Terorisme dan moderasi keberagamaan
Pascabom bunuh diri di Polrestabes Medan, aparat keamanan gencar memburu jaringan teroris. Sedikitnya 18 orang ditangkap.
Satu terduga perakit bom ditembak mati, dan ada dua terduga lainnya ditembak kakinya. Adalah hal yang lazim ketika peristiwa teror terjadi, aparat begitu sigap menangkap pelaku berikut jaringannya. Penegakan hukum bercorak militeristik yang cenderung mengeksploitasi kekerasan ini telah menjadi semacam standar prosedur operasional. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah mengingat terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang wajib diberantas.
Namun, penegakan hukum melalui cara-cara kekerasan harus diakui tidak mampu menyelesaikan akar persoalan terorisme. Penegakan hukum dengan kekerasan hanya menyelesaikan persoalan terorisme di level permukaan dan dalam jangka pendek. Asumsi ini didasari fakta bahwa meski aparat keamanan gencar memburu pelaku teror, jaringan terorisme tetap tumbuh subur. Bahkan, tidak sedikit mantan narapidana terorisme kembali bergabung dengan jaringan teroris.
Pada titik tertentu, harus diakui bahwa penegakan hukum dengan jalan kekerasan justru potensial menyuburkan jaringan terorisme. Aksi teror yang direspons dengan kekerasan aparat keamanan akan melahirkan dendam. Kondisi inilah yang melahirkan spiral kekerasan yang sukar diputus.
Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang memiliki karakter, motif dan latar belakang yang berbeda dengan kejahatan biasa pada umumnya. Louise Richardson dalam bukunya The Roots of Terrorism menyebut bahwa terorisme berakar dari persoalan politik, sosial dan agama.
Dari sisi politik, kondisi ketidakadilan yang disebabkan oleh tidak meratanya kesejahteraan ekonomi dan tidak terpenuhinya hak politik bisa memicu munculnya terorisme. Kondisi ketidakadilan baik dalam konteks lokal maupun global yang dialami sekelompok orang akan melahirkan sentimen kecemburuan dan kebencian terhadap kelompok lain yang dianggap menjadi biang ketidakadilan.Kecemburuan dan kebencian inilah yang menjadi akar kekerasan dalam praktik terorisme.
Dari sudut pandang sosial-budaya, munculnya terorisme kerap dilatari oleh masih kuatnya kultur kekerasan (culture of violence) dalam sebuah masyarakat. Kultur kekerasan adalah semacam mekanisme penyelesaian masalah atau perbedaan dengan cara-cara kekerasan atau konflik. Di masyarakat yang masih memakai kekerasan sebagai jalan keluar utama menyelesaikan persoalan, terorisme memungkinkan untuk tumbuh subur di dalamnya.
Sedangkan dari perspektif keagamaan, munculnya terorisme merupakan imbas dari pemahaman keagamaan yang cenderung eksklusif dan konservatif. Eksklusivisme dan konservatisme beragama ialah sebuah pandangan yang meyakini bahwa hanya agamanyalah yang paling benar dan menganggap agama lain salah atau sesat. Cara pandang keagamaan yang eksklusif-konservatif umumnya akan menuntun pemeluk agama pada praktik intoleransi bahkan kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran agama.
Solusi
Dalam konteks Indonesia, suburnya jaringan terorisme selama kurang lebih dua dasawarsa terakhir merupakan akumulasi dari persoalan ketidakadilan politik-ekonomi, kuatnya kultur kekerasan dalam masyarakat sekaligus pemahaman keagamaan yang cenderung ekstrem. Hal ini tampak dalam aksi-aksi teror yang terkesan acak, tidak secara spesifik menyasar obyek tertentu dan dilakukan oleh aktor-aktor yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan bercorak radikal. Untuk itu, penanganan terorisme pun idealnya melibatkan tiga perspektif, yakni politik, sosial dan agama.
Pemberantasan terorisme yang parsial dan cenderung hanya mengedepankan aspek penegakan hukum dengan cara-cara militeristik tentu tidak akan efektif menumpas terorisme hingga ke akarnya. Bahkan, sebalinya, pendekatan militeristik cenderung menyuburkan jaringan teroris dan membuat mereka kian solid. Dalam konteks inilah diperlukan upaya penegakan hukum yang tetap mengedepankan keadilan dan hak asasi manusia, reformasi sosial sekaligus perubahan moderasi nalar dan praktik keberagamaan.
