Urgensi mitigasi risiko hukum untuk perusahaan
Seringkali perusahaan di Indonesia mengalami masalah akibat lemahnya monitoring di sisi legal. Aspek legal dianggap cukup di selesaikan saat masalah muncul bagaikan pemadam kebakaran.
Padahal dengan hanya mengandalkan penyelesaian di ujung saat masalah muncul justru membuat energi besar keluar dan perusahaan belum tentu selamat. Misalnya, sebuah perusahaan makanan milik artis ternama kalah dalam sengketa merk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, padahal merk tersebut sudah lama digunakan dan familiar di masyarakat.
Ini akibat menyelesaikan masalah saat masalah muncul, bukan memitigasi masalah dari sisi legal (hukum) yang kedepan dapat menyelamatkan perusahaan terbebas dari kerugian besar, bahkan bangkrut.
Tidak terpenuhinya sisi compliance
Di Indonesia secara umum, banyak perusahaan apalagi yang UMKM tidak memenuhi unsur kepatuhan hukum, khususnya terkait dengan regulasi-regulasi yang berhubungan dengan dunia usaha. Rata-rata mereka taat hukum saat langkahnya terhenti secara administratif.
Misalnya dalam pengurusan perizinan tertentu, ada dokumen yang kurang, maka segera dokumen tersebut di penuhi. Jadi bukan karena kesadaran yang terlahir untuk memenuhi agar perjalanan usahanya kedepan berlangsung dengan baik, namun karena adanya kewajiban regulatif yang memang harus dipenuhi.
Beberapa contoh hasil audit legal, misalnya di antara perusahaan yang penulis lakukan audit legal menjelang initial public offering (IPO), rata-rata tidak terpenuhi kepatuhan dalam setoran modal. Akhirnya, setoran modal tersebut harus dilakukan jauh hari dari setelah SK Kementerian Hukum tentang Badan Hukum Perseroan sudah keluar. Padahal, sebagaimana ketentuan Perpres 29 tahun 2016, modal maksimal harus disetor 60 hari setelah akta pendirian di tandatangani.
Dalam sisi lain, misalnya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan. Ini juga banyak terjadi perseroan tidak melakukannya. Padahal berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, RUPS tahunan merupakan instrumen wajib yang harus dilakukan oleh seluruh perusahaan, baik terbuka maupun tertutup. Yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan setahun sebelumnya dan agenda strategis perusahaan setahun kedepan berdasarkan laporan keuangan.
Jika tanpa ada RUPS tahunan, bagaimana bisa mengetahui kinerja perusahaan? Bagaimana bisa merencanakan agenda strategis perusahaan kedepan? Artinya perusahaan berjalan tanpa arah atau tidak memiliki target yang jelas. Sehingga berpotensi mengalami kerugian bahkan kebangkrutan. Dari sinilah awal mula kejatuhan perusahaan dimulai.
Bagi perusahaan yang akan go public, biasanya ini yang menjadi hambatan. Perusahaan akhirnya harus melakukan ‘rapel’ dalam melakukan RUPS tahunan, dengan cara pemegang saham memberikan kompensasi atas ketidakterlaksanaannya RUPS tahunan tersebut.
Dua contoh tersebut, setidaknya mewarnai dalam ketidakpatuhan perusahaan dalam menjalankan perintah undang-undang.
Dari pelajaran pertama; jika permodalan tidak dilakukan sesuai dengan regulasi, maka berakibat pada perputaran keuangan perusahaan yang tidak stabil, dan berujung pada sengketa pemegang saham.
Jika sengketanya soal pembagian dividen masih bagus, namun jika sengketanya adalah soal tudingan miss management yang berujung kerugian perusahaan akibat masing-masing pemegang saham tidak menyetor modal secara tertib, maka ini akan menjadi permasalahan yang tidak hanya menyakitkan pemegang saham. Namun juga bisa mengarah ke ranah pidana.
Dari pelajaran yang kedua, kita perlu memenuhi sisi compliance untuk mendiagnosa perusahaan. Perusahaan bisa terdeteksi sakit atau sehat? Jika sakit, sakitnya di mana? Seberapa parah? Perlu pengobatan intensif atau tidak adalah melalui RUPS tahunan. Karena RUPS tahunan harus digelar dengan menghadirkan laporan keuangan yang telah diaudit.
