada pun contoh penetapan nama kelas dan sub kelas pada maskapai Garuda Indonesia dan Lion Air dapat dilihat sebagai berikut:
Garuda Indonesia:
Kelas Bisnis, terdiri dari sub kelas J (Juliet), C (Charlie), D (Delta) dan W (Whiskey).
Kelas Ekonomi, terdiri dari sub kelas Y (Yankee), L (Lima), M (Mike), K (Kilo), N (November) dan Q (Quebec).
Kelas Promo, terdiri dari sub kelas B (Bravo) dan V (Victor).
Lion Air
Kelas Bisnis, terdiri dari sub kelas C (Charlie), D (Delta) dan I (India).
Kelas Ekonomi, terdiri dari sub kelas Y (Yankee), A (Alpha), G (Golf), W (Whiskey), S (Sierra), B (Bravo), H (Hotel), K (Kilo), L (Lima), M (Mike), N (November dan Q (Quebec).
Kelas Promo, terdiri dari sub kelas T (Tango), V (Victor) dan X (X-ray).
Dasar payung hukum dari harga tiga layanan maskapai tersebut di atas, mengacu kepada Peraturan Menteri Perhubungan nomor 14 tahun 2016 yang menggantikan Permenhub nomor 126 tahub 2015. Layanan full service: Garuda Indonesia, Batik Air. Medium service: Sriwijaya Air, Express Air, Trans Nusa Air, Trigana Air, Kalstar Air. Sedangkan maskapai budget LCC: Air Asia Indonesia, Citilink, Lion Air, Wings Air.
Dampak ke masyarakat
Sudah beberapa kali terjadi kenyataan di lapangan, beberapa oleh-oleh penumpang terpaksa diturunkan dan penumpang menjadi marah karena beban bagasi berbayar menjadi sangat mahal.
Bisa jadi jika tarif bagasi berbayar tidak direvisi, akan mengakibatkan penurunan pada usaha UMKM oleh-oleh khas daerah. Misalkan saja empek-empek Palembang, kripik balado Sanjai Padang, Bolu Meranti Medan. Serta oleh-oleh khas daerah lain yang sudah sangat populer menjadi buah tangan para penumpang pesawat.
Belum lagi keinginan masyarakat untuk pergi berwisata ke destinasi yang jauh seperti ke Bunaken, Manado, Wakatobi, Raja Ampat Papua Barat dan lainnya, pasti juga akan terdampak tarif pesawat yang dikerek ke tarif batas atas.
Oleh sebab itu, ada baiknya sejumlah stakeholders perlu duduk bersama. Di antaranya adalah, maskapai, Inaca, YLKI, KPPU dan Kemenhub. Membahas hiruk-pikuk tarif maskapai dan tarif bagasi yang bisa menjadi penyumbang inflasi ke perekonomian Indonesia. All be smart thing.