Dari sisi politik, pemerintah perlu berupaya serius untuk memangkas kesenjangan ekonomi dan memastikan semua pihak mendapatkan hak-hak politiknya. Disparitas ekonomi yang selama ini menjadi problem klasik di Indonesia harus segera diselesaikan dengan kebijakan dan program pembangunan pemerintah yang berpihak pada kelompok menengah ke bawah. Pemerintah harus memastikan kelompok masyarakat bawah memiliki akses pada sektor pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan sosial lainnya.
Tidak kalah penting dari itu ialah jaminan pemerintah pada adanya ruang publik yang bebas dan egaliter, di mana semua entitas politik memiliki hak untuk berpendapat dan berekspresi. Dalam sistem demokrasi terbuka seperti dipraktikkan di Indonesia saat ini, semua entitas sosial, politik dan agama idealnya memiliki kedudukan yang setara, terlepas dari perbedaan pandangan politiknya.
Untuk itu, pelabelan negatif oleh negara terhadap salah satu kelompok lantaran perbedaan pandangan politik idealnya harus segera diakhiri. Tanpa pemerataan ekonomi dan kesetaraan politik, kecemburuan dan kebencian yang menjadi embrio terorisme tentu akan sukar diberantas.
Dari perspektif sosial-budaya, semua elemen masyarakat perlu mengakhiri kultur kekerasan yang selama ini menjadi paradigma dalam menyelesaikan persoalan terkait konflik dan perbedaan. Budaya main hakim sendiri (vigilantisme) dan eksploitasi kekerasan untuk menyelesaikan persolan harus diubah ke arah mekanisme penyelesaian konflik yang bertumpu pada komunikasi dan dialog.
Perubahan paradigma ini penting untuk diinisiasi mengingat di dalam masyarakat yang masih menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik dan perbedaan, jaringan terorisme dipastikan akan mudah berkembang biak.
Sedangkan dari perspektif keagamaan, kita jelas memerlukan satu upaya terus menerus dan tidak kenal lelah dalam mengembangkan corak keberagamaan yang moderat, inklusif, toleran. Moderasi agama diperlukan untuk memahami ajaran agama sesuai dengan realitas-sosial-politik dimana para pemeluk agama hidup dan tinggal. Ajaran agama yang termaktub dalam teks kitab suci idealnya dipahami dengan pendekatan kontekstual agar mampu menjawab berbagai problem dan tantangan zaman yang terus dinamis dan berubah-ubah.
Pandangan keagamaan bercorak moderat ini akan membentuk relasi keberagaman yang inklusif dan toleran. Segala perbedaan agama dan budaya akan dimaknai secara positif sebagai karunia Tuhan dan keniscayaan sejarah yang potensial dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun bangsa.
Para pemeluk agama tidak terjebak pada klaim kebenaran atas ajaran agamanya sendiri dan akan lebih terbuka pada keberadaan kelompok agama lain. Dengan moderasi keberagamaan inilah diharapkan praktik kekerasan dan terorisme atas nama agama dapat dicegah sedini mungkin.
Mewujudkan agenda moderasi keberagamaan tentu bukan perkara mudah, meski juga bukan mustahil. Disinilah diperlukan peran aktif para tokoh agama dan masyarakat serta organisasi kemasyarakatan-keagamaan untuk terus menerus mempromosikan pentingnya beragama secara moderat, toleran dan inklusif.
Para tokoh agama diharapkan mampu menyampaikan ajaran agama secara santun dan tidak mengumbar ujaran kebencian pada kelompok agama lain. Para tokoh agama yang memiliki otoritas untuk menafsirkan teks-teks keagamaan idealnya mampu mengejawantahkan ajaran agama ke dalam bingkai kerukunan dan perdamaian.
Tokoh agama adalah aktor penting yang berperan membentuk kesadaran keberagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Selain tokoh agama, ormas keagamaan juga memiliki peran signifikan dalam agenda moderasi praktik keberagamaan. Ormas keagamaan diharapkan mampu membangun satu narasi keagamaan yang mencerahkan sebagai narasi tandingan untuk melawan pandangan keagamaan yang eksklusif dan konservatif. Dengan terciptanya sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama dan ormas keagamaan ini, diharapkan terorisme dapat diberantas tidak hanya di permukaan, namun hingga ke akarnya.