UMKM naik kelas
Bonus demografi yang sedang berlangsung di Indonesia seperti pedang bermata dua. Satu sisi, keadaan ini adalah peluang bagi kita dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi yang lebih massif. Porsi penduduk usia produktif hingga 2020 sebesar 70,72% (SP 2020), jika tenaga dan pikirannya dapat dioptimalkan dengan baik, tentu akan memberikan daya dorong yang kuat terhadap pembangunan.
Namun di sisi lain, kondisi ini akan menjadi ancaman serius jika banyak dari penduduk kelompok ini tidak tertampung dalam dunia kerja formal, dan gagap dalam menghasilkan nilai tambah. Akibatnya, ukuran dependency ratio yang sebesar 47 poin menjadi tidak bermakna, dan cenderung bias karena pada akhirnya tidak semua penduduk usia produktif itu bekerja dan mampu menanggung penduduk usia nonproduktif.
Ukuran dependency ratio perlu dimodifikasi, perbandingan penduduk yang tidak bekerja terhadap penduduk yang bekerja menjadi lebih realistis dalam melihat besaran tanggungan rata-rata antar penduduk. Berdasarkan indikator tersebut, rasionya sebesar 102, di mana 100 penduduk yang bekerja menanggung 102 penduduk yang tidak bekerja. Beban yang dihasilkan lebih nyata dibandingkan indikator yang digunakan dalam ilmu demografi pada umumnya.
Untuk menurunkan rasio ini, kuncinya cukup membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dan memberi ruang gerak yang kondusif bagi masyarakat dalam berusaha. Semakin banyak masyarakat yang bekerja dan berusaha, poin indikator akan semakin mengecil. Tetapi ini belum cukup. Kita perlu upaya lainnya, yaitu meningkatkan produktivitas.
Berdasarkan capaian sebelumnya, laju tumbuh output per pekerja berfluktuasi lumayan tajam, sedangkan laju tumbuh ekonominya berada pada tren yang melambat. Dalam lima tahun sebelum pandemi covid-19, output per pekerja rata-rata tumbuh sebesar 2,63%, sedangkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,03%. Jumlah tenaga kerja 2016 berkurang dibanding 2015, dan kembali tumbuh di tahun-tahun berikutnya dengan laju tumbuh rata-rata sebesar 2,2%.
Ada fenomena menarik di 2018, dimana laju tumbuh jumlah pekerja naik sebesar 3,97%, namun output per pekerjanya hanya tumbuh 0,79%, di bawah dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar 2,8%. Terdapat bias hubungan antara kenaikan jumlah tenaga kerja dengan ouput yang dihasilkan per pekerja.
Gambar 1. Kondisi Produktivitas Pekerja di Indonesia
Kualitas pekerja dalam menghasilkan barang dan jasa dapat tergambar dari status pekerja terkini. Rilis data Badan Pusat Statistik per Februari 2020 (sebelum pandemi) menyampaikan bahwa porsi pekerja bersatus buruh/karyawan/pegawai sebesar 39,68 persen, dan untuk pekerja keluarga/tidak dibayar sebesar 13,06%.
Namun jika digabung dengan porsi pekerja berstatus berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap maka share-nya menjadi 48,49%. Pekerja dengan status tersebut mencerminkan kemampuan dalam menghasilkan nilai tambah yang lebih rendah dibanding pekerja berstatus buruh/karyawan/pegawai dan berusaha dibantu buruh tetap. Masih tingginya porsi dari beberapa status pekerja yang disebutkan sebelumnya dapat dijadikan gambaran bahwa produktivitas pekerja masih belum optimal, dimana tenaga pikiran yang tersedia pada penduduk usia produktif belum diberdayakan dengan baik.
Upaya dalam menurunkan rasio ketergantungan penduduk yang tidak bekerja terhadap penduduk yang bekerja diimbangi dengan kebijakan yang fokusnya memperluas kesempatan kerja yang ada. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendisrupsi cara kerja manual menuju aktivitas digital. Peran teknologi cukup mampu menggantikan penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak dalam menghasilkan satuan output tertentu. Pada sisi lain, kemajuan teknologi ini juga berdampak kepada perubahan aktivitas masyarakat dalam berekonomi.
Tersedianya berbagai pasar online menjadikan peluang baru bagi setiap penjual dalam memenuhi berbagai kebutuhan pembeli yang lebih cepat, mudah, dan murah. Pemasaran produknya dapat menjangkau hingga lintas negara, dan membuka ruang kompetisi yang lebih lebar. Pada titik ini, kita memerlukan tambahan pengusaha-pengusaha baru yang inovatif dalam berproduksi agar dapat bersaing di pasar dengan baik.
Memenangkan persaingan adalah kunci dalam memperluas kesempatan kerja. Semakin banyak pengusaha baru yang dapat merebut pasar, maka peluang penawaran tenaga kerja untuk terserap ke dunia kerja juga semakin besar. Oleh sebab itu, diperlukan iklim usaha yang kondusif untuk menstimulan sebagian masyarakat agar tertarik menjadi pengusaha-pengusaha baru tersebut.
