Terpaksa berutang, tetapi sampai berapa banyak
Pandemi Covid-19 telah memakan korban jiwa dan menimbulkan kepanikan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dampak ekonominya pun mulai dirasakan, meski belum sepenuhnya terukur.
Pemerintah Indonesia telah bersiap diri menghadapi beberapa skenario dampak buruknya atas perekonomian. Payung hukum pun ditetapkan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomer 1 tahun 2020.
Kebijakan ekonomi yang sudah dan akan dilakukan diutarakan dalam keterangan pers bersama pada 2 April lalu. Otoritas ekonomi ingin memberi sinyal positif adanya konsolidasi yang makin kuat dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjaminan Simpanan.
Kementerian Keuangan tampaknya akan menjadi pelaku yang “paling penting” dalam waktu dekat ini, jika dilihat dari konten Perppu. Tingkat urgensi pengelolaan keuangan negara memang meningkat dan banyak hal terkait yang bersifat mendesak.
Bahkan, pasal 2 ayat 2 mengatakan ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dari Perppu langsung ke Permen dalam hal petunjuk pelaksanaannya. Padahal, ayat 1 nya mengatur beberapa hal yang “menyerempet” wewenang lembaga lain atau “mengecualikan” sebagian aturan perundang-undangan.
Tulisan ini selanjutnya hanya membahas tentang defisit dan akibatnya bagi posisi utang pemerintah. Penulis akan membahas aspek lain dalam tulisan berbeda.
Perppu menetapkan batasan defisit anggaran dapat melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Covid-19. Ditambahkan juga untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.
Sebagaimana diketahui, Undang-undang no.17/2003 tentang keuangan negara membatasi defisit hanya sampai 3% dari PDB. Perppu membolehkan pelampauan batas hingga berakhirnya tahun Anggaran 2022. Selama tiga tahun berturut-turut.
Perppu memungkinkan Pemerintah melakukan langkah-langkah yang terbilang tidak biasa dalam pengelolaan APBN. Dapat melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending), yang berarti tidak harus 20% untuk pendidikan. Dapat melakukan realokasi seperti: pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan antarprogram.
Terutama dapat menambah belanja dan pengeluaran pembiayaan, serta menentukan bagaimananya. Tidak perlu meminta pesetujuan DPR lagi. Pasal 2 ayat 1 huruf d menyebut: “Melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang jasa.”
Paparan Menteri Keuangan tanggal 2 April menyampaikan gambaran outlook APBN 2020. Padahal realisasi APBN baru berjalan tiga bulan, dan belum memperlihatkan dampak signifikan dari pandemik Covid-19. Lazimnya, outlook disampaikan dalam Nota Keuangan RAPBN pada pertengahan Agustus, berdasar realisasi satu semester.
ke-13 paparan menyebut dua skenario umum yang mungkin terjadi, yang berbeda jauh dari asumsi APBN 2020. Skenario berat memprakirakan: pertumbuhan ekonomi 2,3%, harga minyak US$38, kurs rupiah 17.500, dan inflasi 3,9%. Skenario sangat berat memprakirakan: pertumbuhan ekonomi minus 0,4%, harga minyak US$31, kurs rupiah 20.500, dan inflasi 5,1%.
Penulis menilai paparan lainnya terkait APBN 2020 didasarkan atas prakiraan skenario berat. Termasuk alokasi anggaran untuk mitigasi Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Sebagaimana judul slide 21, “Dampak Covid 19 terhadap ekonomi makro Indonesia dapat menjadi sangat berat jika tidak dilakukan langkah-langkah mitigasi segera.”
Paparan menjelaskan pula beberapa langkah relokasi, pemotongan, dan penghematan. Sehingga belanja tidak bertambah sebesar Rp405,1 triliun. Dari informasi lain yang beredar, hanya bertambah sekitar Rp73 triliun. Namun mengakui akan terjadi penurunan drastis pada pendapatan. Juga dari informasi yang beredar sekitar Rp472 triliun.
Perlu diketahui bahwa sebagian pengeluaran tidak akan dicatat dalam pos Belanja Negara, melainkan dalam pos Pembiayaan. Begitu pula rencana akan adanya penerimaan yang dicatat dalam pos Pembiayaan, seperti penggunaan sisa anggaran lebih (SAL).
Bagaimanapun, defisit akan menjadi jauh lebih besar dibanding target APBN yang hanya Rp307,2 triliun. Dari perhitungan di atas, akan mencapai Rp850 triliun.
Pembiayaan utang selama ini selalu lebih besar dari defisit APBN. Disebabkan pengeluaran pembiayaan melebihi penerimaannya. Pengeluaran yang dicatat dalam pembiayaan antara lain: investasi kepada BUMN dan BLU, pemberian pinjaman ke Pemerintah Daerah, dan penjaminan.
APBN 2020 menetapkan pembiayaan utang sebesar Rp351,85 triliun. Dari outlook, penulis menduga pembiayaan utang dapat mencapai Rp1.000 triliun. Perhitungangannya dari defisit sebesar Rp850 triliun dan kemungkinan tambahan defisit pembiayaan sekitar Rp150 triliun.
Posisi utang per akhir Desember 2019 sebesar Rp4.779 triliun. Pembiayaan utang menjadi tambahan posisi utang. Perlu diperhitungkan tambahan posisi utang karena pelemahan rupiah. Sekitar 30 persen dari utang dalam denominasi dolar Amerika dan 10 persen dalam valuta asing lainnya. Jika kurs akhir tahun 2020 diasumsikan Rp17.000, maka tambahannya sekitar Rp375 triliun.
Posisi utang pemerintah pada akhir 2020 diprakirakan mencapai Rp6.157 triliun. Rasionya atas PDB bergantung berapa nilai PDB nya. Outlook pemerintah menyebut defisit 5,07% PDB, sedangkan secara nominal (info Kemenkeu yang beredar terbatas) sebesar Rp852 triliun. Artinya PDB nominal diasumsikan sebesar Rp16.800 triliun.
Penulis memprakirakan asumsi PDB tersebut terlalu tinggi, terutama jika inflasi benar-benar dapat dikendalikan di bawah 5%. Tampaknya hanya akan di kisaran Rp16.300. Sebagai catatan, PDB tahun 2019 sebesar Rp15.834 triliun.
Rasio utang pemerintah atas PDB pada akhir tahun 2020 akan berada di kisaran 36% hingga 38%. Penulis sementara ini memprakirakan akan sebesar 37,77%. Harus dicatat, prakiraan ini masih dalam koridor skenario berat, bukan yang sangat berat.
Penulis setuju bahwa langkah pemerintah untuk menghentikan pandemik Covid-19 boleh at all cost. Karena menyangkut keselamatan dan nyawa rakyat Indonesia. Namun, perhitungan dampak ekonomi dan soalan APBN terkait perlu lebih terbuka, dijelaskan kepada publik dan mau mendengar masukan pihak lain.
Tampaknya kita memang terpaksa menambah utang lebih banyak dari biasanya. Tetapi tak berarti harus sebanyak-banyaknya.
Tuhan memberi petunjuk dan kekuatan pada para pengambil kebijakan untuk tetap amanah dan mementingkan nasib anak negeri. Tak hanya yang hidup saat ini, melainkan juga generasi mendatang.