RUPS tahunan adalah perintah wajib undang-undang, namun banyak perusahaan mengabaikannya. Padahal, jika tidak dilakukan sekali saja, maka diagnosa perusahaan tidak diketahui. Jika keuangan perusahaan sehat tidak masalah, namun jika sakit bahkan utang perusahaan mendekati nilai aset dengan kreditur banyak misalnya, maka tidak hanya perusahaan oleng, namun resiko perusahaan pailit bisa terjadi. Jika sudah pailit, pengurus (direksi dan komisaris) otomatis tertutup peluangnya untuk membuka usaha baru, bahkan tak jarang pengurus perusahaan terkena risiko pidana.
Beberapa mitigasi risiko hukum
Ada beberapa mitigasi risiko hukum yang dapat dijalankan oleh perusahaan agar perusahaan minimal berjalan sesuai dengan regulasi dan terbebas dari risiko hukum bahkan bisa mendorong untuk meningkatkan pendapatan perusahaan.
Menurut Indra Safitri dalam bukunya ‘Manajemen Risiko Hukum’ dikatakan bahwa risiko hukum adalah suatu risiko yang akan terjadi di masa yang akan datang dalam bentuk peristiwa atau fakta hukum.
Jadi sederhananya adalah peristiwa yang akan terjadi akibat risiko hukum yang mengancam sebuah perusahaan. Maka, langkah mitigatif perlu dilakukan agar risiko hukum tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang. Lalu apa saja jenis-jenis risiko hukum tersebut?
Menurut kajian yang menjadi standar mitigasi legal risk dalam ISO 31022:2020, beberapa jenis risiko hukum di antaranya adalah: risiko perundang-undangan dan peraturan (regulatory risk). Adalah jenis risiko akibat adanya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) misalnya belum adanya aturan yang mengatur, atau hukum yang tidak harmonis (harmonization of law). Misalnya peraturan A membolehkan, peraturan B tidak membolehkan. Benturan hukum (conflict of law) atau tumpang tindih hukum (legal duplication) misalnya peraturan yang di atas membolehkan, namun peraturan di bawahnya tidak membolehkan.
Risiko hukum selanjutnya adalah risiko kepatuhan (compliance risk) sebagai contoh adalah sebagaimana diulas pada paragraph-paragraf di atas, misal ketidakpatuhan akan pemenuhan RUPS tahunan.
Selanjutnya adalah risiko litigasi (litigation risk) misalnya pelanggaran perusahaan yang berujung pidana. Risiko kecurangan (fraud risk) ini biasanya dilakukan oleh manajemen perusahaan, yang tidak hanya membuat reputasi perusahaan jatuh, namun juga bisa berakibat perusahaan bangkrut.
Selanjutnya adalah risiko kontrak (contractual risk). Biasanya adalah ketepatan dan kejelian dalam membuat kontrak dengan pihak lain. Selanjutnya adalah risiko wanprestasi (defauld risk), ini adalah risiko atas pelaksanaan kontrak yang ternyata terjadi ingkar janji, baik dari sisi pihak internal maupun dari pihak eksternal.
Bagaimana tindakan penangannya?
Kemudian ada risiko kepailitan (bankruptcy risk) ini sebenarnya sudah pada langkah litigasi. Biasanya ini adalah langkah yang perlu dihadapi jika kita sebagai pihak kreditur, bagaimana penyelamatan piutang. Dan tidak menutup kemungkinan juga jika menjadi debitur, bagaimana membuat proposal perdamaian. Juga ada risiko perizinan (licence risk) ini biasanya terkait izin-izin teknis juga pendaftaran-pendaftaran misalnya merk dan lain-lain agar tidak terjadi resiko penghentian operasi perusahaan dan lain-lain.
Jika seluruh potensi-potensi risiko tersebut sudah dijalankan secara optimal, maka sejatinya perusahaan sudah menyelesaikan dari separuh permasalahannya. Karena bagi perseroan, sisi kepatuhan merupakan langkah disiplin perusahaan dalam menuju tujuan perusahaan tercapai. Bahkan tak jarang, dengan memaksimalkan mitigasi terhadap kepatuhan hukum, banyak perusahaan yang pendapatannya meningkat drastis.