Menciptakan iklim usaha yang bergairah dapat dimulai dari mekanisme perizinan usaha yang memudahkan. Kemudahan ini juga bertujuan untuk memperluas pendataan usaha dan mengesktensifikasi perpajakan sehingga dapat menambah peluang penerimaan bagi kas negara maupun daerah. Penyesuaian tarif pajak dalam jangka pendek merupakan salah satu upaya dalam memberikan insentif dan menumbuhkan kemauan membayar bagi pengusaha terutama yang bergerak di sektor prioritas.
Batasan omzet kena pajak juga perlu ditinjau ulang dalam hal relevansi penetapan besarannya di masa sekarang. Terdapat sebuah adagium, “biar sedikit tetapi banyak”. Artinya, pemerintah bisa berperan layaknya businessman, yang menyesuaikan berbagai kebijakan perpajakan untuk memperbanyak jumlah wajib pajak yang membayar pajak. Iklim usaha yang kondusif akan mendorong adagium tersebut menjadi nyata. Suatu usaha dapat kondusif untuk dijalankan jika fasilitas infrasktrukturnya tersedia dengan baik. Biaya dari kebutuhan dasar usaha seperti listrik, air, dan bahan bakar berperan penting dalam pembentukan harga jual yang terjangkau.
Hadirnya UMKM di berbagai sektor produksi patut diapresiasi dengan langkah-langkah yang strategis. Perkembangan usaha mikro yang ada perlu didukung untuk dapat bertransformasi menjadi usaha kecil. Begitu juga skala usaha kecil dan menengah yang naik kelas beralih ke skala usaha diatasnya. Porsi jumlah UMKM di Indonesia sebesar 99,99 persen, hanya 0,01 persen yang merupakan usaha dengan skala besar. Namun sumbangan UMKM terhadap Produk Domestik Bruto hanya berada di angka 60 persen, dan 40 persennya merupakan sumbangan output dari usaha berskala besar. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, berdasarkan data 2019 diketahui terdapat 65,4 juta UMKM yang didalamnya terdapat 119,5 juta pekerja, atau rata-rata setiap UMKM hanya menyerap 2 tenaga kerja. Sedangkan usaha besar mampu menyerap rata-rata 675 pekerja.
Demi pemerataan, tidak ada jalan lain selain memperbesar akses UMKM dalam menikmati kue ekonomi, salah satunya mengikutsertakan UMKM di berbagai kesempatan dalam proses pengadaan barang dan jasa, tanpa mengenyampingkan kualitas pekerjaan.
Peralihan skala usaha ini adalah konsentrasi kita, sebagai cerminan dari pertumbuhan omzet setiap usaha yang semakin sehat dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga harapannya kesempatan kerja juga semakin meluas. Kesempatan kerja yang meluas juga perlu didukung oleh tenaga kerja yang terdidik, terampil, dan kompeten agar dapat diserap unit usaha dan berkontribusi optimal terhadap output yang dihasilkan.
Faktor pendidikan berperan penting dalam melahirkan sumber daya manusia yang berani mandiri, profesional, dan siap kerja. Pendidikan adalah sarana penghubung antara permintaan dan penawaran kerja yang tercipta. Penyesuaian proses dan capaian pembelajaran yang linkage dengan kebutuhan dunia kerja terkini serta mampu menumbuhkan ghiroh intrepreneurship di kalangan pembelajar akan mempermudah kita dalam memperbaiki berbagai indikator pembangunan kedepannya.
Poin berikutnya, rasio beban ketergantungan penduduk yang tidak bekerja dapat diturunkan dengan cara memberdayakan penduduk yang berstatus mengurus rumah tangga. Ada 39,8 juta penduduk yang berada pada status tersebut hingga Februari 2021. Penduduk dengan status ini dapat mengambil peluang finansial sampingan untuk menjual suatu produk yang dihasilkannya atau memasarkan produk pihak lain. Jika dapat berlangsung kontinyu dan mendapatkan penghasilan rutin dari aktivitas ini, tentunya akan menambah jumlah pekerja yang berstatus berusaha sendiri.
Kemudian, dalam hal penduduk lanjut usia, sebagiannya juga mempunyai penghasilan dari pemberdayaan jasa yang dihasilkan, dan sebagiannya lagi mempunyai tabungan yang cukup serta menginvestasikannya dalam sektor usaha tertentu. Optimalisasi potensi setiap kelompok usia penduduk untuk ikut serta dalam pembangunan ekonomi akan semakin mendekatkan kita kepada kesejahteraan bersama yang diimpikan. Pada akhirnya, berbagai kebijakan dan program-program yang dibangun seyogianya dapat memfasilitasi poin-poin yang dinyatakan sebelumnya agar dapat terealisasi dengan baik.